Kita bersyukur bahwa tak berselang lama setelah rangkaian tur Thailand berakhir, Ketua Umum PP PBSI Agung Firman Sampurna langsung menyambangi Pelatnas Cipayung, Jakarta Timur, Selasa (2/2) petang lalu.
Kedatangan Agung jelas penting. Selain menjadi tugasnya, kehadirannya di saat seperti itu pun tepat. Kita tahu seperti apa pencapaian para pebulutangkis kita dalam tiga turnamen awal BWF World Tour 2021. Yonex Thailand Open, Toyota Thailand Open, dan BWF World Tour Finals (WTF) 2020.
Di turnamen pertama, Indonesia mendapat satu gelar, satu runner-up, dan dua semi finalis. Pencapaian di turnamen pertam setelah vakum 10 bulan tentu cukup baik.
Apa yang dicapai di turnamen pertama, ternyata tak menjadi lebih baik sepekan kemudian. Tak ada wakil Merah Putih di final. Pencapaian terbaik di Toyota Thailand Open itu ditorehkan Greysia Polii/Apriyani Rahayu dan Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan. Kedua pasangan itu hanya sanggup berbicara hingga semi final.
Sementara itu di WTF, dari lima wakil yang ambil bagian, hanya satu yang melangkah hingga partai final. The Daddies, julukan Hendra/Ahsan menjadi satu-satunya harapan untuk membawa pulang gelar juara. Namun Lee Yang/Wang Chi Lin asal Taiwan yang mengalahkan mereka sepekan sebelumnya masih terlalu tangguh. Target dua gelar pun gagal terwujud.
Kunjungan Agung pasca ketiga turnamen itu jelas dibutuhkan. Di satu sisi, seperti yang ia ikhtiarkan, ini menjadi kesempatan untuk mendengar langsung suara dari para pelatih dan pemain. Bagaimana tantangan dan perjuangan mereka selama bertanding di Impact Arena, Bangkok. Juga ia bisa mendengar apa yang sesungguhnya terjadi dengan para pemain. Kehadiran seorang pemimpin di saat-saat seperti ini sangat berarti.
Di sisi lain, kesempatan itu bisa sekaligus dimanfaatkan untuk menyuntikkan tambahan energi kepada para pemain. Setelah datang, duduk, dan dengar, Agus perlu memberikan motivasi agar para pemain bisa bangkit.
Patut diakui, pencapaian di awal tahun jauh dari harapan. Hal ini bisa kita bandingkan dengan kekuatan armada yang kita bawa, berikut pencapaian dari negara-negara lain.
Di sektor ganda putra, misalanya, minus Kevin Sanjaya/Marcus Fernaldi Gideon yang tak disertakan dalam rombongan, kita hanya mampu mencapai semi final dan final. Itu pun dicapai oleh satu pasangan: The Daddies.
Pasangan senior yang sudah lewat kepala tiga harus berjibaku menghadapi pasangan dari negara lain yang jauh lebih muda. Pada akhirnya keduanya harus menyerah dari Lee Yang/Wang Chi Lin, yang kemudian meraih hat-trick gelar. Tenaga, semangat, teknik, hingga mental pasangan Taiwan itu begitu mengagumkan.
Dominasi satu negara juga terjadi di sektor ganda campuran. Â Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai masih terlalu tangguh bagi lawan-lawannya. Tidak terkecuali bagi Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti. Praveen/Melati belum bisa mengulangi pencapaian di final All England 2020. Pasangan Thailand itu berhasil balas dendam, sekaligus menegaskan dominasi mereka di tiga seri perdana.
Di sektor tunggal, patut diakui Denmark begitu digdaya. Dua seri pertama dikunci oleh Viktor Axelsen. Sementara itu di panggung WTF, giliran pemain muda, Anders Antonsen yang mengambil podium tertinggi. Itu pun setelah berjuang keras menghadapi Axelsen.
Tunggal putra terbaik Indonesia, Anthony Sinisuka Ginting belum mampu melewati hadangan para unggulan lainnya seperti Chou Tien Chen dan Axelsen.Â
Harapan agar Ginting bisa langsung terbang tinggi di Thailand tak tercapai. Ginting hanya mampu mencapai semi final di pekan pertama, rontok di babak kedua di pekan berikutnya, dan dua kali kalah di penyisihan grup WTF.
Sektor tunggal putri lebih terengah-engah saat undian mempertemukan mereka dengan para unggulan. Gregoria Mariska Tunjung hanya mampu berkiprah hingga babak kedua di pekan kedua. Ia masih belum bisa meladeni Tai Tzu Ying. Sementara itu Tai, unggulan pertama lolos ke final dalam dua pekan pertama, namun pada akhirnya harus menyerahkan gelar juara kepada Marin.
Pemain nomor satu dunia itu baru bisa melancarkan pembalasan kepada Marin saat mereka kembali bertemu di final WTF. Patut diakui permainan Marin begitu bagus setelah mengalami tahun yang sulit sebelumnya.Â
Sementara itu Tai baru bisa mendapatkan kembali magis dan performa terbaik saat berduel dengan Marin di final pekan ketiga. Bisa dibayangkan bagaimana nasib para pemain putri Indonesia bila berhadapan dengan Marin di dua pekan pertama, atau berjumpa Tai di pekan ketiga.
Kita tentu beruntung memiliki The Daddies dan Greysia/Apri yang bisa sedikit menjaga muka kita di Thailand. Greysia/Apri bisa bersaing dengan para pemain Korea Selatan yang begitu digdaya. Setelah kehilangan gelar di pekan pertama, para pemain Negeri Ginseng langsung menebusnya di dua pekan berikutnya. Bayangkan, all Korean final terjadi dua pekan beruntun berikutnya.
Rangkaian pertandingan di Thailand tentu membuat kita bertanya diri. Apakah ada yang kurang dari para pemain kita? Hal-hal apa yang menjadi pekerjaan rumah untuk segera kita perbaiki?
Benar kata Agung Firman, untuk bisa bersaing dan berprestasi ada sederet faktor penting yang harus dipenuhi. Mental, teknik, dan fisik.
Soal teknik, para pemain kita jelas memilikinya. Tidak ada yang meragukan kualitas teknik Anthony Ginting. Salah satu momen yang jelas menunjukkan itu adalah saat mengalahkan pemain yang kini merajai tunggal putra, Kento Momota di Asian Games 2018. Begitu juga saat terbang ke Thailand, hanya Ginting yang bisa merepotkan Axelsen di dua pekan pertama.
Namun dua unsur lainnya, fisik dan mental, jelas terlihat kekurangannya pada para pemain kita. Entah apa yang dilakukan para pemain kita selama lebih dari setengah tahun sebelum kompetisi digelar kembali. Yang pasti saat kembali bertarung terlihat fisik mereka kedodoran, begitu juga fokus dan konsentrasi gampang terganggu.
Nova Widianto, pelatih ganda campuran memberi catatan terhadap Praveen/Melati. Menurutnya, pasangan itu masih gampang membuang poin. Selain itu, komunikasi dan daya juangnya pun berkurang.
"Waktu keadaan tertekan, jadi gampang menyerah. Dari segi permaianan, musuh sudah pasti mempelajari keunggulan dari permainan Jordan/Melelati dan mereka kurang siap dengan itu," ungkap Nova kepada badmintonindonesia.org.
Situasi serupa terjadi juga dengan para pemain putri. Rionny Mainaky, mengakui bahwa baik Gregoria Mariska, maupun Ruselli Hartawan tampil kurang percaya diri. Sedikit saja kesalahan bisa membuyarkan konsentrasi dan mengganggu permainan.
"Ruselli mainnya terlalu tegang. Membuat langkahnya menjadi berat, mainnya tidak lepas dan tidak maksimal. Ini yang benar-benar harus dievaluasi dan diperhatikan, baik pemain atau pelatihnya," tandas Rionny, pelatih tunggal putri, merangkap Kabid Binpres, menggantikan Susy Susanti.
Tim pelatih tentu jauh lebih memahami apa yang sesungguhnya terjadi dengan para pemain dan bagaimana memperbaikinya. Tiga seri turnamen di Thailand sekiranya cukup memberikan gambaran seperti apa fisik, mental, dan teknik para pemain setelah absen bertanding cukup lama. Â
Begitu juga lawatan ke Thailand menjadi kesempatan yang pas untuk mengukur sepak terjang para pasamgan muda dan debutan di turnamen Super 1000 seperti Leo Rolly Carnando/Daniel Marthin.Â
Ganda putra ini berhasil melesat ke semi final di pekan pertama sebelum dikalahkan pasangan senior Malaysia, Goh V Shem/Tan We Kiong. Tentu ini menjadi sebuah awal yang manis. Sebuah pencapaian yang patut diapresiasi sekaligus masih harus terus diasah agar bisa semakin berkembang dan matang, seiring rangking mereka yang melonjak drastis dari 87 ke 42 pada pekan ini.
Kita berharap pasca kunjungan sang ketua umum, para pemain dan tim pelatih semakin mendapat suntikan semangat dan dukungan agar bisa mempersiapkan diri lebih baik untuk menghadapi turnamen selanjutnya. Apakah para pemain kita bisa lebih baik di Swiss Open pada awal Maret nanti? Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H