Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Prapaskah, Paus Fransiskus, dan Jalaluddin Rakhmat

17 Februari 2021   06:30 Diperbarui: 18 Februari 2021   11:08 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang Prapaskah, pemimpin Gereja Katolik sejagat akan mengirimkan pesan ke segenap umatnya. Pesan Prapaskah, sebelum Paskah. Disampaikan sebelum dan ditujukan untuk menemani umat Katolik menjalani masa puasa 40 hari sejak Rabu Abu hingga Minggu Palma.

Tidak terkecuali tahun ini. Paus Fransiskus mengirim pesan serupa tapi tak sama, sebelum Rabu Abu yang jatuh pada 17 Februari 2021.

Paus ke-266 dalam sejarah Gereja Katolik itu mengambil potongan injil Matius 20:18 sebagai pembuka. "Sekarang kita pergi ke Yerusalem" berikut simpulan "Masa Prapaskah: Waktu untuk Memperbaharui Iman, Harapan, dan Kasih" sebagai judul. 

Apa yang menarik dari pesan Bapa Suci itu? Adakah yang bisa kita garisbawahi dan dijadikan pegang dari seruan sosok Argentina bernama lahir Jorge Mario Bergoglio? Apa relevansi sosial dari refleksi teologis Paus Fransiskus bagi hidup bersama kita di tengah pandemi Covid-19?

Iman, Harap, Kasih

Paus Fransiskus fokus pada tiga kebajikan teologis. Iman, harapan, dan kasih. Ia meminta umatnya untuk "memperbaharui iman, menimba dari air pengharapan yang hidup, dan menerima dengan hati terbuka kasih Tuhan." Mengapa ketiganya itu penting?

Pertama, hemat saya, soal iman adalah sesuatu yang patut kita pegang teguh. Namun demikian iman masih harus terus dimurnikan, tidak hanya melalui doa dan laku tapa, tetapi juga melalui refleksi atas setiap ajaran yang tidak hanya tertuju pada diri sendiri, tetapi juga terbuka pada realitas di luar diri.

Iman memang personal, tetapi penghayatan akan keberimanan itu tidak pernah selalu terjadi dalam ruang hampa. Ujian iman justru terjadi dalam penghayatannya di tengah kehidupan bersama.

Kedua, pengharapan di tengah situasi yang sulit adalah sesuatu yang penting. Tidak sedikit orang yang sedang jatuh dalam lembah keputusasaan. Banyak yang sudah merasa kehilangan akal dan patah arang karena hantaman pandemi yang masif: tanpa pandang bulu dan menyasar hampir semua dimensi.

Apakah terjangan Covid-19 lantas membuat kita menyerah kalah? Apakah bencana yang sedang kita hadapi menjadi akhir dari segalanya? Bila tidak, apa alasan yang membuat kita harus bertahan dan bangkit kembali?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun