Bulu tangkis Indonesia baru saja "kehilangan" dua sosok penting. Mereka adalah Liliyana Natsir dan Debby Susanto. Keduanya memutuskan mundur dari gelanggang usai turnamen yang sama: Indonesia Masters 2019. Meski gantung raket profesional nyaris pada waktu bersamaan, suasana yang mengiringi berbeda.
Debby menjalani turnamen terakhir dengan hasil yang kurang memuaskan. Berpasangan dengan Ronald Alexander, keduanya terhempas di babak pertama. Mereka kalah straight set 15-21 dan 13-21 dari pasangan Jerman, Mark Lamsfuss dan Isabel Herttrich.
Butet, sapaan manis Liliyana, seperti berada di kutub berbeda. Bersama tandemnya, Tontowi Ahmad, mereka mampu melangkah jauh hingga partai final.Â
Lawan-lawan tangguh dihempaskan hingga membuat pasangan nomor satu dunia, Zheng Siwei/Huang Yaqiong ketar-ketir di laga pamungkas. Owi dan Butet sempat mencuri set pertama sebelum akhirnya takluk dari pasangan yang usianya jauh lebih muda. Skor akhir pertandingan adalah 21-19, 19-21, 16-21.
Sebelum memainkan seluruh partai final, Butet mendapat apresiasi dalam sebuah acara perpisahan singkat. Ia pun turut bersuara dari atas podium. Ada yang menyebut seremoni perpisahan itu terlalu sederhana. Namun bila dibandingkan dengan Debby, apa yang dibuat untuk Butet lebih dari cukup. Sementara Debby pergi dalam diam. Tidak ada selebrasi untuk dia.
Tidak bermaksud membandingkan kedua pemain itu. Butet berkarier selama 24 tahun, sementara Debby mengakrabi olahraga itu dalam 17 tahun terakhir. Selama itu mereka berjuang dengan cara mereka, dengan setiap pasangan, untuk sejauh dapat meraih gelar. Dari mereka tidak sedikit gelar yang bisa kita banggakan.
Meski tidak sebanyak dan sementereng Butet, Debby pernah membanggakan Indonesia di sejumlah turnanem utama. All England 2016 dan Korea Open 2017 bersama Praveen Jordan adalah beberapa dari antaranya.
![Debby Susanto menjuarai All England 2016 bersama Praveen Jordan/badmintonindonesia.org](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/01/praveen-debby-all-england-badmintonindonesia-5c53c0f8ab12ae513719c823.jpg?t=o&v=770)
Sementara Butet prestasinya lebih mengular panjang dengan pencapaian tertinggi adalah "hattrick" juara dunia dan emas olimpiade 2016. Tidak banyak pebulutangkis di dunia yang bisa naik podium tertinggi di pesta olahraga tingkat dunia itu di usia 30 tahun.
Dari segi konsistensi, Debby, juga para pebulutangkis muda lainnya memang patut meniru Butet. Hingga berusia lewat kepala tiga pun, Butet masih tetap berada di garda terdepan sektor ganda campuran.
Hingga keputusan yang penting itu datang dan saaat mengharukan itu tiba, ia tetap menjadi yang terbaik. Butet tetaplah playmaker yang membuat Owi bisa tampil maksimal. Butet tetaplah jagoan di lini depan yang bisa berduel dengan playmaker-playmaker China lintas generasi.
![Kompas.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/01/karier-liliyana-kompas-5c53c28daeebe1671e1fbd37.jpg?t=o&v=770)
Situasi inilah yang membuat insan bulu tangkis Indonesia berat melepaskan Butet. Ditambah lagi, Debby juga memutuskan mundur untuk menikmati suasana yang lebih intens dengan keluarga. Kehilangan ganda pada waktu bersamaan.
Saat para pemain senior mundur, idealnya kita sudah mendapatkan penerus yang sepadan. Dengan kata lain, pada waktu yang sama kita sudah memiliki pelapis dengan kualitas yang tak jauh berbeda. Namun asa itu seperti jauh panggang dari api.
Tengok saja performa para penerus Owi/Butet saat ini. Lihat saja bagaimana rangking pasangan Indonesia lainnya. Kecuali Owi/Butet, tak ada satu pun yang bercokol di peringkat 10 besar. Pasangan dengan rangking terbaik adalah Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjadja dan Praveen Jordan/Melati Daeva Oktavianti yang berturut-turut di posisi 14 dan 15 BWF.
Kita masih memiliki Rinov Rivaldy/Pita Haningtyas Mentari. Juga Alfian Eko Prasetya/Marsheilla Gischa Islami. Namun mereka masih tercecer di peringkat 26 dan 29. Tiga tingkat di belakang kedua pasangan itu ada Akbar Bintang Cahyono/Winny Oktavina Kandow dan Ronald Ronald/Annisa Saufika.
Bisa asal Konsisten
Di satu sisi kita patut menyesali mundurnya Butet dan Debby terjadi tidak pada waktu yang tepat. Mereka meninggalkan arena di saat para penerus belum benar-benar siap menerima tongkat estafet. Namun sedalam-dalamnya kita menyesal dan sebesar-besarnya kita berharap, mereka telah mengambil pilihan.
Bagi Butet, sudah saatnya ia mengambil jeda. Apalagi ia sudah lama mengirim signal pensiun. Kita sempat memintanya tetap bertanding di Olimpiade 2016. Ia pun patuh. Usai merebut emas di Rio de Janeiro, kita masih merayunya untuk terus bertahan hingga Asian Games 2018. Lagi-lagi, ia tak menampik.
Di sisi lain, ini menjadi lecutan bagi para suksesor untuk bekerja lebih keras. Sudah saatnya mereka mengambil tanggung jawab lebih, dan membuang jauh-jauh harapan bahwa Indonesia masih memiliki Owi dan Butet sebagai ujung tombak.
Sebelumnya kita masih memiliki Owi/Butet serta Praveen/Debby. Sebelum itu ada Riky Widianto dan Richi Puspita. Keduanya masih bisa bersaing setidaknya dengan gelar super series dan runner up super series yang mereka raih. Namun saat berpasangan mereka pun kerap inkonsisten. Performa mereka terkadang naik dan turun.
Situasi tak jauh berbeda terjadi pada Hafiz/Gloria. Begitu juga Praveen/Melati, serta Alfian dan Gischa. Mereka masih sering kalah di babak awal. Atau sekalipun mampu meladeni pasangan-pasangan lain, namun tren positif itu masih sukar dijaga lebih lama.
![Hafiz Faisla/Gloria Emmanuelle Widjaja/badmintonindonesia.org](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/01/hafiz-gloria-5c53c1b4ab12ae5138254fd6.jpg?t=o&v=770)
Saatnya Hafiz/Gloria, Praveen/Melati, Alfian/Gischa dan Ronald/Annisa unjuk gigi. Mereka harus membuktikan bahwa mereka layak bertahan dan diandalkan. Merekalah yang utama saat ini.Â
Merekalah pemain senior atau yang diseniorkan. Harapan pun disematkan kepada mereka. Prestasi. Ya prestasi. Setidaknya bisa berbicara banyak di turnamen-turnamen mendatang.
Inspirasi Watanabe/Higashino
Selain terus mengingat kejayaan dan kebesaran Owi/Butet, sikap yang paling realistis saat ini adalah belajar dari sepak terjang pasangan negara lain yang tengah naik daun. Salah satunya adalah Yuta Watanabe dan Arisa Higashino.
Pasangan Jepang ini sukses menggemparkan dunia dengan sederet prestasi. Yuta, 21 tahun, dan Arisa, 22 tahun, adalah pasangan yang semula kurang diperhitungkan. Namun dalam dua, bahkan satu tahun terakhir, mereka sukses unjuk gigi.
Mereka berhasil menjuarai Hong Kong Open, Malaysia Masters, dan sebelum itu All England. Mereka bahkan bisa menembus semi final dalam enam turnamen terakhir. Atas pencapaian itu mereka kini duduk di peringkat tiga dunia, di belakang duo China, Wang Yilyu/Huang Dongping dan Zheng Siwei/Huang Yaqiong.
Pasangan ini cukup istimewa. Meski berpostur kurang mencolok, skill dan keuletan mereka patut diacungi jempol.Â
Yuta misalnya. Berpostur 1,67 m, unggul beberapa inci saja dari Arisa, Yuta mampu bersaing dengan pemain lawan yang memiliki postur lebih tinggi. Tidak hanya gerak yang lincah dan pukulan yang akurat, ia juga mampu melepaskan smes mematikan.
Yuta menjadi satu dari sedikit pemain yang bisa bermain di lebih dari satu nomor. Ia juga menemani seniornya Hiroyuki Endo di sektor ganda putra. Performa mereka pun tak kalah ciamik. Kini mereka berada di urutan lima dunia.
![Yuta Watanabe/Arisa Higashino juara All England 2018/www.japantimes.co.jp](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/01/watanabe-higashino-5c53c3126ddcae178b2cd735.jpg?t=o&v=770)
Anggapan ini pun diamini secara langsung maupun tidak langsung oleh para pemain top dunia. Sebagai contoh Tontowi Ahmad. Dalam pesan tersirat kepada para penerus, Owi mengatakan latihan keras adalah kunci.Â
Bukan saatnya untuk bersantai ria, sama seperti dirinya yang harus bekerja keras dari titik nol sepeninggal Butet.
![Richard Mainaky, pelatih ganda campuran utama PBSI/Kompas.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2019/02/01/richard-mainaky-kompas-5c53c399677ffb51114c1834.jpg?t=o&v=770)
Sambil mengharapkan perkembangan positif dari pasangan baru ini, tanggung jawab kini diletakkan kepada Hafiz/Gloria dan Praveen/Melati. Sebagai pasangan dengan rangking dunia terbaik dan memiliki potensi untuk lebih cepat melesat, keduanya pun masuk dalam prioritas untuk Olimpiade 2020.
"Jangan jadi prioritas tapi justru jadi besar kepala, bukan itu. Jadi prioritas itu harus tanggungjawab, harus latihan keras, bukan gaya-gayaan. Mereka harus membuktikan, mana buktinya? Kalau dia sudah juara olimpiade, juara dunia baru boleh, ini gue," ungkap Owi.
Selain kepada pemain, kita pun berharap kontribusi dan sentuhan lebih para pelatih. Kita menanti tuah Richard Mainaky dan sang asisten Vita Marissa untuk mencetak pasangan baru yang berprestasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI