No mum, I'm not coming home. It's...
Demikian salah satu kicauan Jesse Lingard di akun twitter pribadi usai tim nasional Inggris membungkam Kolombia di babak 16 besar. Gelandang 25 tahun itu menulis demikian menyusul foto dan video pada postingan berbeda. Pada salah satu cuitan ia berbagi video kegembiraan bersama sang ibu di Samara Stadium.
Hingga kini video pendek berdurasi lima detik itu sudah di"retweet" sebanyak 16 ribu kali dan disukai 128 ribu orang. Menyertai postingan pelukan hangat dengan sang ibu, pemain Manchester United itu menulis demikian. "Because I said we aint going home she came here."
Kicauan Lingard ini menyertai postingan sebelumnya yang mengundang reaksi tak kalah sedikit. Ia bertingkah seakan sedang menelpon disertai kata-kata, "No mum, I'm not coming home. It's..."
Kreasi Lingard ini adalah satu dari sekian banyak meme yang beredar di sosial media atas apa yang saat ini sedang giat-giatnya dinyanyikan oleh fans timnas Inggris. Di balik euforia dukungan yang meluap-luap, bahkan terkadang mengarah anarkis dan vandalis, kepada The Three Lions, bergema pula seruan "It's coming home." Kemudian dikembangkan menjadi lebih kontekstual menjadi "Football is coming home."
Kata-kata itu sebenarnya adalah petikan dari lagu berjudul "Three Lions". Pertama kali dirilis oleh komedian David Baddiel dan Frank Skinner, dan band asal Liverpool, Lightning Seeds pada 1996. Lagu yang sesuai dengan julukan timnas Inggris itu dibuat untuk meramaikan perhelatan Piala Eropa 1996 yang berlangsung di negara tersebut.
Pencapaian tersebut kemudian dibandingkan dengan nasib malang yang tak kunjung berakhir di sepanjang turnamen besar setelah itu. Penantian selama bertahun-tahun yang terlihat dekat kemudian tak kesampaian di Piala Dunia 1990. Tampil di Stadion Delle Alpi, Turin pada 4 Juli 1990, Inggris menghadapi Jerman Barat di semi final. Setelah bermain imbang 1-1 hingga babak tambahan waktu pemenang pun ditentukan melalui drama adu penalti.
Dua dari empat penendang Inggris gagal menjalankan tugas. Sepakan Stuart Pearce ditepis kiper Jerman, sementara penendang keempat Chris Waddle malah melambungkan bola ke atas gawang lawan.
Inggris pun terus dinaungi kesialan seperti kalah adu penalti di Piala Dunia 1998 dan 2006 serta Piala Eropa 1996, 2004 dan 2012.
Seiring langkah Inggris di Piala Dunia 2018 yang terus berayun, lagu tersebut kemudian mendapat momentum untuk kembali diperdengarkan. Di mana-mana para penggemar Inggris menyanyikannya. Lagu itu pun menduduki posisi nomor satu di tangga musim terpopuler di layanan iTunes wilayah Inggris Raya.
Is(Not)
Kebebasan para penggemar untuk bernyanyi dan siapa saja untuk berkreasi dengan petikan tersebut tentu tak bisa dilarang. Nyanyian tersebut bisa dibaca sebagai bentuk dukungan mereka kepada tim kesayangan. Mereka memotivasi armada Gareth Southgate untuk membawa pulang lambang supremasi sepak bola dunia ke negara asalnya. Saatnya penantian selama 52 tahun berakhir di Rusia kali ini. Kira-kira demikian harapannya.
Kita perlu perjelas beberapa anggapan di balik itu. Pertama, apakah sepak bola memang berasal dari Inggris? FIFA mengatakan sepak bola dalam bentuknya saat ini ditemukan di Inggris pada 1863. Namun kebenaran tersebut masih diperdebatkan bila ditelusuri lebih intensif dan keluar dari Eropa. Ada anggapan olahraga sejenis sudah lebih dulu dikenal oleh bangsa China.
Kedua, terlepas dari polemik tersebut, ada pertanyaan lain yang lebih kontekstual. Apakah akhirnya Inggris akan mampu menggondol trofi Piala Dunia? Tentang hal ini kita masih harus menanti dua pertandingan lagi.
Sebelum itu, Inggris harus melewati Kroasia di semi final yang akan digelar di Stadion Luzhniki, Kamis (12/07/2018) dini hari WIB nanti. Jelas laga ini tidak mudah bagi Inggris. Tekanan dan tantangan lebih besar dari lawan-lawan yang dihadapi sejak laga pertama. Kroasia membuat Argentina dengan Lionel Messi tak berdaya di fase grup dan membuat 11 pemain Rusia dan separuh penonton di stadion tak berkutik. Itu sejumlah bukti.
Sejumlah bukti tersebut diperkuat oleh kualitas yang dimiliki armada Zlatko Dalic. Agar tak berkesan meremehkan Inggris, setidaknya beberapa hal ini membuat Inggris harus bekerja keras dini hari nanti. Pertama, Kroasia memiliki keseimbangan di setiap lini. Marcelo Brozovic di lini belakang mendukung lini tengah dan serang dengan pemain seperti Luka Modric dan Ante Rebic sebagai gelandang serang, Ivan Perisic dan Ivan Rakitic di kedua sayap serta Mario Mandzukic di lini depan. Formasi 4-1-4-1 itu diperagakan saat bertahan dan akan berubah menjadi 4-1-3-2 saat mendapat bola. Rebic, Modric akan bergabung dengan Mandzukic.
Tidak hanya para pemain ini. Di bangku cadangan Kroasia masih memiliki Mateo Kovacic dan Andrej Kramaric yang selalu siap bila dibutuhkan. Kovacic memiliki kemampuan duel "box to box", apalagi energinya belum banyak dipakai selama ini. Sementara Kramaric siap menjadi pembeda seperti saat menghadapi Rusia.
Dua gelandang Inggris yakni Dele Alli dan Jesse Lingard memiliki kecendrungan menyerang. Situasi ini harus diwaspadai bila tidak ingin menyisahkan ruang tengah yang akan dengan mudah dimanfaatkan Modric. Pekerjaan berat bagi Southgate untuk mendapatkan pemain dalam waktu singkat untuk mengimbangi Modric.
Ketiga, selain mengharapkan sang kapten, Harry Kane dan cenderung membangun serangan melalui sayap tertama Kieran Trippier, Inggris memiliki satu keunggulan tersendiri. Mereka akan memanfaatkan situasi bola mati untuk mencuri gol. Harry Maguire, Harry Kane dan John Stones  akan siap berduel di udara menyambut eksekusi Ashley Young dan Trippier. Hal ini tentu membuat Domagoj Vida dan Dejan Lovren harus memperbaharuai diri agar kejadian saat menghadapi Rusia tidak terulang lagi. Bila perlu keunggulan fisik Mandzukic dimanfaatkan maksimal.
Selain pengalaman dan keunggulan teknik, semangat dan mental bertanding turut menjadi pembeda. Kedua tim sama-sama memiliki ambisi besar. Kroasia ingin melewati pencapaian terbaik pada 1998 yang hanya menjadi semifinalis. Sementara Inggris tidak ingin nyanyian para pendukungnya kembali berakhir pilu.
Southgate turut berkomentar terkait nyanyian yang kembali populer ini. "Football's Coming Home adalah lagu yang tak bisa saya dengar selama 20 tahun. Jujur saja. Bagi saya ada perasaan berbeda mengenai lagu tersebut tetapi saya senang mendengar orang-orang menikmatinya lagi."
Sosok yang minim pengalaman berlatih ini adalah salah satu yang paling merasa tertusuk dengan lagu tersebut. Lagu tersebut membawanya kembali ke Piala Eropa 1996 di Inggris. Ia gagal menciptakan gol dari titik putih dalam drama adu penalti kontra Jerman. Kegagalan itu ikut andil menghentikan langkah timnya ke babak final, sekaligus membuat harapan kembalinya kejayaan sepak bola di tanah asal menguap.
Apakah nyanyian itu akan terus berkumandang dan Lingard kembali ditemui ibunya di Rusia? Atau syair tersebut kembali menjadi sinisme karena "football is not coming home"? Kita lihat saja nanti. Apapun hasilnya yang pasti, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H