Saat kita di sini sibuk berbicara dan mempersoalkan status kewarganegaraan seseorang, Kilasu Ostermeyer, tengah memendam kepedihan di Bangkok, Thailand.
Apakah anda bisa membayangkan arti tanah air bagi seseorang yang lahir dari dua negara berbeda? Apakah anda tahu betapa besar perjuangannya untuk bisa pulang ke salah satu tempat dari mana ia berasal? Bagaimana bila rindu itu akhirnya tak bisa terpenuhi paripurna karena terjangan pandemi Covid-19 yang tak mengenal ampun?
Belakangan ini, dunia pemberitaan dan persosialmediaan Indonesia ramai soal Kristen Gray. Wanita Amerika keturunan Afrika yang tinggal di Bali selama setahun terakhir, bersama pasangannya, Saundra. Postingannya di akun twitter beberapa waktu lalu memantik reaksi luas dari warganet tanah air, pun mancanegara.
Kicauannya tentang pengalaman hidup di Bali pasca kehilangan pekerjaan di negara asal, berikut ajakan bagi warga negara asing (WNA) untuk mengikuti jejaknya, mendapat beragam respon.
Dari situ, rekam jejaknya mulai terungkap. Mulai dari e-book promotif berjudul Our Bali Life is Yours yang diperjualbelikan, hingga legalitasnya sebagai WNA, yang membuatnya harus berurusan dengan pihak imigrasi. Tak terkecuali, merembet ke soal rasial hingga orientasi seksual.
Polemik yang menimpa Kristen Gray kemudian melahirkan beragam refleksi. Mulai dari soal legalitas, norma, moral, etika, hingga urusan kenegaraan dan kebangsaan.
Apakah status keberadaannya di Indonesia sah secara hukum? Mengapa seorang WNA bisa sedemikian nyaman tinggal di negara lain bila visanya sudah kadaluarsa?
Apakah pantas seorang WNA berkoar-koar mengajak orang asing datang saat negara sedang berjuang membatasi ruang gerak dan mobilitas penduduk untuk memutus mata rantai virus yang kian merajalela? Apakah pantas dalam situasi seperti ini ia mengambil untung dari aktivitas promotif?
Soal legal etik ini kemudian semakin berkembang. Berbagai pertanyaan konfrontatif dan konfirmatif pun bermunculan. Apakah benar Gray dan pasangannya itu menyalahi aturan? Apakah salah seseorang berbicara di sosial media soal pengalaman hidup di negara lain? Apakah pantas menyerang seseorang secara membabibuta terlepas dari status kewarganegaraanya?