Seperti tahun-tahun sebelumnya, menjelang Prapaskah, pemimpin Gereja Katolik sejagat akan mengirimkan pesan ke segenap umatnya. Pesan Prapaskah, sebelum Paskah. Disampaikan sebelum dan ditujukan untuk menemani umat Katolik menjalani masa puasa 40 hari sejak Rabu Abu hingga Minggu Palma.
Tidak terkecuali tahun ini. Paus Fransiskus mengirim pesan serupa tapi tak sama, sebelum Rabu Abu yang jatuh pada 17 Februari 2021.
Paus ke-266 dalam sejarah Gereja Katolik itu mengambil potongan injil Matius 20:18 sebagai pembuka. "Sekarang kita pergi ke Yerusalem" berikut simpulan "Masa Prapaskah: Waktu untuk Memperbaharui Iman, Harapan, dan Kasih" sebagai judul.Â
Apa yang menarik dari pesan Bapa Suci itu? Adakah yang bisa kita garisbawahi dan dijadikan pegang dari seruan sosok Argentina bernama lahir Jorge Mario Bergoglio? Apa relevansi sosial dari refleksi teologis Paus Fransiskus bagi hidup bersama kita di tengah pandemi Covid-19?
Iman, Harap, Kasih
Paus Fransiskus fokus pada tiga kebajikan teologis. Iman, harapan, dan kasih. Ia meminta umatnya untuk "memperbaharui iman, menimba dari air pengharapan yang hidup, dan menerima dengan hati terbuka kasih Tuhan." Mengapa ketiganya itu penting?
Pertama, hemat saya, soal iman adalah sesuatu yang patut kita pegang teguh. Namun demikian iman masih harus terus dimurnikan, tidak hanya melalui doa dan laku tapa, tetapi juga melalui refleksi atas setiap ajaran yang tidak hanya tertuju pada diri sendiri, tetapi juga terbuka pada realitas di luar diri.
Iman memang personal, tetapi penghayatan akan keberimanan itu tidak pernah selalu terjadi dalam ruang hampa. Ujian iman justru terjadi dalam penghayatannya di tengah kehidupan bersama.
Kedua, pengharapan di tengah situasi yang sulit adalah sesuatu yang penting. Tidak sedikit orang yang sedang jatuh dalam lembah keputusasaan. Banyak yang sudah merasa kehilangan akal dan patah arang karena hantaman pandemi yang masif: tanpa pandang bulu dan menyasar hampir semua dimensi.
Apakah terjangan Covid-19 lantas membuat kita menyerah kalah? Apakah bencana yang sedang kita hadapi menjadi akhir dari segalanya? Bila tidak, apa alasan yang membuat kita harus bertahan dan bangkit kembali?
Paus menyerukan pentingnya membangun harapan. Di tengah kesulitan masih ada alasan untuk tetap berharap. Harapan yang tidak hanya bergantung dan berpusat pada manusia semata. Tetapi harapan yang tertuju pada Sang Pemberi Kehidupan.
Bila selama ini kita sepenuhnya bergantung pada kekuatan manusia, maka tiba saatnya untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat sekaligus tujuan utama.Â
Pada Tuhan harapan itu tidak akan sia-sia. Namun ketergantungan pada Tuhan tidak serta merta membutakan nalar. Iman dan akal budi-yang relasinya terus menjadi bahan diskusi tak berujung para teolog, filsuf, dan saintis sejak dahulu kala-tetap patut ditempatkan secara proporsional. Pada tempatnya, tepat waktu, dan tepat pada waktunya.
"Dalam masa-masa sulit ini, ketika segala sesuatu tampak rapuh dan tidak pasti, mungkin tampak menantang untuk berbicara tentang harapan. Padahal masa Prapaskah justru musim pengharapan, saat kita kembali kepada Tuhan yang dengan sabar terus merawat ciptaan-Nya yang selama ini sering kita perlakukan dengan tidak benar," demikian Paus 84 tahun itu.
Meski begitu pengharapan itu tidak hanya bersifat vertikal. Kita pun perlu memberikan harapan kepada sesama. Pengharapan yang membangun, tentu saja. Kita tidak diharuskan mewujudnyatakan pengharapan horizontal dalam tindakan fenomenal.
Perbuatan-perbuatan sederhana seperti bersikap baik, menebar senyum, dan mengucapkan kata-kata penyemangat, penghiburan dan motivasi, sudah lebih dari cukup. Jangan sampai, dalam situasi krisis seperti ini, kita justru melontarkan "kata-kata yang merendahkan, sedih, marah atau menunjukkan cemoohan."
Ketiga, cinta merupakan ekspresi keyakinan dan harapan tertinggi. Demikian penekanan Paus Fransiskus. Menurutnya, cinta merupakan lompatan hati yang membawa setiap orang keluar dari diri sendiri dan menciptakan ikatan dengan sesama.
Dalam hal ini kita bisa melihat cinta sebagai hadiah cuma-cuma serentak bahasa universal yang bisa dimengerti dan dihayati dengan mudah oleh setiap orang tanpa terkecuali. Siapa saja bisa mencintai, memahami, dan mengekspresikannya. Cinta itu meruntuhkan sekat dan dikotomi serta membuat kita melihat sesama sebagai saudara.
Terkadang cinta bisa menjebak seseorang dalam egoisme sempit: ingat diri dan kelompok sendiri. Situasi saat ini lebih mendesak kita mengekspresikan cinta altruistik yang terarah pada kebaikan sesama tanpa pamrih. Paus menyebutnya cinta sosial.
"Untuk mengalami Prapaskah dengan cinta," demikian Paus Fransiskus, "berarti merawat mereka yang menderita atau merasa ditinggalkan karena pandemi Covid-19."
Keempat, umat Katolik memaknai masa Prapaskah sebagai perjalanan pertobatan. Penghayatannya dilakukan secara tekun dalam puasa, pantang, doa, dan sedekah. Â Tiga hal pertama tentu dihayati secara personal dan terbatas namun dampaknya tetap bisa terlihat dan dirasakan secara sosial.
Apalagi soal sedekah. Paus menganjurkan agar bersedekah tidak melihat besarnya angka dan wujud. Amal dalam jumlah kecil pun tetap berarti. Apalagi bila itu dijalankan dengan kegembiraan dan kesederhanaan.
Justru dengan itu nilainya akan berlipat ganda seperti "roti yang diberkati, dipecah dan diberikan oleh Yesus kepada para murid untuk dibagikan kepada orang banyak."
Waktu 40 hari ini memang singkat. Namun menjadi kesempatan yang sangat berarti untuk melepaskan belenggu yang membebani, ikatan yang tidak berguna, serta kebiasaan yang salah. Momen berahmat untuk secara tegas dan berani berkaca dan menilai diri apakah masih tersandera dalam gaya hidup egosentris dan apatis serta konsumsi berlebihan akan barang-barang yang fana.
Dengan menjalani laku ugahari, lebih berempati dan solider dengan sesama membuat masa Prapaskah ini tidak sekadar ritual dan seruan Bapa Suci tidak terdengar sebagai formalitas.
Kita mafhum pandemi membuat ekonomi karut-marut, ruang gerak dan interaksi sosial-ekonomi-keagamaan semakin menyempit, serta bayangan kematian terasa semakin dekat. Apakah sontak membuat kita kehilangan iman, semangat, harapan, dan kasih?
"Jalan kemiskinan dan penyangkalan diri (puasa), kepedulian dan kasih sayang bagi yang miskin (sedekah), dan dialog seperti anak kecil dengan Bapa (doa) memungkinkan kita untuk menjalani kehidupan dengan iman yang tulus, pengharapan yang hidup dan amal kasih yang efektif. "
Kelima, setiap orang memiliki cara tersendiri untuk menghayati keagamaannya. Namun ada banyak alasan yang membuat setiap perbedaan tidak menjadi batasan. Justru ada banyak irisan yang membuat kita satu.
Jalaludin Rahmat, salah satu pemikir Muslim, baru saja tutup usia. Kepergian Kang Jalal pada 15 februari 2021 lalu, tidak hanya menjadi kabar duka bagi segelintir orang. Duka menyelimuti Indonesia, negeri bhinneka tunggal ika.
Salah satu buku Kang Jalal, "Madrasah Ruhaniah: Berguru Pada Ilahi di Bulan Suci" (2005) yang kemudian sampai dicetak ulang beberapa kali, memberikan insight sekaligus membangun kesadaran keagamaan. Pada salah satu bagian, ia menulis, "Seluruh agama pada awalnya adalah agama samawi.. seluruh agama mensyariatkan puasa."
Artinya, puasa bukan soal orang per orang atau kelompok agama tertentu. Puasa adalah laku lumrah yang sudah, sedang dan bisa dijalankan oleh siapa saja.Â
Selain sebagai bentuk penghayatan terhadap perintah agama, puasa adalah kesempatan emas untuk menimba banyak nilai moral dan kebajikan universal. Salah satu nilai moral yang disebut Kang Jalal, dengan mengutip Ali bin Abu Thalib, adalah "jangan jadikan perutmu sebagai kuburan hewan."
Puasa adalah kesempatan mendidik manusia untuk tidak egois. Tidak semena-mena terhadap sesama. Ujian menahan berbagai godaan dan kecenderungan ingat diri yang akut dengan menjadikan sesama, apalagi yang miskin dan lemah, sebagai objek eksploitasi dan tumbal pemenuhan hasrat dan ambisi pribadi.
Puasa adalah momen metanoia. Pertobatan. Jalan pulang pada yang sejati. Penyadaran terhadap jati diri asali sebagai  ciptaan Allah yang fana, tidak berarti, dan tak bisa luput dari salah dan dosa. Umat Katolik menandainya dengan goresan abu hasil pembakaran daun palma pada dahi dalam perayaan Rabu Abu.Â
Kesadaran akan kerapuhan yang membuat setiap orang tidak bisa bergantung pada kesanggupan sendiri dan hidup bagai sebuah pulau terasing. Kita adalah sesama bagi yang lain. Tidak hanya dalam untung, tetapi juga saat malang menerjang seperti kala pandemi Covid-19 ini.
Selamat berpuasa!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H