Banjir. Covid-19. Saat ini kita dalam status waspada tingkat tinggi. Ancaman banjir karena potensi curah hujan tinggi di satu sisi. Terjangan pendemi Covid-19 yang kian menjadi-jadi di sisi berbeda.
Banjir dan Covid-19 memang tidak bisa saling dihadapkan. Juga dicarikan sebab pada yang satu atau menjadikan yang lain sebagai akibat. Ini dua hal berbeda. Dua kejadian terpisah. Keduanya kebetulan disatukan oleh waktu yang sama. Muncul dan berlangsung berbarengan. Bisa dibayangkan dampaknya pada kita.
Apakah kita bisa mengadapi salah satu sekaligus menghindari yang lain? Apakah kita bisa terhindar dari dampak buruk keduanya?
Pertama, keduanya, baik banjir maupun wabah corona, sama-sama merugikan. Tidak hanya materi fisik dan psikis, nyawa pun menjadi taruhan.
Banjir bisa meluluhlantahkan tempat tinggal dan membuat seseorang menjadi tak berumah. Banjir bisa pula merusak akses pada fasilitas-fasilitas vital yang membuat hidup banyak orang terdampak. Banjir bisa juga merenggut nyawa dan membuat banyak orang berduka.
Banyak contoh bisa diangkat. Awal tahun 2020 lalu, sejumlah wilayah di tanah air diterjang banjir. Sejumlah wilayah di DKI Jakarta, Bekasi, Tangerang, Bandung Barat, Bogor, Lebak, hingga Sikka, NTT. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merangkum, sebanyak 455 bencana terjadi sejak 1 Januari hingga 10 Februari 2020 (Kompas.com, 2/1/2020).
Data dari sumber yang sama, dari ratusan bencana banjir itu, ratusan ribu orang mengungsi, ratusan orang hilang, dan puluhan orang meninggal. Puluhan ribu keluarga kehilangan tempat tinggal dan puluhan fasilitas pendidikan, peribadatan, perkantoran, dan kesehatan rusak. Hingga kini, bagi sebagian orang, datangnya musim hujan kadang disambut dengan rasa khawatir. Melihat hujan seperti melihat titik-titik air mata.
Covid-19? Jangan ditanya. Puluhan ribu orang meninggal. Data Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, per Senin (11/1/2021) pukul 12.00 WIB, kasus Covid-19 di tanah air sudah menginjak angka 836.718.
Kita bersyukur bahwa sebagian besar pasien sembuh. Namun dari 688.739 orang itu sudah mengalami banyak kehilangan. Mulai dari materi, waktu, tenaga hingga perasaan. Dampak psikologis berupa rasa takus dan cemas itu kini sedang merasuki setiap orang.
Kedua, dampak banjir memang tidak semasif Covid-19. Banjir menerjang daerah-daerah rawan. Sementara itu Covid-19 tak kenal batas geografi. Saat ini Covid-19 sudah tersebar di 510 dari 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia.
Kurva kasus baru masih bergerak naik. Belum menunjukkan tanda-tanda penurunan. Ancaman terjangan gelombang kedua dan mutasi virus membuat angka penderita baru bisa naik signifikan. Seperti yang terjadi dalam beberapa waktu terakhir di sejumlah daerah di tanah air.
Meski begitu, baik banjir maupun Covid-19 bukan sesuatu yang terberi. Kita tidak harus menerimanya begitu saja. Kita punya pilihan untuk menghindar dengan sumber daya yang sudah Tuhan beri dalam cara yang lazim disebut pencegahan atau mitigasi. Karunia akal budi, kehendak dan perasaan, mestinya memampukan kita untuk menjaga tindak tanduk dan bersinergi satu sama lain.
Bagaimana perilaku kita untuk mencegah terjadi banjir? Menanam pohon atau tanaman di sekitar rumah dan lingkungan. Pohon dan tanaman hijau ampuh mencegah banjir. Selain itu, membuat sumur serapan atau biopori terutama di daerah dengan mayoritas permukaan tanah dilapisi aspal.
Memperbaiki dan menata kembali sistem penyaluran air. Mengeruk sungai yang dangkal, menata daerah aliran sungai, hingga penghijauan hulu sungai. Di samping itu, membangun sistem pemantau dan peringatan banjir mutakhir.
Hal lain tak kalah penting dan erat kaitan dengan perilaku individu adalah soal sampah. Di mana-mana kerap kita berjumpa tulisan, "buang sampah pada tempatnya." Namun seruan itu terkadang menjadi hiasan belaka. Perilaku sehari-hari jauh panggang dari api. Sampah dibuang sembarangan. Tong-tong sampah yang tersedia jadi pemanis saja.
Jika kita masih kekurangan teladan, kita bisa masukan Jepang dalam daftar. Ini salah satu negara terbersih di dunia. Negara dan warga kompak soal yang satu ini. Tidak ada kompromi terhadap pelanggar kebersihan.
Warga sadar setiap potongan sampah yang tak dikelola secara baik berdampak tidak hanya pada diri sendiri tapi juga orang lain. Masing-masing orang perlu bertanggung jawab atas sampah yang dihasilkan.
Tanpa perlu instruksi dan pengawasan macam-macam, setiap orang tahu apa yang harus dibuat dengan sampah. Memilah setiap sampah dan menaruhnya pada tempatnya. Entah sampah rumah tangga (sisa makanan atau bahan-bahan mudah terbakar), sampah plastik, sampah botol dan kaleng, hingga sampah besar (kasur, lemari, kursi, dll).
Masing-masing jenis sampah itu tertib dipilah dan dibuang pada tiap-tiap wadah. Biasanya dibedakan berdasarkan warna. Misalnya, plastik sampah warna biru untuk jenis sampah rumah tangga. Atau tiap jenis sampah plastik dimasukan pada tempat warna orange. Masing-masing jenis sampah memiliki jadwal pengangkutan berbeda-beda saban minggu. Tak pernah ada petugas yang alpa.
"Saya pernah sekali diusir warga dari pos pembuangan sampah hanya karena alasan kecil: saya lupa membersihkan sisa-sisa minyak dari botol minyak goring yang mau saya buang," cerita teman saya, Emanuel Susento dalam bukunya "Merah Putih di Jepang" (2020:207) soal kebiasaan warga di Kobe, ibu kota Prefektur Hyogo.
Ulasan lengkap tentang "Merah Putih di Jepang" bisa baca di sini.
Pengetahuan soal sampah, memilah sampah dan penyediaan tempat sampah untuk sejumlah jenis sampah bukan hal baru bagi kita. Namun yang masih menjadi asing adalah pembiasaan membuang sampah pada tempatnya. Membuang sampah secara tertib, patuh, dan konsisten, belum terinternalisasi dan menjadi budaya.
Seperti laku kita yang kadang lengah tertib membuang sampah pada tempatnya, demikian juga kita masih lalai menghadapi Covid-19. Eskalasi kasus baru yang terus meningkat, membuat kita mau tidak mau harus memutus mata rantai penyebaran. Salah satunya menyadari dan menjauhi titik yang kadang tidak kita sadari sebagai pintu masuk virus.
1. Titik lengah pertama dan kerap tidak kita sadari adalah rumah. Kita kadang kadung berpikir positif soal orang-orang terdekat dan orang-orang yang datang bertandang untuk alasan yang penting.
Saat makan bersama keluarga yang tidak serumah, kumpul keluarga atau kumpul bersama teman yang tidak serumah, hingga pegawai atau petugas rumah yang pulang pergi. Tak terkecuali tukang service atau tukang pijat yang sengaja dipanggil untuk urusan darurat.
Begitu juga saat menjawab keinginan teman atau keluarga untuk datang bertandang hingga ingin menginap. Lantas kita menjawab ya, karena tidak ingin mengecewakan mereka.
2. Kadang kita mudah tergerak untuk menghadiri arisan, hajatan, atau sekadar belajar kelompok. Alasannya, kita tidak ingin mengecewakan orang yang mengundang. Kita tidak ingin kesempatan mendapatkan uang arisan jatuh ke tangan yang lain. Kita tak mau dinilai buruk oleh teman sekelas.
Begitu juga saat memenuhi kebutuhan harian dengan berbelanja ke pasar atau sekadar mencari barang kebutuhan di tukangan sayur di depan rumah. Apakah ada yang masih membiarkan anak-anaknya bermain dengan teman-temannya di luar rumah?
3. Saat menjalankan aktivitas harian di luar rumah. Olahraga bersama teman atau orang yang tidak serumah. Makan bersama teman untuk merayakan ulang tahun, sukses menjalankan proyek tertentu, atau sekadar ingin untuk berkumpul.
4. Juga saat bepergian ke tempat kerja atau ke pusat perbelanjaan: di transportasi umum, di lift dengan banyak orang, atau saat mengantre di kasir. Juga kala beribadah dan menghadiri acara pemakaman.
Rumah, sekitar rumah, tempat kerja, sekolah, dan tempat-tempat umum adalah titik-titik rawan yang karena berbagai alasan membuat kita cepat alpa untuk tetap menjaga protokol kesehatan: memakai masker, menjaga jarak, dan mencuci tangan.
Saat diajak berfoto bersama, kita serta merta melepas masker agar wajah kita terlihat jelas. Bertemu teman dekat, secepat kilat menyodorkan tangan untuk bersalaman. Tak ingin terlambat ke kantor, kita nekat berdesak-desakan. Tak rela anak-anak stres terkurung di rumah, membiarkan mereka berinteraksi dengan rekan sebaya tanpa kontrol. Saat makan bersama keluarga tak serumah, mau tak mau harus membuka masker. Begitu juga nyaman menjamu tamu karena terlanjur merasa aman karena hasil tesnya negatif.
"Ingat, hasil tes bersifat realtime. Jadi hanya berlaku pada detik Anda diperiksa saja. Hasil negatif tidak menjamin Anda bebas dari virus," tegas dr. RA Adaninggar, spesialis penyakit dalam.
Saat bersama orang-orang terdekat dan beraktivitas tanpa kendali itu virus corona sebenarnya sedang mencari pintu untuk masuk menerjang. Bila tidak siaga dan selalu awas, yang terjadi kemudian hanya penyesalan, yang dianggap selalu datang terlambat. Baru kemudian bertanya lirih, "saya nggak ke mana-mana, nggak ngapa-ngapain kok bisa kena ya?!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H