"Saya pernah sekali diusir warga dari pos pembuangan sampah hanya karena alasan kecil: saya lupa membersihkan sisa-sisa minyak dari botol minyak goring yang mau saya buang," cerita teman saya, Emanuel Susento dalam bukunya "Merah Putih di Jepang" (2020:207) soal kebiasaan warga di Kobe, ibu kota Prefektur Hyogo.
Ulasan lengkap tentang "Merah Putih di Jepang" bisa baca di sini.
Pengetahuan soal sampah, memilah sampah dan penyediaan tempat sampah untuk sejumlah jenis sampah bukan hal baru bagi kita. Namun yang masih menjadi asing adalah pembiasaan membuang sampah pada tempatnya. Membuang sampah secara tertib, patuh, dan konsisten, belum terinternalisasi dan menjadi budaya.
Seperti laku kita yang kadang lengah tertib membuang sampah pada tempatnya, demikian juga kita masih lalai menghadapi Covid-19. Eskalasi kasus baru yang terus meningkat, membuat kita mau tidak mau harus memutus mata rantai penyebaran. Salah satunya menyadari dan menjauhi titik yang kadang tidak kita sadari sebagai pintu masuk virus.
1. Titik lengah pertama dan kerap tidak kita sadari adalah rumah. Kita kadang kadung berpikir positif soal orang-orang terdekat dan orang-orang yang datang bertandang untuk alasan yang penting.
Saat makan bersama keluarga yang tidak serumah, kumpul keluarga atau kumpul bersama teman yang tidak serumah, hingga pegawai atau petugas rumah yang pulang pergi. Tak terkecuali tukang service atau tukang pijat yang sengaja dipanggil untuk urusan darurat.
Begitu juga saat menjawab keinginan teman atau keluarga untuk datang bertandang hingga ingin menginap. Lantas kita menjawab ya, karena tidak ingin mengecewakan mereka.
2. Kadang kita mudah tergerak untuk menghadiri arisan, hajatan, atau sekadar belajar kelompok. Alasannya, kita tidak ingin mengecewakan orang yang mengundang. Kita tidak ingin kesempatan mendapatkan uang arisan jatuh ke tangan yang lain. Kita tak mau dinilai buruk oleh teman sekelas.
Begitu juga saat memenuhi kebutuhan harian dengan berbelanja ke pasar atau sekadar mencari barang kebutuhan di tukangan sayur di depan rumah. Apakah ada yang masih membiarkan anak-anaknya bermain dengan teman-temannya di luar rumah?