Bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo jelas sebuah kebanggaan tersendiri. Tidak ada seorang pun seperti saya yang menolak kesempatan, lantas membuang peluang, melihat dari dekat orang nomor satu di negeri ini. Kesempatan emas itu datang pada Sabtu, 4 Agustus 2018 lalu. Lebih istimewa lagi pertemuan itu bertepatan dengan momentum Asian Games 2018.
Bersama para olahragawan, artis atau selebritis, pegiat sosial media dan netizen, kami diterima Pak Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat. Ini kesempatan pertama saya menginjakkan kaki di kawasan legendaris yang dibangun pada 1744 di masa pemerintahan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Gustaaf Willem Baron Van Imhoff.
Kabarnya sejak selesai dibangun, bangunan yang mencontoh arsitektur Blehheim Palace, kediaman Duke Malborough, dekat Oxford, Inggris itu mengalami sejumlah perubahan. Tidak hanya disesuaikan dengan selera dan kebutuhan sederet kaki tangan Belanda dan Inggris di tanah air, juga karena alam. Letusan Gunung Salak pada 10 Oktober 1934 turut andil mengubah wajah istana yang selesai dibangun tahun 1750 itu.
Entah seperti apa detail perubahan dari waku ke waktu, yang pasti berada di tempat itu menjadi sebuah pengalaman tak terlupakan. Tidak semua orang bisa masuk dan melihat istana yang awalnya menjadi rumah peristirahatan, lantas berubah menjadi istana paladian itu.
![Istana Bogor saat ini/dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/05/whatsapp-image-2018-08-05-at-11-56-36-5b668b555e1373595870aec5.jpeg?t=o&v=770)
Kami memang tidak mendapat kesempatan untuk menyusuri setiap sudut istana. Namun berada di dalam kompleks Istana dengan standar pengamanan tingkat tinggi, berikut mengitari sisi halaman depan dan belakang sudah lebih dari cukup.
Ditambah lagi kedatangan kami tidak hanya untuk bersafari. Tetapi untuk bertemu sosok terpenting di negeri ini. Tempat yang semula bernama Buitenzorg itu memang dikenal sebagai kota hujan. Namun hari itu matahari menampakkan kekuasaannya. Tak heran kami harus menyesuaikan tempat duduk, sesuai arahan panitia. Di bawah lindungan sebuah pohon raksasa yang telah berumur ratusan tahun itulah kami duduk, menegakkan kepala, dan memandang Jokowi.
![Salah satu momen penting saat bertemu Jokowi adalah mengajaknya foto bersama. Kesempatan itu pun tak saya lewatkan meski membutuhkan perjuangan tidak ringan/dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/05/whatsapp-image-2018-08-05-at-11-56-33-5b66875e5a676f791630e773.jpeg?t=o&v=770)
Lewat tengah hari, Jokowi bergabung. Berkaus putih lengan panjang dengan logo Asian Games di salah satu sisi. Penampilannya cukup sporty, menyesuaikan dengan para undangan yang tampil kompak dengan kaus, celana hitam dan sepatu sneakers.
Acaranya singkat dan padat namun cair. Tidak terlalu formal. Santai. Memang diikhtiarkan demikian, menyesuaikan dengan tema acara. Jokowi didampingi Menteri Pemuda dan Olahraga, Imam Nahrawi dan Kepala Kantor Staf Presiden, Moeldoko. Tak ketinggalan perwakilan dari panitia pelaksana Asian Games 2018, INASGOC (Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee).
Dalam arahannya, Jokowi banyak berbicara tentang olahraga di tanah air, terutama menjelang perhelatan Asian Games. Ia mengingatkan betapa pentingnya perhelatan tersebut yang menuntut persiapan maksimal. "Asian Games bukan acara kecil-kecilan," tegasnya.
Meski tampil dengan gaya bicaranya yang khas, Jokowi tetap memberikan tekanan pada poin-poin penting. Ia meyakinkan sekaligus mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menyambut pesta olahraga antarbangsa Asia ini. Ia ingin demam Asian Games tidak hanya dirasakan oleh sebagian orang dan diwujudkan di tempat-tempat tertentu saja. Seluruh rakyat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas hingga Rote harus juga tersengat virus Asian Games.
"Jangan kalah dengan pergelaran sebelum-sebelumnya," tandasnya.
Bila sudah demikian, maka perhelatan Asian Games menuntut prestasi. Presiden ketujuh itu meminta agar Indonesia tidak hanya sukses dalam penyelenggaraan, tetapi juga sukses dalam prestasi. Alasannya sederhana, tetapi logis. Kita adalah bangsa besar. Dengan penduduk yang kini menginjak angka 261 juta jiwa tersebar di 17 ribu pulau lebih dari cukup untuk bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Apalagi Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, di belakang China, India, dan Amerika Serikat.
![Indonesia akan menjadi tuan rumah bagi ratusan ribu tamu/https://en.asiangames2018.id/](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/09/17/memes-10-5b9f8811aeebe16af1146e43.jpg?t=o&v=770)
![Dari data yang ditampilkan Wikipedia diketahui prestasi terbaik Indonesia di level Asia diukir saat menjadi tuan rumah Asian Games pada 1962. Pada edisi-edisi selanjutnya, terutama dalam satu dekade terakhir, sulit bagi Indonesia bersaing dengan negara-negara Asia Timur/Wikipedia.id](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/05/medali-indonesia-asian-games-jpg-5b66868d677ffb4fba0680e5.jpg?t=o&v=770)
"Semoga bisa masuk 10 besar. Kita ini bangsa besar, jangan sampe 10 besar nggak masuk. Mau ditaruh di mana muka kita," ungkapnya disambut tepuk tangan hadirin.
Malas gerak
Jokowi tidak hanya berbicara tentang Asian Games sebagai kompetisi semata. Menurutnya banyak cara yang bisa dilakukan masyarakat untuk memaknai perhelatan akbar tingkat Asia yang kembali mensambangi tanah air setelah menanti selama 56 tahun. Asian Games ini diharapkan membuat masyarakat Indonesia semakin mencintai olahraga.
Banyak cara sederhana yang bisa dilakukan. Jokowi membuka dengan mengkritik perilaku masyarakat kita. Menurutnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang malas bergerak. Untuk hal ini kita punya istilah kekinian yakni "mager." Kita lebih suka menggunakan kendaraan pribadi ketimbang berjalan kaki. Jangankan ke tempat-tempat yang jauh, untuk ke pusat perbelanjaan saja kita cenderung mencari tempat parkir terdekat.
"Mau ke mall parkirnya di tempat terdekat. Kita pengen jalan sependek mungkin," sindir Jokowi.
Berkaca dari pengalamannya, jalan kaki itu sehat. Saat blusukan dan berkeliling ke pelosok negeri, ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan berjalan kaki. Apalagi ke daerah-daerah dengan akses transportasi terbatas menuntutnya untuk tidak bisa tidak berjalan kaki.
Tidak hanya berjalan kaki di pagi hari. Ia juga pernah mencoba jalan kaki pada siang hari. "Keringat dari ujung kepala hingga ujung kaki," ungkapnya disambut derai tawa. Tetapi, lanjutnya, "membuat sehat. Segar."
![Jokowi saat memberikan arahan/dokpri](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/05/whatsapp-image-2018-08-05-at-11-56-34-5b66877ed1962e74d45d1e62.jpeg?t=o&v=770)
Pentingnya jalan kaki khususnya dan olahraga umumnya menginspirasi munculnya gerakan "Jalan Terus Indonesia." Menurut Richard Sambera, atlet renang nasional yang turut menginisiasi gerakan ini, di satu sisi gerakan ini muncul sebagai bagian dari upaya mendemamkan Asian Games. Di sisi lain, menjadi bentuk ajakan bagi masyarakat luas untuk semakin membudayakan olahraga di tanah air.
Michael yang juga inisiator gerakan ini membenarkan pernyataan Jokowi. Dari hasil survei di 46 negara, Indonesia berada di urutan terakhir sebagai bangsa dengan kebiasaan berjalan kaki terendah. Masyarakat Indonesia rata-rata hanya berjalan 3600 langkah per hari.Â
Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Stanford Universityyang dimuat di The New York Post pada tahun lalu. Dalam artikel berjudul "This Country Has The Laziest People in Planet" menempatkan Indonesia sebagai bangsa termalas di dunia.
Penelitian yang dilakukan dengan memperhatikan pergerakan dari smartphone responden, dari 700.000 sampling di 111 negara, rata-rata orang Indonesia hanya berjalan 3.513 langkah, atau sekitar 2400 meter per hari. Dibandingkan dengan negara lain seperti China misalnya, Indonesia tertinggal jauh. Orang China rerata berjalan sebanyak 6.189 langkah, atau dua kali lipat dari Indonesia.
![Hasil penelitian Universitas Standford selama 68 juta hari dan data diambil tiap menit menggunakan aplikasi pelacak aktivitas Argus (Argus activity monitoring app) yang menempatkan Indonesia sebagai negara dengan rerata penduduk paling sedikit bergerak /tribunnews.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/08/05/penelitian-malas-gerak-5b668aa76ddcae583878b832.jpg?t=o&v=770)
Tidak ada gunanya bila penyelenggaraan Asian Games di tanah air hanya berujung pembangunan infrastruktur mentereng, dan puja-puji sebagai tuan rumah yang sukses. Terpenting adalah Asian Games membuat masyarakat Indonesia semakin mencintai olahraga dan menjadikannya sebagai bagian dari gaya hidup.
Bila olahraga sudah menjadi bagian dari kesehariaan kita maka mengharapkan prestasi di lapangan bukan sesuatu yang sulit. Prestasi adalah soal proses yang diawali dari diri sendiri dan dibentuk dari hal-hal sederhana.
Jokowi telah menyentil kita sebagai bangsa besar yang seharusnya besar pula dalam prestasi olahraga. Namun akan sulit berprestasi bila olahraga belum menjadi bagian dari keseharian kita. Sekiranya Asian Games menjadi momentum perubahan dalam gaya hidup kita. Sekaligus kesempatan terdekat untuk menunjukkan kita tidak hanya banyak dalam jumlah tetapi juga kualitas. Semoga energi Asia-yang menjadi moto Asian Games ke-18- yang dipancarkan Jokowi dari Istana Bogor memacu semangat dan menghanguskan kemalasan kita!
![Penjelasan terkait definisi motto Asian Games 2018](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/09/17/memes-4-5b9f88356ddcae55c2664365.jpg?t=o&v=770)
![https://en.asiangames2018.id/](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/09/17/memes-12-5b9f87d2c112fe2a22725d62.jpg?t=o&v=770)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI