Paus menyerukan pentingnya membangun harapan. Di tengah kesulitan masih ada alasan untuk tetap berharap. Harapan yang tidak hanya bergantung dan berpusat pada manusia semata. Tetapi harapan yang tertuju pada Sang Pemberi Kehidupan.
Bila selama ini kita sepenuhnya bergantung pada kekuatan manusia, maka tiba saatnya untuk menempatkan Tuhan sebagai pusat sekaligus tujuan utama.Â
Pada Tuhan harapan itu tidak akan sia-sia. Namun ketergantungan pada Tuhan tidak serta merta membutakan nalar. Iman dan akal budi-yang relasinya terus menjadi bahan diskusi tak berujung para teolog, filsuf, dan saintis sejak dahulu kala-tetap patut ditempatkan secara proporsional. Pada tempatnya, tepat waktu, dan tepat pada waktunya.
"Dalam masa-masa sulit ini, ketika segala sesuatu tampak rapuh dan tidak pasti, mungkin tampak menantang untuk berbicara tentang harapan. Padahal masa Prapaskah justru musim pengharapan, saat kita kembali kepada Tuhan yang dengan sabar terus merawat ciptaan-Nya yang selama ini sering kita perlakukan dengan tidak benar," demikian Paus 84 tahun itu.
Meski begitu pengharapan itu tidak hanya bersifat vertikal. Kita pun perlu memberikan harapan kepada sesama. Pengharapan yang membangun, tentu saja. Kita tidak diharuskan mewujudnyatakan pengharapan horizontal dalam tindakan fenomenal.
Perbuatan-perbuatan sederhana seperti bersikap baik, menebar senyum, dan mengucapkan kata-kata penyemangat, penghiburan dan motivasi, sudah lebih dari cukup. Jangan sampai, dalam situasi krisis seperti ini, kita justru melontarkan "kata-kata yang merendahkan, sedih, marah atau menunjukkan cemoohan."
Ketiga, cinta merupakan ekspresi keyakinan dan harapan tertinggi. Demikian penekanan Paus Fransiskus. Menurutnya, cinta merupakan lompatan hati yang membawa setiap orang keluar dari diri sendiri dan menciptakan ikatan dengan sesama.
Dalam hal ini kita bisa melihat cinta sebagai hadiah cuma-cuma serentak bahasa universal yang bisa dimengerti dan dihayati dengan mudah oleh setiap orang tanpa terkecuali. Siapa saja bisa mencintai, memahami, dan mengekspresikannya. Cinta itu meruntuhkan sekat dan dikotomi serta membuat kita melihat sesama sebagai saudara.
Terkadang cinta bisa menjebak seseorang dalam egoisme sempit: ingat diri dan kelompok sendiri. Situasi saat ini lebih mendesak kita mengekspresikan cinta altruistik yang terarah pada kebaikan sesama tanpa pamrih. Paus menyebutnya cinta sosial.
"Untuk mengalami Prapaskah dengan cinta," demikian Paus Fransiskus, "berarti merawat mereka yang menderita atau merasa ditinggalkan karena pandemi Covid-19."