Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kisah Remaja Mandiri Community dari Kaki Kelimutu

8 Desember 2018   23:54 Diperbarui: 9 Desember 2018   10:52 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nando Watu (kiri) menjadi peserta dan pembicara di ajang Event Internasional, Ubud Food Festival (UFF) 2018 pada pertengahan April lalu (foto Nando)

Mayoritas masyarakat Detusoko yang berjumlah sekitar 13 ribu jiwa bermatapencaharian sebagai petani. Mereka menggantungkan hidup pada alam. Di sisi lain, Detusoko juga dianugerahi alam yang indah dengan sejumlah obyek wisata. Selain berada di kaki Kelimutu, di tempat itu juga terdapat sumber air panas, air terjun, bentangan persawahan, hingga kampung tradisional dan ritual adat yang masih dipelihara secara baik.

Masyarakat di Kecamatan Detusoko umumnya berasal dari Suku Lio. Ada tiga klan besar yang mendiami tanah persekutuan adat yakni klan Soro Woo Leda Uja, Remba Gega dan Kopo Mite Kasa Nggalo. Sebagai salah satu suku tertua di Flores, masyarat suku Lio di sana masih mempertahankan kekayaan budaya yang diejawantahkan dalam laku hidup sehari-hari baik dalam upacara adat, maupun tradisi pertanian.

Hemat Nando, aneka kekayaan tersebut semestinya bisa bersinergi. Menurutnya, konsep eko-wisata sangat cocok untuk mengintegrasikan berbagai potensi tersebut.

"Selain itu, sebagai generasi muda, kita sadar bahwa dunia global tengah menyuarakan konsep pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development Goals) dan dalam sektor pariwisata pun mengenal istilah 'Pariwisata Berkelanjutan,'" terang alumnus Sekolah Tinggi Filsafat Ledalero itu.

Upaya mengawinkan pertanian dan pariwisata itu diharapkan bisa memberikan dampak positif bagi Detusoko. Detusoko yang makin berkembang dan kian dikenal luas.

Foto Nando
Foto Nando
Pengalaman otentik

Nando berharap setiap orang yang datang ke Detusoko tidak hanya bisa melihat dan menikmati alam yang indah, tetapi juga merasakan kekhasan dari kekayaan setempat yang otentik. Melalui konsep eko-wisata yang sedang dibangun, para pengunjung diarahkan untuk menikmati Detusoko yang asli.

Tak ayal kepada setiap pengunjung akan disuguhkan makanan organik yang berasal dari kebun petani. Salah satu yang khas adalah nasi hitam. Selain itu, para tamu dapat melihat dari dekat, bahkan bisa menikmati sejenak roda pertanian di sana melalui layanan one day be a farmer.

"Melalui aktivitas ini terbangun interaksi aktif pengunjung dengan petani sehingga ada pertukanan informasi, pengetahuan, dan pengalaman," ungkap Nando.

Tak terkecuali melihat bagaimana produk-produk lokal diolah secara lebih profesional. Kini dari tangan-tangan terampil kaum muda dan penduduk Detusoko kita bisa mendapatkan "Peanut Butter" atau selai kacang yang dibuat dari kacang tanah yang disangrai dan dihaluskan. Di samping itu, "Moni Marmalade" atau selai jeruk yang berasal dari buah jeruk yang tumbuh subur di Detusoko hingga daerah sekitar seperti Moni.

Masih ada "Koro Dagalai Sauce." "Koro" dalam bahasa setempat berarti lombok. Sementara "dagalai" dipakai untuk menyebut tomat. Campuran lombok dan tomat ini menjadi komposisi utama sambal yang nikmat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun