Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Raket Pilihan

Dari Indonesia Open Menuju Asian Games, Sukses Infrastruktur Berlanjut Prestasi

9 Juli 2018   01:36 Diperbarui: 9 Juli 2018   10:18 935
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Deretan tenda makanan yang berada di salah satu sisi luar Istora/Dokpri

Kebahagiaan para pencinta bulu tangkis Indonesia Minggu (8/7/2018) nyaris paripurna. Betapa tidak. Kesuksesan penyelenggaraan Indonesia Open Super 1000 berpelukan dengan pencapaian di lapangan pertandingan. 

Sebagai tuan rumah turnamen level dua, di belakang World Tour Finals, Indonesia berhasil menyabet dua gelar. Marcus Fernaldi Gideon/Kevin Sanjaya dan Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir menjadi yang terbaik di nomor ganda putra dan ganda campuran.

The Minions hanya butuh 31 menit untuk menjungkalkan ganda Jepang, Takuto Inoue/Yuki Kaneko. Kemenangan straight set 21-13, 21-16 itu sekaligus menggagalkan Negara Sakura meraih gelar lebih banyak dari Indonesia.

Sementara Owi/Butet kembali memenangi "rematch" final Olimpiade Rio menghadapi Chan Peng Soon/Goh Liu Ying. Pasangan Malaysia ini tak bisa berbuat apa-apa, tidak seperti saat menumbangkan rangking satu dan dua dunia asal China yakni Wang Yilyu/Huang Dongping di perempat final dan Zheng Siwei/Huang Yaqiong dalam perebutan tiket final. Kekalahan telak 21-17 dan 21-8 membuat pasangan Malaysia ini tertinggal jauh dalam sejarah pertemuan kedua pasangan, 1-10.

Kekalahan Chan/Goh membuat Malaysia bernasib sama seperti China. Mereka pulang dengan tangan hampa. Harapan semata wayang Negeri Tirai Bambu, Chen Yufei tak bisa berbuat banyak saat menghadapi unggulan teratas, Tai Tzu Ying. Tunggal putri nomor satu dunia itu menang rubber set 21-23, 21-15 dan 21-9.

Empat gelar lainnya dibagi rata antara Indonesia dan Jepang. Kento Momota menjuarai nomor tunggal putra dengan mengalahkan unggulan satu, Viktor Axelsen. Momota terus menunjukkan performa gemilang, menandai "comeback" setelah absen selama satu setengah tahun dengan kemenangan 21-14 dan 21-9. Satu gelar lainnya direbut dari nomor ganda putri setelah terjadi final sesama pasangan Jepang. Yuki Fukushima/Sayaka Hirota memenangi perang saudara atas Mayu Matsumoto/Wakana Nagahara, 21-14, 16-21 dan 21-14.

Indonesia memang tak bisa mengulangi pencapaian terbaik sepanjang penyelenggaraan turnamen ini pada 2001. Saat itu, tuan rumah menyapu bersih gelar juara melalui Marleve Mainaky, Ellen Angelina, Candra Wijaya/Sigit Budiarto, Deyana Lomban/Vita Marissa, dan Trikus Haryanto/Emma Ermawati. Namun pencapaian tahun ini lebih baik dari tahun lalu yang hanya bisa meraih satu gelar dan jauh lebih baik dari tiga edisi sebelum itu yang tanpa gelar.

Hasil lengkap Indonesia Open 2018/www.tournamentsoftware.com
Hasil lengkap Indonesia Open 2018/www.tournamentsoftware.com
Kaca pengilon

Selain itu pencapaian ini memberikan isyarat positif jelang perhelatan Asian Games pada Agustus mendatang. Boleh dikata ini adalah salah satu turnamen pemanasan selain Kejuaraan Dunia pada 30 Juli hingga 5 Agustus atau 14 hari sebelum cabang olahraga ini dipertandingkan kembali di Istora.

Pada Asian Games kali ini Indonesia menargetkan sedikitnya tiga emas. Target ini lebih tinggi dari pencapaian 4 tahun lalu di Incheon, Korea Selatan. Saat itu Indonesia meraih dua emas, satu perak dan satu perunggu. 

Emas dari nomor ganda putra perorangan melalui Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan serta Nitya Krishinda Maheswari/Greysia Polii di ganda putri perorangan. Dua pasangan ganda campuran masing-masing Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir dan Praveen Jordan/Debby Susanto masing-masing merebut perak dan perunggu.

Mengacu pada target ini berarti Indonesia masih harus membidik satu nomor lagi untuk menyumbang emas selain ganda putra dan ganda campuran. The Minions dan Owi/Butet tentu saja. Satu nomor lagi menyasar pada ganda putri melalui pasangan berbeda generasi Greysia Polii dan Apriyani Rahayu. Bagaimana sektor tunggal, baik putra maupun putri?

Indonesia Open kali ini menjadi kaca pengilon melihat sejauh mana kekuatan Indonesia di Asian Games nanti. Sebagai turnamen Premier of Premier semua pebulutangkis terbaik Asia ambil bagian. Begitu juga Indonesia.

Pertama, tunggal putra. Kemenangan Momota tidak hanya menjadi pukulan telak bagi kedigdayaan Axelsen. Tetapi juga menjadi ancaman terbesar bagi para pemain tunggal Asia lainnya.

Pekan lalu Momota ke final Malaysia Open, meski akhirnya kandas dari andalan tuan rumah, Lee Chong Wei. Tetapi pemain yang sempat tersandung masalah perjudian ini mampu bangkit. Ia balas dendam atas legenda Malaysia itu di semi final. Sempat tertinggal jauh di awal set, Momota lantas memimpin dan mengunci kemenangan straight set, 23-21 dan 21-12.

Setelah kembali ke lapangan dalam setahun terakhir, pemain 23 tahun itu sudah mengalahkan hampir semua pebulutangkis di lingkaran 10 besar dunia, mulai dari Ng Ka Long, Chen Long, Chou Tien Chen, Srikanth Kidambi, Chong Wei, Shi Yuqi, Son Wan Ho hingga Axelsen. Tidak terkecuali atas para pemain Indonesia.

Ornamen menarik di pintu masuk Istora Senayan/Dokpri
Ornamen menarik di pintu masuk Istora Senayan/Dokpri
Di Indonesia Open kali ini Momota menjungkalkan Anthony Ginting dua game langsung di babak kedua. Tunggal terbaik Indonesia ini menyerah 14-21 dan 15-21. Ini merupakan kekalahan kedua secara beruntung setelah sempat unggul 13-7 di pertengahan set kedua. Pemain lainnya, Jonatan Christie lebih dulu angkat koper di babak pertama, dihentikkan Axelsen. Dari skema ini cukup logis ditarik kesimpulan. Momota menjadi momok para pemain tunggal Indonesia.

Lantas apa yang bisa dilakukan dalam sisa waktu jelang Asian Games? Hal paling jelas adalah belajar dari karakter pemain rangking delapan yang akan segera melejit ke urutan dua dunia. Momota memiliki banyak keunggulan, yang beberapa dari antaranya tidak dimiliki para pemain Indonesia saat ini.

Pemain ini tidak hanya memiliki fisik yang kuat dan gerak yang lincah. Ia merupakan pemain yang sangat ulet dan jarang membuat kesalahan sendiri. Selain itu, ia pandai menjaga stamina, fokus dan konsisten. Ibaratnya tidak sekali bertanding langsung menyerah, sekali melangkah jauh lantas terjerembab tak lama berselang.

Selain Momota, para pemain China adalah ancaman lainnya. Kali ini Istora menjadi "kuburan" bagi Lin Dan dan kawan-kawan. Tampil dengan kekuatan penuh, Lin Dan, Chen Long dan Shi Yuqi, China hanya bisa mengirim Yuqi hingga semi final, sebelum ditaklukkan Axelsen. Meski sejak Indonesia Open 1989, setelah Ciong Guabao naik podium tertinggi, China belum lagi menjadi juara, Asian Games bisa menjadi ajang penebusan atas kegagalan sejarah yang panjang itu.

Ginting dan Jonathan harus segera bangkit. Ancaman tidak hanya datang dari luar negeri tetapi juga dari luar pelatnas. Tommy Sugiarto tampil impresif sejauh ini, meski menyerah di perempat final karena cedera dan siap merebut kembali posisi sebagai tunggal terbaik tanah air.

Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir akhirnya bisa menaklukkan Istora. Tahun lalu keduanya menjadi juara di JCC Senayan/Badmintonindonesia.org
Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir akhirnya bisa menaklukkan Istora. Tahun lalu keduanya menjadi juara di JCC Senayan/Badmintonindonesia.org
Kedua, ganda putri. Menempatkan tiga wakil di semi final kali ini membuat posisi Jepang sebagai negara dengan kekuatan baru di sektor ganda putri tak terbantahkan. Negeri Sakura telah memiliki sederet pasangan tangguh. Mereka tidak lagi mengandalkan Misaki Matsutomo dan Ayaka Takahashi. Sudah ada Yuki Fukushima/Sayaka Hirota, Mayu Matsumoto/Wana Nagahara dan masih banyak lagi.

Mayu dan Wakana menyingkirkan pasangan nomor satu dunia asal China, Chen Qingchen/Jia Yifan di semi final. Kemudian pasangan ini kalah dari "pembunuh" harapan Indonesia, Greysia dan Apriyani yakni Yuki/Hirota.

Dengan tanpa mengurangi rasa hormat atas perjuangan para pemain Indonesia, banyak hal yang masih harus dipelajari dari Jepang. Mereka tidak gampang dimatikan, kecuali melakukan kesalahan sendiri. Untuk itu menghadapi mereka tidak cukup mengandalkan fisik semata. Perlu kecerdasan mencari titik lemah dan kecepatan membaca pukulan lawan.

Ketiga, ganda putra. Mengharapkan The Minions sendiri di Asian Games tentu bukan sikap bijak. Indonesia punya cukup amunisi yang bisa diandalkan. Salah satu pasangan yang menonjol di Indonesia Open kali ini adalah Fajar Alfian/Rian Ardianto. Fajar/Rian meleset hingga semi final sebelum ditumbangkan rekan sepelatnas itu.

Sayang penampilan Fajar/Rian saat itu antiklimaks. Kekalahan dalam tempo 24 menit berbanding terbalik dengan heroisme saat menumbangkan juara dunia asal China, Zhang Nan/Liu Cheng, di babak sebelumnya.

Alih-alih memberi perlawanan kepada The Minions, Fajar/Rian terlihat gugup. Keduanya tak bisa mengembangkan permainan. Di sisi berbeda, Minions lebih tenang, tidak hanya unggul dalam kualitas. Kecepatan, akurasi pukulan dan variasi pukulan melengkapi kematangan The Minions di laga itu.

Seperti kata Fajar dan Rian setelah pertandingan. Meski sering berlatih bersama, situasi di lapangan menjadi pembeda. Mereka memetik banyak pelajaran untuk Asian Games. "Kami harus sering latihan lagi, kami kan sering latihan bersama, kami ingin belajar dari kelebihan yang mereka punya," tandas Rian kepada Badmintonindonesia.com.

Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto diharapkan bisa mengikuti jejak The Minions menyumbang prestasi di Asian Games 2018/Badmintonindonesia.org
Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto diharapkan bisa mengikuti jejak The Minions menyumbang prestasi di Asian Games 2018/Badmintonindonesia.org
Keempat, ganda campuran. Selain kemenangan Owi/Butet hal positif dari ganda campuran kali ini adalah lolosnya tiga pasangan hingga delapan besar. Bahkan Hafiz Faizal/Gloria Emanuelle Widjaja bisa sampai ke empat besar.

Hal yang sudah memang seharusnya ini diharapkan membawa angin segar di Asian Games nanti. Selain mengharapkan konsistensi Owi/Butet, Ricky Karanda/Debby Susanto serta Hafiz/Gloria diharapkan terus meningkat. Hafiz/Gloria akan duduk di rangking 11 dunia mendapat pelajaran dari Owi/Butet di semi final. Pelajaran bagaiman menguasai lapangan dan pintar menempatkan bola termasuk saat beradu di depan net. Tidak hanya itu mental untuk menghadapi laga besar.

Chan Peng Soon/Goh Liu Ying kali ini tak bisa berbuat banyak di laga pamungkas meski sukses menjungkalkan rangking satu dunia dari China, Wang Yilyu/Huang Dongping dan Zheng Siwei/Huang Yaqiong sejak perempat final. Mereka tak bisa menaklukkan Owi/Butet dan seisi Istora. Namun pasangan ini telah menghibur dengan kecepatan di depan net dan pertahanan yang rapat.

Kelima, pekerjaan rumah terbesar bulu tangkis Indonesia masih di tunggal putri. Gregoria Mariska, Fitriani dan teman-teman belum menunjukkan hasil menggembirakan. Ada jurang yang begitu jauh antara mereka dan para pemain sekelas Rachanok Intanon, apalagi Tai Tzu Ying.

Menarik melihat para pemain muda China seperti He Bingjiao dan Chen Yufei. Para pemain segenerasi  Fitriani ini mampu melangkah hingga semi final dan final. He terhenti di semi final dari Tai. Pencapaian He dan Tai menunjukkan di level mana mereka berada sekarang. Berbeda dengan para pemain Indonesia yang masih terseok-seok.

Tunggal nomor satu dunia, Tai Tzu Ying membuktikan diri sebagai yang terbaik di Indonesia Open 2018/www.tournamentsoftware.com
Tunggal nomor satu dunia, Tai Tzu Ying membuktikan diri sebagai yang terbaik di Indonesia Open 2018/www.tournamentsoftware.com
Meski gagal menjadi juara, Chen menunjukkan sesuatu yang seharusnya dimiliki para pemain Indonesia. Stamina dan semangat juang pemain 20 tahun itu luar biasa. Walau tertinggal jauh, ia tetap tekun mengejar, hingga balik menikung. Saat terjadi "deuce" mentalnya tak goyah.

Selain memiliki senjata andalan, untuk bersaing di level atas juga butuh mental yang tangguh dan daya juang tinggi. Gregoria misalnya, sudah memiliki potensi. Namun talenta saja tidak cukup. Untuk sukses dibutuhkan faktor lain. Untuk itu butuh lecutan untuk bekerja lebih keras, mengasah teknik dan stamina lebih gigih, bila perlu menaikkan standar, target dan ekspektasi. Kita tentu tidak mau melihat para pemain kita terus menjadi bulan-bulanan lawan, termasuk di Asian Games nanti! Walau peluang medali ibarat pungguk merindukan bulan, setidaknya mampu melawan dengan sekuat-kuatnya dan sehormat-hormatnya.

Sukses infrastruktur

Indonesia Open yang menjadi turnamen dengan hadiah tertinggi, mencapai total 18 miliar rupiah, kembali didaulat sebagai turnamen terbaik di dunia. Pengalaman ini tentu membuat kita yakin perhelatan Asian Games nanti berlangsung sukses. Istora akan menjadi arena bagi dua cabang olahraga yakni bulu tangkis dan bola basket. Tantangan berat bagi panitia untuk berbagi waktu menyelenggarakan dua event tersebut seperti soal pencahayaaan dan lapangan.

Terlepas dari hal ini, wajah Istora sudah semakin molek. Bahkan Istora menjadi salah satu venue Asian Games yang siap lebih awal. Sebagian besar proses renovasi Istora selesai pada akhir 2017 dan langsung diuji coba pada Indonesia Masters pada akhir Januari 2018. Meski saat itu proses renovasi belum rampung 100 persen, berbagai perubahan signifikan sudah terlihat.

Para penonton bersantai ria di tempat istirahat yang tersedia di salah satu sisi Istora/Dokpri
Para penonton bersantai ria di tempat istirahat yang tersedia di salah satu sisi Istora/Dokpri
Dan kini wajah arena legendaris itu makin cantik. Pertama, tempat duduk. Bila sebelumnya terbuat dari kayu, kini kita bisa merasakan sensasi berbeda seperti saat menonton pertandingan di stadion megah di mancanegara. 

Dengan "single seating" para penonton bisa menyaksikan pertandingan dengan lebih nyaman. Sistem kontrol pun canggih. Saat pertandingan bila kedapatan penonton menaruh kaki di atas kursi akan langsung disorot dan ditampilkan di layar besar yang ada di kedua sisi Istora.

Kursi
Kursi
Kedua, pencahayaan. Penggunaan lampu LED tanpa "heating" membuat pemandangan lebih jelas dan hawa tak terasa panas. Para penonton bisa melihat pertandingan lebih terang. Para pemain pun lebih nyaman karena lampu tidak mengganggu penglihatan dan membuat panas. Lampu dengan kekuatan 2000 lumens tidak terasa panas karena menggunakan jenis LED.

Ketiga, selain "lighting", karpet dan lantai dasar lapangan juga diperbaiki. Tentu dengan kualitas nomor satu. Di samping itu di tempat ini bisa disetting hingga empat lapangan.

Pencahayaan di Istora jauh lebih baik dari sebelumnya/PBSI
Pencahayaan di Istora jauh lebih baik dari sebelumnya/PBSI
Keempat, hal penting lain terkait infrastruktur adalah kebersihan. Patut diakui toilet Istora saat ini jauh berubah. Kondisinya lebih bersih dan kualitas air lebih baik. Saat event tiba, sejumlah petugas kebersihan siaga di setiap pintu. Selain itu tenaga kebersihan juga cukup memadai untuk memastikan lingkungan sekitar Istora tetap bersih.

Kelima, lingkungan di sekitar Istora juga ditata. Di sejumlah sisi terhubung jembatan menuju pusat makanan. Aneka makanan tersedia di tenda-tenda yang berjejer rapih. Selain itu tersedia pula arena bermain untuk anak-anak dan tempat istirahat untuk semua kalangan.

Toilet di Istora yang lebih baik, tidak seperti sebelumnya yang terkesan jorok/foto dokpri
Toilet di Istora yang lebih baik, tidak seperti sebelumnya yang terkesan jorok/foto dokpri
Tidak hanya lingkungan sejak gerbang masuk istora yang telah tertata baik dan rapih. Di luar Istora pun demikian. Hal paling menonjol di antaranya trotoar yang lebar, bersih dan cantik. Hal ini bukan lagi sesuatu yang asing di sekeliling kompleks GBK.

Trotoar di sekeliling GBK yang luas, rapih dan cantik/foto dokpri
Trotoar di sekeliling GBK yang luas, rapih dan cantik/foto dokpri
Ticketing

Satu kekurangan dari penyelenggaraan Indonesia Open kali ini adalah soal ticketing. Selain belum benar-benar terpusat, karena para calo masih berkeliaran, pengaturannya pun harus lebih baik. Banyak penonton yang tak kebagian tiket bahkan status "sold out" untuk kategori tertentu sudah terjadi beberapa jam sebelum pertandingan dimulai. Sementara itu di luar sana masih ada calo yang menawarkan tiket dengan harga selangit.

Saya menjadi saksi mata sekelompok warga Taiwan merengek-rengek minta belas kasihan kepada sejumlah penonton tanah air agar mau menjual tiket mereka. Mereka mengharapkan belaskasihan yang mustahil diperoleh. Selain para calo, mereka yang datang ke Istora tentu tidak ingin melewatkan momen spesial ini. 

Seorang Taiwan (membelakangi) sedang mencoba peruntungan mendapatkan tiket dari penonton Indonesia/Dokpri
Seorang Taiwan (membelakangi) sedang mencoba peruntungan mendapatkan tiket dari penonton Indonesia/Dokpri
Diharapkan persoalan serupa tidak terjadi saat Asian Games. Sasaran dan peruntukan tiket harus jelas. Pengawasannya pun diperketat. Saat ini pemesanan tiket Asian Games sudah dibuka. Dengan panduan seperti ini  bisa langsung memesan di situs resmi asiangames2018.id atau di www.kiostix.com.

Bila persoalan infrastruktur sudah terselesaikan, Indonesia bisa lebih fokus pada pencapaian prestasi di lapangan bulu tangkis, salah satu cabang yang diharapkan menyumbang banyak medali. Apakah kebahagiaan paripurna seperti hari ini akan terulang lagi di Asian Games nanti? Semoga!!

Deretan tenda makanan yang berada di salah satu sisi luar Istora/Dokpri
Deretan tenda makanan yang berada di salah satu sisi luar Istora/Dokpri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Raket Selengkapnya
Lihat Raket Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun