"Sebelummya para petani di sini lebih memilih membeli bibit yang sudah jelas mudah dicapai. Bila tidak memiliki modal, mereka akan terpaksa berhutang kepada tengkulak," ungkap Hermawan.
Dengan berhutang itu, lanjut Hermawan, ketergantungan petani pada tengkulak menjadi tinggi. Pasokan pupuk kemudian bergantung juga pada rentenir. "Akhirnya, hasilnya pun akan kembali lagi kepada tengkulak."
Menurut Hermawan, saat ini 30 persen lahan pertanian di Desa Kemudo sudah menggunakan pupuk organik. Meski belum paripurna, tingkat kesadaran masyarakat untuk menggunakan pangan organik makin meningkat.
Hal ini tentu sejalan dengan tren yang sedang berkembangan saat ini. Perkembangan gaya hidup sehat menjadi sebab. Â Prof Dr Ir Ali Khomsan MS justru tidak melihat perbedaan signifikan terkait kandungan nutrisi dalam bahan pangan organik dan non organik.
"Yang membedakan hanyalah bahan pangan organik sama sekali tidak mengandung bahan pestisida," ungkap dosen Institut Pertanian Bogor sejak 1983 itu.
Meski begitu penerapan pertanian organik telah mendorong masyarakat Desa Kemudo menggerakan sistem pertanian terpadu. Dengan menghindari penggunaan pupuk kimia, pestisida, dan herbisida, masyarakat akan lebih memilih menggunakan kotoran hewan yang mereka pelihara. Sementara pasokan pakan berasal dari pabrik setempat.
Masyarakat setempat mewujudkannya dari lingkungan terdekat. Melalui program Kebun Gizi yang berbasis di masing-masing rumah, masyarakat Desa Kemudo berusaha mencukupkan kehidupan mereka. Model seperti ini pernah mengantar Desa Kemudo pada 2016 menjadi juara tingkat provinsi Jawa Tengah.
Alih-alih berbelanja kebutuhan pangan, uang yang tersedia bisa dimanfaatkan untuk pendidikan anak sekolah. Selain itu, "Masyarakat tidak perlu mengejar menjadi karyawan pabrik. Tetapi mereka memilih memanfaatkan potensi yang ada di rumah sendiri".
Referensi: