Natal telah tiba. Tahun Baru sudah di depan mata. Dua momen penting di akhir tahun yang kerap dirayakan dengan dan melalui banyak cara.
Di tengah situasi tak menentu, saat pandemi Covid-19 masih menerjang, apakah Natal dan Tahun Baru kali ini masih pantas dirayakan?
Saya teringat pesan Natal yang menyentuh dari Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. Pesan itu ia kirim kurang dari 24 jam setelah dilantik Presiden Joko Widodo, menggantikan Fachrul Razi.
Kepada segenap umat Kristiani di Indonesia, ia tidak hanya mengirim ucapan selamat merayakan peristiwa iman, kelahiran Yesus Kristus. Ia juga mengingatkan untuk memaknai momen tersebut dalam kesederhanaan. Ia tidak mengajurkan untuk berperilaku konsumtif dan pemborosan.
Hemat saya, pesan tersebut sangat bermakna dan kontekstual. Dalam situasi sulit saat ini, tidak semua momen penting perlu dirayakan secara berlebihan. Sebagaimana Yesus lahir dalam kesederhanaan di sebuah kandang domba di Betlehem, begitu pula umat Kristiani menjalani panggilannya.
"Peringatan Natal pada hakikatnya adalah momentum bagi Umat Kristiani untuk meningkatkan kesadaran bahwa anugerah keselamatan telah Tuhan berikan bagi umat manusia. Hal ini perlu direfleksikan melalui perbuatan-perbuatan kebaikan, kesederhanaan, perhatian terhadap kaum lemah dan cinta kasih bagi sesama," bebernya.
Umat Kristiani pasti sangat paham bagaimaan merayakan Natal secara tepat. Esensi Natal tentu tidak terletak pada aspek seremonial. Bagaimana Natal direfleksikan sebagai kesempatan untuk memperbaharui dan meningkatkan kualitas iman serta penghayatan yang semakin baik dalam hidup bersama. Itulah yang utama.
Kado Natal dan Tahun Baru
Lantas, apakah kado Natal dan Tahun Baru masih perlu disiapkan? Masih pantaskah kita menanti bingkisan dan kartu ucapan selamat? Layakkah kita memasang pohon natal dengan lampu warna-warni? Masih paskah kita menyalakan kembang api untuk menyambut datangnya tahun baru? Perlukah kita bersukacita dengan berbagi makanan?
Menurut saya, kebiasaan tersebut masih pantas kita buat. Berbagi kado, bingkisan, makanan, kartu ucapan, hingga ucapan selamat dalam berbagai rupa, bukan sesuatu yang terlarang. Begitu juga bukan sebuah kewajiban untuk menjalaninya bila kondisi tidak memungkinkan. Sekadar berkabar, berbagi pesan di sosial media, tentu sudah lebih dari cukup.
Bagi yang sanggup berbagi untuk mempertahankan semarak Natal dan Tahun Baru tahun ini dengan kado, lampu natal hingga makanan spesial, beberapa saran ini sekiranya relevan.
Pertama, ucapan dan pesan Menteri Agama di atas bagi saya adalah sebuah kado Natal dan Tahun Baru spesial. Pesan menyentuh dan bermakna, membuat perayaan Natal kembali ke makna terdalam: kesederhanaan dan mengedepankan perbuatan-perbuatan baik demi kepentingan banyak orang, seperti teladan Sang Penyelamat.
Ada banyak inspirasi model kado Natal dan Tahun Baru yang bisa kita temukan. Hampir tiap tahun kita menyiapkan dan/atau mendapatkannya. Bagaimana dengan tahun ini? Selain desain dan isi, sudahkan kita mempertimbangkan material yang dipakai?
Saat masalah ekologi tengah menjadi keprihatinan bersama, maka pertimbangan penggunaan material untuk kado Natal dan Tahun Baru menjadi penting. Adalah bijak dan tepat untuk memilih material yang dapat didaur ulang, alih-alih plastik sekali pakai, logam, dan bahan yang berlapis kilauan. Bahan-bahan tersebut tidak bisa didaurulang sehingga bisa menyebabkan masalah lingkungan.
Sebuah studi baru melaporkan (Kompas.com, 25/07/2020), sekitar 300 juta ton plastik diproduksi secara global setiap tahunnya. Namun, hanya 10 persen saja yang didaur ulang. Bila tidak segera diantisipasi secara tepat, maka 1,3 miliar ton plastik akan mencemari dunia pada tahun 2040. Bisa dibayangkan dampaknya bagi bumi ini.
Selain memilih bahan-bahan yang bisa didaurulang, kita pun bisa menggunakan bahan bekas, sisa atau hasil daur ulang untuk membuat bungkus kado misalnya. Komik bekas, kantong kertas bekas, pita bekas, hingga kertas sobekan majalah bisa dimanfaatkan. Selain mengasah kreativitas, memilih bahan-bahan tersebut sekaligus menghemat pengeluaran.
Bila kita bisa mengemas dengan baik, pemberian kita akan lebih bermakna. Bila tidak, tak jadi masalah, karena terkadang yang terpenting bukanlah isi tetapi makna dan pesan di balik pemberian itu bukan?
Kedua, selain penggunaan bahan yang bisa didaurulang untuk kado, material untuk ornamen Natal dan Tahun Baru seperti pohon Natal pun patut dipertimbangkan. Terkadang kita akan lebih cepat memilih dan merasa lebih lazim untuk menggunakan pohon Natal dari material plastik. Padahal ide menggunakan pohon dari material yang bisa didaurulang, atau pohon hidup sekalipun, bukan sesuatu yang buruk.
Selain itu untuk menambah semarak pemilihan jenis lampu juga penting. Memilih lampu hemat energi seperti lampu LED adalah langkah yang bijak.
Meski jumlah masing-masing pengguna tak seberapa, bila diakumulasi secara keseluruhan, penggunaan lampu hemat energi akan berdampak luas. Tidak hanya menyelamatkan kantong agar tidak terkuras, tetapi juga menyelamatkan bumi dari ancaman pemanasan global yang ada di depan mata.
Ketiga, Natal dan Tahun Baru juga identik dengan makanan. Aneka hidangan tersaji. Berbagai jenis makanan disediakan dan dibagi-bagi. Patut diingat untuk menyediakan makanan dalam jumlah yang cukup. Menyediakan makanan dalam jumlah berlebihan bukanlah hal yang tepat.
Sekalipun kita mampu untuk menyediakan makanan dalam jumlah banyak, sadar atau tidak, makanan yang disisahkan akan menjadi sampah. Lantas, sampah itu akan ikut menambah emisi karbon di bumi.
Tahukah anda berapa banyak makanan yang terbuang sia-sia? Badan Pangan dan Pertanian Dunia (FAO),seperti dilansir dari Kompas.com 21/02/2019 memperkirakan, sepertiga makanan yang diproduksi terbuang atau hilang begitu saja setiap tahunnya. Â Bila dikonversi ke dalam rupiah, sekitar Rp 14 kuadriliun atau setara 14.000 triliun menguap.
Indonesia menempati peringkat kedua dalam daftar pembuang makanan terbanyak. Laporan Barilla Center for Food & Nutrition pada tahun 2016 itu memperkirakan sekitar 300 kilogram makanan per kapita terbuang saban tahun.
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, mencatat tingkat stunting di Indonesia mencapai 30,81 persen. Angka ini masih jauh di bawah standar kasus stunting yang bisa ditoleransi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yaitu maksimal 20 persen.
Laporan Barilla Center for Food & Nutrition di tahun yang sama, Indonesia menempati peringkat kedelapan di antara 67 negara dengan tingkat prevalensi kekurangan gizi tertinggi.
Masalah kekurangan gizi yang tinggi di satu sisi dan banyaknya makanan yang dibuang sia-sia, jelas sebuah paradoks. Situasi ini sungguh menampar kita. Laiknya ironi yang mestinya menggugah kesadaran dan laku hidup kita untuk segera berbenah.
Untuk itu momentum perayaan Natal dan Tahun Baru kali ini sekiranya tepat untuk mengasah dan mempertebal kesadaran dan laku hidup yang makin beriman, makin ugahari, dan makin ekologis, ketimbang mempertahankan aktivitas ritualistik dan narsistik, yang kurang relevan dengan situasi dan kondisi dunia saat ini.
Semangat perubahan, itulah kado sesungguhnya yang harus kita sediakan dan bagikan kepada sesama kita.
Selamat Natal dan selamat menyongsong Tahun Baru!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H