"Pertama-tama, selamat untuk Uruguay. [Kekalahan] Ini sangat menyedihkan buat Portugal. Kami tahu bahwa alun-alun di negara kami selalu dipenuhi oleh masyarakat, beserta para fans yang sungguh-sungguh mendukung kami."
Masih tentang pertandingan itu. Coba ingat momen yang terjadi sekitar menit ke-70. Edinson Cavani terpincang-pincang di lapangan, yang kemudian didiagnosis mengalami cedera hamstring. Cedera itu lantas memaksanya menjadi penonton dalam pertandingan menghadapi Prancis yang berakhir pilu. Ronaldo sigap mendekati Cavani dan memapahnya hingga pinggir lapangan.
Jagad maya sontak heboh menanggapi aksi Ronaldo. Ada yang memberikan komentar positif. Menyanjung sikap kesatria sang kapten. Tidak sedikit yang memberikan cibiran. Mencurigai mantan pemain Manchester United itu menghendaki agar Cavani segera meninggalkan lapangan agar pertandingan berlanjut. Saat itu Portugal sedang tertinggal 1-2.
Bagaimana setelah kemenangan? Antoine Griezmann bersikap dingin setelah mencetak gol kedua Prancis ke gawang Uruguay. Ia tidak menunjukkan euforia meluap-luap setelah sepakan spekulasi gagal dibendung Fernando Muslera. Padahal gol tersebut sangat berarti bagi Les Blues menuju semi final. Di satu sisi, ia tentu tidak ingin membuat Muslera tampak semakin konyol. Sikap antisipatif kiper senior itu begitu memalukan. Sulit diterima bagaimana caranya menghadapi bola kiriman Griezmann.
Di sisi lain, ada alasan lebih mendasar. Ada banyak orang penting di sana. Griezmann tahu ia bisa menjadi seperti sekarang karena jasa sejumlah orang Uruguay. Salah satu sosok penting adalah Martin Lasarte yang melatihnya di awal karier bersama Real Sociedad sejak 2009. Tidak hanya Laserte yang menjadi pelatih Sociedad hingga 2011. Ada juga Carlos Bueno, rekan setim yang bersama Lasarte menanamkan nilai-nilai penting yang membuatnya begitu jatuh cinta pada Uruguay.
"Saya juga bermain melawan beberapa teman, karena itu menurut saya wajar kalau saya tidak merayakan gol tersebut," Griezmann beberkan alasan lain.
Ikatan Griezmann dan Uruguay sudah begitu kuat, tertanam sejak bertahun-tahun lalu. Mengapa tidak kita bandingkan sikap ini dengan para kontestan pilkada? Para calon yang bertarung kadang melupakan, entah sengaja atau tidak, unsur-unsur yang mengikat mereka satu sama lain.
Selain berasal dari negara, bahkan wilayah yang sama, mereka pun menggunakan bahasa nasional bahkan bahasa ibu yang sama. Lebih dalam dari itu, bahkan masih memiliki hubungan kekerabatan. Namun Pilkada bisa membuat segala anasir itu tampak asing, atau sengaja dibuat demikian, dan membuat unsur-unsur pemersatu itu tercerai-berai. Ambisi kekuasaan dan jabatan membuat para kontestan kalap, gelap mata dan takabur. Kawan akhirnya menjadi lawan. Saudara dan sahabat kemudian menjadi musuh.
Memang sepak bola, termasuk Piala Dunia, tidak lepas dari kekurangan. Seperti politik, mafia, suap, anarki, vandalisme dan intrik juga mengemuka di sepak bola tak terkeculi di event sekelas Piala Dunia. Tak terkecuali luapan kegembiraan berlebihan seperti hooligan Inggris yang sampai merusak ambulans dan taksi menyusul lolosnya tim kesayangan ke semi final.