Terjangan pandemi Covid-19 memukul semua sektor. Hampir tak ada sisi kehidupan yang luput. Tidak terkecuali dunia olahraga. Terhentinya kompetisi membuat para pemain kehilangan kesempatan bermain. Risikonya, keran penghasilan pun tertutup.
Bagi pemain bulutangkis profesional yang berada di bawah tanggung jawab negara tentu masih bisa bernapas. Bisa dibayangkan bagaimana nasib para pemain independen yang semata-mata bergantung pada kemampuan sendiri saat tak ada satu pun kompetisi digelar. Dengan cara apa mereka bertahan hidup?
Situasi ini jelas dialami Goh V Shem dan Tan Wee Kiong. Sejak memutuskan lepas dari tim nasional Malaysia beberapa tahun lalu, keduanya harus berjuang sendiri di setiap turnamen. Tidak ada jaminan dari Federasi Bulutangkis Malaysia (BAM). Mereka semata-mata hanya bergantung pada sponsor agar bisa terus mengayunkan raket dan menjaga asap dapur tetap ngebul.
"Sebagai pemain independen kami harus menangani banyak hal sendiri, kami harus mengatur semuanya," beber Tan seperti dinukil dari situs BWF.
Keluar dari tim nasional jelas bukan suatu keputusan yang tabu dalam dunia bulutangkis. Para pemain Indonesia pun pernah melakukan itu. Pasangan senior Hendra Setiawan dan Mohammad Hasan tak terkecuali.
Awal tahun 2019 lalu, pasangan yang karib disapa "Daddies" itu memilih meninggalkan pelatnas PBSI. Keduanya memilih meniti karier sebagai pemain profesional independen. Saat itu, mereka beralasan ingin memberi tempat dan peluang lebih besar kepada para pemain muda.
Hendra bahkan pernah menjadi pemain independen dua tahun sebelum itu. Ia memilih partner dari Malaysia, Tan Boon Heong. Setahun kemudian, di awal 2018, Hendra dipanggil kembali ke pelatnas untuk berpasangan lagi dengan Ahsan.
Ternyata pilihan meniti karier di luar pelatnas dalam situasi pandemi seperti ini jauh lebih menantang. Apalagi untuk para pemain senior dengan berbagai tanggungan. Syukurlah kalau masih mendapat suntikan modal dari sponsor, bila tidak maka pintu pemasukan dari bulutangkis benar-benar tertutup.
"Syukurlah sponsor kami terus mendukung kami, terutama Yonex dan Top Glove. Tidak mudah bagi pemain independen, tidak hanya kami, tetapi juga Teo (Ee Yi), Ong (Yew Sin), Chan (Peng Soon,) dan Goh (Liu Ying)... Setidaknya kami berhasil mempelajari sesuatu, dalam situasi ini," Goh mengakui bahwa nasih serupa juga mendera para pemain independen Malaysia lainnya.
Pandemi yang mulai menerjang dunia sejak awal tahun lalu memaksa BWF membatalkan lebih dari separuh pertandingan. Goh dan Tan mengalami masalah serius. Tidak ada pemasukan sama sekali selama berbulan-bulan.
"Tahun lalu sangat sulit, pendapatan kami nol. Kami harus menjaga diri dan berkeluarga, pertanyaannya bagaimana mengatur, " aku Goh.
Pasca hengkang dari BAM, keduanya sempat tiga kali mencapai final HSBC BWF World Tour Super 300. Hadiah yang dibawa pulang tidak sebanyak saat menjadi juara World Tour Super 1000 yang terakhir kali diraih empat tahun lalu. Keduanya membawa pulang tak kurang dari Rp 1,1 miliar dari Dubai World Superseries Finals pada 2016. Di partai final turnamen dengan total hadiah 1 juta dolar (Rp 13,1 miliar), mereka menaklukkan pasangan Jepang, Takeshi Kamura/Keigo Sonoda, dua game langsung, 21-14, 21-19.
Berkah Thailand Open
Di tengah krisis finansial yang menghimpit, mencapai final Yonex Thailand Open tak ubahnya berkah di tengah bencana. Inilah turnamen level Super 1000 yang mereka nanti-nantikan selama empat tahun. Di babak semi final, keduanya sukses mengalahkan pasangan muda Indonesia, Leo Rolly Carnando dan Daniel Marthin.
Keduanya berhasil memanfaatkan keunggulan jam terbang untuk meredam semangat pasangan 19 tahun itu. Sebagai finalis Olimpiade Rio 2016, keduanya mampu memanfaatkan penampilan antiklimaks "The Babies." Â
Rupanya pasangan muda yang baru naik kelas itu tak mampu menjaga konsistensi usai menumbangkan Marcus Ellis/Chris Langride di babak perempatfinal kemarin. Goh dan Tan pun menang straight set, 21-19 21-10 sekaligus menguburkan asa Leo dan Daniel ke partai pamungkas.
Tentu, bila menjadi juara mereka akan mendulang banyak uang. Keduanya akan menggondol sekitar 74 ribu USD. Bila tidak, separuh dari itu, sekitar 35 ribu USD akan menjadi milik mereka. Dalam situasi sulit seperti ini, nominal sebanyak itu jelas sangat berarti.
Hanya saja lawan yang akan dihadapi di babak final tidak mudah. Mereka akan berjibaku dengan pasangan Taiwan, Lee Yang/Wang Chi-Lin. Lee/Wang, unggulan enam, ke final usai menumbangkan pasangan Korea, Choi Solgyu/Seo Seung Jae.
Di atas kertas, Lee/Wang lebih diunggulkan. Secara peringkat terkini, kedunya lebih baik. Lee/Wang berada di rangking ketujuh, sementara Goh dan Tan masih berjuang di luar 10 besar. Selain itu, dari dua pertemuan, Lee/Wang selalu menang. Kemenangan terakhir terjadi di Indonesia Masters, awal tahun 2020. Saat itu keduanya menang rubber game, 13-21 21-16 17-21.
Hanya saja, Goh/Tan akan berjuang dengan motivasi ekstra. Mereka tidak hanya ingin menorehkan catatan di lembaran sejarah turnamen tersebut, tetapi juga mendapatkan hadiah maksimal. Â
Bisa jadi himpitan ekonomi yang sedang terjadi akan melipatgandakan semangat mereka. Dalam situasi pandemi yang tak menentu ini, berkah yang ada di Impact Arena, Bangkok, tak ingin mereka sia-siakan.
"Senang rasanya kita bisa mencapai final setelah waktu yang lama. Saat ini kami menikmati permainan, itu yang paling penting bagi kami. Kami berusaha untuk mempertahankan standar sejauh yang kami bisa. Kami akan mempelajari lawan kami untuk besok dan tetap fokus," tandas Tan diplomatis.
Dua Wakil Indonesia
Tidak hanya Leo dan Daniel, Anthony Sinisuka Ginting juga bermain antiklimaks. Unggulan lima ini menyerah dari Viktor Axelsen asal Denmark. Ginting yang sempat tertinggal di game pertama berhasil bangkit di game kedua. Hanya saja keunggulan di game ketiga gagal dimanfaatkan dan dipertahankan hingga akhir. Ia harus melepaskan tiket final usai bertarung selama 63 menit, dengan skor 19-21, 21-13, 13-21.
Tersingkirnya dua wakil itu, membuat Indonesia kini menaruh harapan pada dua pasangan ganda. Usai menyingkirkan pasangan Prancis, Thom Gicquel/Delphine Delrue, 21-16, 23-21, Praveen/Melati akan menantang unggulan pertama, Dechapol Puavaranukroh/Sapsiree Taerattanachai di final ganda campuran. Apakah Praveen/Melati mampu menjinakkan Dechapol/Sapsiree di markas mereka?
Harapan lainnya datang dari Greysia Polii/Apriyani Rahayu. Pasangan berbeda generasi ini tampil impresif saat menekuk Lee So-hee/Shin Seung-chan, 15-21, 21-15 dan 21-16. Setelah kemenangan atas unggulan tiga dari Korea, mereka akan menghadapi pasangan tuan rumah, Jongkolphan Kititharakul/Rawinda Prajongjai.
Secara peringkat dan catatan head to head, Greysia/Apriyani unggul. Greysia/Apri menang empat kali dalam lima pertemuan di antara mereka. Hanya saja, di pertemuan terakhir di Taiwan Open 2019, Greysia/Apri menyerah 21-18,12-21,21-17. Saat itu Greysia/Apri menjadi unggulan pertama.
Selain mewaspadai faktor tuan rumah, kekalahan di pertemuan terakhir harus menjadi catatan. Selain itu, ganda putri terbaik Merah Putih ini pun harus bisa mengatur ambisi untuk menjadi juara dan tenaga yang dimiliki. Jangan sampai justru menjadi antiklimaks. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H