Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Remaja Mandiri Community dari Kaki Kelimutu

8 Desember 2018   23:54 Diperbarui: 9 Desember 2018   10:52 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nusa Tetap Tertinggal. Nanti Tuhan Tolong. Demikian beberapa plesetan dari akronim NTT yang sejatinya mengacu pada nama provinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak berlebihan memang. Provinsi yang sudah berusia lebih dari setengah abad itu masih saja berkutat dengan aneka persoalan.

Di salah satu kecamatan dari 22 kabupaten dari provinsi kepulauan ini sekelompok anak muda tengah berkreasi. Mereka bergerak di bawah bendera Remaja Mandiri Community (RMC) Detusoko. Detusoko adalah nama tempat sekaligus salah satu kecamatan di Kabupaten Ende.

Tempat ini berjarak kurang lebih 33 km dari Kota Ende. Hanya ada satu pilihan moda transportasi yakni melalui darat dengan waktu tempuh tak sampai satu jam dari ibu kota kabupaten. Detusoko berada di jalur Trans Flores yang membentang dari Labuan Bajo, ibu kota Kabupaten Manggarai Barat di ujung barat hingga Larantuka, ibu kota Kabupaten Flores Timur.

Bila anda pernah beranjangsana ke pulau bernama lain Nusa Bunga atau Pulau Bunga ini, akan berhadapan dengan bentangan alam yang khas. Perbukitan dan lembah, pegunungan serta dataran rendah saling bersisian.

Berjarak 18,9 km dengan waktu tempuh setengah jam lebih dari objek wisata pada ketinggian 5,3 ribu kaki bernama Danau Kelimutu terhampar lembah yang subur dan sejuk. Terasering persawahan berpagar perbukitan hijau. Aneka tanaman pertanian seperti jagung, kacang-kacangan, sayur-sayuran, padi, singkong hingga komoditi perkebunan semacam cengkeh, kopi, vanili, kakao, dan kemiri, tumbuh.

Salah satu sudut Detusoko/decotourism.com
Salah satu sudut Detusoko/decotourism.com
Di atas dataran setinggi 800 meter dari permukaan laut itu, Detusoko berada. Tempat Nando Watu dan rekan-rekannya menggerakan RMC dalam empat tahun terakhir. Seturut namanya, RMC merupakan komunitas yang bertumpu pada dan digerakkan oleh kaum muda.

Seperti dikatakan Nando Watu, RMC memantik kawula muda untuk kembali ke kampung. Komunitas ini membangun kesadaran untuk mengenal lebih jauh potensi di tempat dari mana mereka berasal. Selanjutnya bersama-sama belajar mengolah produk-produk lokal. 

Termasuk pula menyentuh pariwisata dan kekayaan budaya setempat. Karena itu RMC mengedepankan konsep "eco-tourism" yang berbasis kearifan lokal, pertanian dan kewirausahaan berkelanjutan.

"Eco-tourism" yang bisa diterjemahkan sebagai eko-wisata ini bernafas pada pelestarian alam dan keberpihakan kepada lingkungan. Lingkungan tidak hanya alam, tetapi juga penduduk setempat berikut adat-istiadatnya.

"Setidaknya ada empat unsur dalam ekowisata, yakni wisata yang meminimalkan dampak negatif; yang membangun kesadaran serta respek terhadap lingkungan dan budaya; yang memberikan pengalaman positif untuk pengunjung; dan wisata yang memberikan manfaat dan keutungan ekonomi secara langsung untuk lingkungan dan masyarakat lokal," terang Nando yang merupakan pendiri RMC.

Nando bukan orang asing. Ia lahir dan menghabiskan masa kecil di Detusoko. Jejak pendidikannya hingga ke Miami, Florida, Amerika Serikat, justru membuka wawasannya untuk melihat kampung halamannya sebagai "surga" yang menjanjikan.

Mayoritas masyarakat Detusoko yang berjumlah sekitar 13 ribu jiwa bermatapencaharian sebagai petani. Mereka menggantungkan hidup pada alam. Di sisi lain, Detusoko juga dianugerahi alam yang indah dengan sejumlah obyek wisata. Selain berada di kaki Kelimutu, di tempat itu juga terdapat sumber air panas, air terjun, bentangan persawahan, hingga kampung tradisional dan ritual adat yang masih dipelihara secara baik.

Masyarakat di Kecamatan Detusoko umumnya berasal dari Suku Lio. Ada tiga klan besar yang mendiami tanah persekutuan adat yakni klan Soro Woo Leda Uja, Remba Gega dan Kopo Mite Kasa Nggalo. Sebagai salah satu suku tertua di Flores, masyarat suku Lio di sana masih mempertahankan kekayaan budaya yang diejawantahkan dalam laku hidup sehari-hari baik dalam upacara adat, maupun tradisi pertanian.

Hemat Nando, aneka kekayaan tersebut semestinya bisa bersinergi. Menurutnya, konsep eko-wisata sangat cocok untuk mengintegrasikan berbagai potensi tersebut.

"Selain itu, sebagai generasi muda, kita sadar bahwa dunia global tengah menyuarakan konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dan dalam sektor pariwisata pun mengenal istilah 'Pariwisata Berkelanjutan,'" terang alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero itu.

Upaya mengawinkan pertanian dan pariwisata itu diharapkan bisa memberikan dampak positif bagi Detusoko. Detusoko yang makin berkembang dan kian dikenal luas.

Foto Nando
Foto Nando
Pengalaman otentik

Nando berharap setiap orang yang datang ke Detusoko tidak hanya bisa melihat dan menikmati alam yang indah, tetapi juga merasakan kekhasan dari kekayaan setempat yang otentik. Melalui konsep eko-wisata yang sedang dibangun, para pengunjung diarahkan untuk menikmati Detusoko yang asli.

Tak ayal kepada setiap pengunjung akan disuguhkan makanan organik yang berasal dari kebun petani. Salah satu yang khas adalah nasi hitam. Selain itu, para tamu dapat melihat dari dekat, bahkan bisa menikmati sejenak roda pertanian di sana melalui layanan one day be a farmer.

"Melalui aktivitas ini terbangun interaksi aktif pengunjung dengan petani sehingga ada pertukanan informasi, pengetahuan, dan pengalaman," ungkap Nando.

Tak terkecuali melihat bagaimana produk-produk lokal diolah secara lebih profesional. Kini dari tangan-tangan terampil kaum muda dan penduduk Detusoko kita bisa mendapatkan "Peanut Butter" atau selai kacang yang dibuat dari kacang tanah yang disangrai dan dihaluskan. Di samping itu, "Moni Marmalade" atau selai jeruk yang berasal dari buah jeruk yang tumbuh subur di Detusoko hingga daerah sekitar seperti Moni.

Masih ada "Koro Dagalai Sauce." "Koro" dalam bahasa setempat berarti lombok. Sementara "dagalai" dipakai untuk menyebut tomat. Campuran lombok dan tomat ini menjadi komposisi utama sambal yang nikmat.

Koro Dagalai dalam kemasan siap dijual/foto dari tutehtravel.blogspot.com
Koro Dagalai dalam kemasan siap dijual/foto dari tutehtravel.blogspot.com
Masih ada produk lain yang layak disebut yakni kopi Detusoko. Daerah ini terkenal dengan jenis kopi Arabica dan Robusta yang khas. Dari hasil para petani, kopi kemudian diolah dan diproduksi secara organik. Kaum muda setempat menjadi aktor utama dalam pengolahan tersebut.

Ada beragam cara memproses bahan dasar mulai dari honey, natural, wine, hingga full washed. Perbedaan pengolahan tentu menghasilkan aneka cita rasa. Mari kita lihat bagaimana kopi diolah dengan teknik full washed.

Buah kopi yang sudah dipetik dan dipilah direndam dalam wadah penuh air. Ini menjadi cara alami untuk memilah buah kopi yang berkualitas baik dan tidak. Buah kopi yang mengapung akan dibuang.

Sementara kopi yang lolos seleksi akan ditiriskan hingga kering. Selanjutnya, ditumbuk  dan didiamkan selama satu malam, sebelum dijemur selama kurang lebih dua minggu.

Setelah kopi tersebut benar-benar kering, proses selanjutnya adalah memisahkan menjadi biji kopi mentah (raw green bean). Caranya pun masih manual yakni ditumbuk. Hasilnya, siap untuk di-roasting.

Kopi Detusoko/Decotourism.com
Kopi Detusoko/Decotourism.com
Roasting atau sangrai adalah proses mengubah biji kopi mentah yang memiliki karakteristik soft, "grassy" smell dan sedikit atau tidak memiliki rasa sama sekali menjadi roasted bean dengan karakteristik aroma yang unik dan rasa yang kaya.

Sebelum dikemas, Kopi Detusoko yang sudah di-roasting akan digiling menjadi bubuk. Tujuannya, tentu untuk membuat para penikmat kopi bisa mendapatkan pengalaman yang lebih kuat usai menyeduh bubuk Kopi Detusoko.

Berpikir dengan Otak, Berkarya dengan Hati

Di sisi salah satu ruas jalan di Detusoko berdiri bangunan dengan luas beberapa meter persegi. Interiornya diberi sentuhan natural dengan bahan dari bambu, kayu, dan alang-alang. Di salah satu sisi terpampang ragam produk mulai dari berbagai kemasan kopi, sambal hingga sorgum.

Tak sampai sepelempar batu dari situ terhampar area persawahan. Sehari-hari Nando dan teman-temannya menjadikan tempat tersebut sebagai "pondok" bagi para pengunjung melepas lelah sambil menikmati ragam produk lokal.

Gambar dari decotourism.com
Gambar dari decotourism.com
Nando menamai tempat itu sebagai Lepa Lio Cafe. "Lepa" berasal dari bahasa setempat yang berarti pondok tempat para petani beristirahat. Meski letaknya jauh dari ibu kota kabupaten, Lepa Lio Cafe tetap mendapat sentuhan modern sebagai tempat nongkrong kekinian.

Lepa Lio Cafe yang cukup instagramable/foto dari tutehtravel.blogspot.com
Lepa Lio Cafe yang cukup instagramable/foto dari tutehtravel.blogspot.com
Di tempat yang berdiri sejak Oktober 2018 lalu, para pengunjung bisa menikmati aneka pangan lokal ditemani Kopi Detusoko. Ini menjadi salah satu cara promosi dan pemasaran secara langsung, di samping cara-cara lain untuk membuat komoditi setempat semakin dikenal luas.

Nando berharap langkah yang ditempuh menjadi bagian dari upaya untuk meningkatkan nilai ekonomi dari setiap komoditi pertanian dan perkebunan. Sejauh ini hasil alam Flores dijual dalam bentuk mentah, bukan berupa produk turunan atau olahan dengan nilai yang lebih tinggi.

Lebih dari itu apa yang dilakukan RMC diharapkan bisa menginspirasi kaum muda di desa-desa lain di NTT umumnya dan di Flores khususnya. Saatnya kaum muda bergerak mulai dari desa dan kampung halaman sendiri.

"Petani adalah masa depan dan Flores ini tanah yang menghasilkan. Karena itu harus banyak orang muda mencintai pertanian dan kembali ke kampung."

Apa yang dilakukan RMC sudah mendapat perhatian luas. RMC pernah diundang ke sejumlah event baik lokal maupun internasional.

 RMC menjadi utusan Indonesia dalam workshop yang diselenggarakan oleh YSEALI (Young South East Asean Leadership Inisiative) di Hanoi, Vietnam. Ajang yang diikuti 80 peserta dari 10 negara ASEAN ini, perwakilan RMC didaulat sebagai "The Best Participants on Active and Networking." 

RMC diikutsertakan dalam Asian Youth Academy (AYA)/Asian Theology Forum(ATF) 2018 di Manila, Filipana pada Agustus 2018. Tiga bulan sebelum itu, RMC terlibat pada event Seoul Internasional Handmade Fair di Korea Selatan.

 Sejak awal Oktober hingga November, utusan RMC mengikuti programYSEALI Academic Fellowship di Brown University, Amerika Serikat.

Nando Watu (kiri) menjadi peserta dan pembicara di ajang Event Internasional, Ubud Food Festival (UFF) 2018 pada pertengahan April lalu (foto Nando)
Nando Watu (kiri) menjadi peserta dan pembicara di ajang Event Internasional, Ubud Food Festival (UFF) 2018 pada pertengahan April lalu (foto Nando)
RMC yang menyabet penghargaan Satu Indonesia Award (SIA) 2018 selalu membuka diri untuk berbagi. Mereka memfasilitasi para mahasiswa, petani, hingga pebisnis pemula untuk belajar tentang kewirausahaan, dan melihat dari dekat aktivitas RMC hingga belajar langsung di Lepa Lio Cafe. Tercatat lebih dari 1000 kaum muda Flores sudah mendapat pendidikan dan pelatihan dari RMC melalui berbagai forum dan kegiatan.

Terkini berkolaborasi dengan alumni YSEALI dan Kedutaan Amerika serta pemerintah dan berbagai organisasi Lembaga Swadaya Masyarakat, RMC akan menyelenggarakan workshop bertema "Keterlibatan Kaula Muda dalam Kewirausahaan Sosial Pedesaan."

Dialog interaktif, talkshow, sharing sessioan hingga kunjungan lapangan akan mengisi kegiatan sejak 14 hingga 16 Desember di sejumlah tempat di Kabupaten Ende. Kuota hingga 100 orang terbuka untuk seluruh kaum muda di NTT yang nantinya akan diseleksi menjadi 40 peserta untuk mengikuti Traning of Tranier, Mentorship Program dan Festival/Exibitions.

Akhirnya, apa yang digeluti Nando dan RMC ini tidak lain untuk memberi makna kembali terhadap kampung. Tinggal di desa tidak berarti terbelakang. Setiap orang bisa hidup di desa dengan pikiran yang maju.

"Yang penting berpikir dengan otak yang murni, berkarya dengan hati yang bersih, seperti ungkapan dalam bahasa daerah kami: 'Piki No Ote Eo Jie, Kema no Ate Eo Pawe.'"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun