Kazan Arena ternyata sangat tidak ramah bagi para juara dunia. Setelah Jerman dan Argentina, kini giliran Brasil yang terkubur di stadion tersebut. Sabtu (07/07/2018) dini hari tadi menjadi momen paling getir bagi sang juara dunia. Asa juara keenam kembali menguap. Kali ini di tangan Belgia.
Gol bunuh diri Fernandinho di menit ke-13 dan sepakan Kevin De Bruyne menit 31 hanya mampu dibalas Renato Augusto di menit ke-76. Selecao yang diunggulkan di perhelatan kali ini harus menerima kenyataan berbeda. Segala puja puji kembali berakhir pahit seperti tiga edisi sebelumnya. Sedihnya, kekalahan demi kekalahan itu terajdi di hadapan para wakil Eropa.
Setelah kali terakhir menjadi juara dunia pada 2002, Brasil belum lagi naik podium. Tim-tim Eropa selalu menjadi mimpi buruk. Empat tahun setelah juara itu Brasil dijegal Prancis 0-1 di perempat final. Langkah Tim Samba kembali terhenti di delapan besar di 2010. Kali itu giliran Belanda yang memenangkan pertandingan dengan skor 2-1.
Brasil yang tidak ingin mengecewakan para pendukungnya justru menjadi bulan-bulanan Jerman di semi final edisi 2014. Kekalahan 1-7 yang menyakitkan dari tim yang kemudian menjadi juara benar-benar melukai hati para pendukung dan menghempaskan segala harapan menjadi juara di kandang sendiri. Dan momen penebusan dan pelampiasan yang diharapkan memuncak di edisi mutakhir kembali tertunda.
Mimpi buruk
Apakah Brasil sudah masuk kotak kutukan tim-tim dari benua biru? Saya tidak percaya sedikitpun pada takdir. Ada hal lain yang bisa dijelaskan di balik setiap kekalahan. Tak terkecuali kali ini.
Absennya Casemiro membawa persoalan besar di lini tengah Brasil. Beberapa tahun silam sempat muncul perdebatan ketika ia dibandingkan dengan Fernandinho. Lebih banyak menjagokan pemain yang disebutkan terakhir itu.
Ketika polemik itu mengemuka Fernandinho memang sedang berjaya, dan mungkin sedikit bannyak terus bertahan hingga sekarang bersama Manchester City. Namun Casemiro menunjukkan perkembangan yang luar biasa di Real Madrid, terutama di bawah kendali Zinedine Zidane. Kepercayaan berpelukan dengan peningkatan yang signifikan menjadi salah satu gelandang bertahan terbaik di dunia.
Sayang kartu kuning yang diterima saat menghadapi Meksiko membuatnya harus absen di laga penting ini. Fernandinho kemudian mendapat kesempatan pertama mengisi "starting line-up". Hasilnya sungguh di luar dugaan.
Salah mengantisipasi bola sepak pojok justru berbuah gol bunuh diri di awal pertandingan. Ia pun tak bisa diharapkan untuk menjadi salah satu motor penggerak kebangkitan tim. Harapan untuk memberikan keseimbangan di lini tengah melalui umpan dan blokade serangan menguap. Sebaliknya, Belgia bisa leluasa mengendalikan lini tengah melalui Marouane Fellaini dan Axel Witsel dan melancarkan serangan balik mematikan melalui celah-celah yang ditinggalkannya.Â
Penampilan Fernandinho kali ini menyiratkan betapa pentingnya kehadiran Casemiro bagi seluruh sistem yang dibangun Tim Samba. Sebaliknya, Belgia sukses memanfaatkan mimpi buruk Fernandinho.
Penampilan Fernandinho bertolak belakang dengan Kevin De Bruyne di timnas Belgia. Roberto Martinez tampaknya belajar banyak dari penampilan De Bruyne di laga-laga sebelumnya. Predikat sebagai salah satu playmaker terbaik di dunia yang dibuktikan bersama Manchester City sempat dipertanyakan sejak awal pertandingannya di Rusia. Tidak ada kontribusi signifikan adalah sebab. Selain itu minim aksi-aksi ciamik seperti yang diperagakan di level klub. Padahal De Bruyne adalah pemilik assist terbayak di lima liga top Eropa sejak pindah dari Wolfsburg
Martinez kemudian mengubah peran De Bruyne. Alih-alih memaksanya bermain lebih bertahan, pelatih asal Spanyol itu memberinya ruang lebih. Seperti yang dilakukan Pep Guardiola, De Bruyne tidak mendapat tanggung jawab defensif sepenuhnya. Kecepatan dan kecakapan akselerasi ke pertahanan lawan dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh pelatih City.
Sempat ada kecemasan di awal, apakah formasi ini akan berhasil. Ternyata De Bruyne membuktikan bahwa kebebasan yang diberikan kepadanya adalah malapetaka bagi lawan. Salah satu pembuktian paling nyata adalah gol kedua yang ia ciptakan.
Bila mau jujur tidak hanya De Bruyne yang tampil menawan di laga ini. Gelar "man of the match" yang diterima masih bisa diperdebatkan dengan penampilan gemilang Thibaut Courtois di bawah mistar gawang. Juta tak ketinggalan sang kapten, Vincent Kompany yang menggawangi sektor pertahanan.
Terlena
Demikian alasan lain yang membuat Brasil bertekuk lutut kali ini. Sebelum ke Rusia hingga sebelum laga ini, Brasil seperti raksasa tak tersentuh. Mereka begitu superior. Para pemain Brasil adalah orang-orang kepercayaan Tite untuk membangun sebuah mesin raksasa yang diminyaki dengan baik. Putaran setiap unsur bekerja dengan baik dan serasa berjalan otomatis untuk menggilas lawan-lawannya.
Namun mesin itu kemudian rontok. Situasi berbanding terbalik dalam hitungan 90 menit pertandingan. Ketika mereka menang dan mampu mengatasi tantangan, seperti tak ada hal yang patut dikritik. Celah yang harus ditambal. Brasil terlena dalam kebesaran dan keunggulan.
Mengapa saya katakan demikian? Coba tengok performa Gabriel Jesus dan bagaimana nasib Douglas Costa di Piala Dunia kali ini? Jelas kita katakana, seperti Fernandinho, Jesus adalah pemain Brasil lain yang bermain buruk di pertandingan ini. Ironisnya tanda-tanda itu sudah terlihat di laga-laga sebelumnya. Minimnya kontribusi mestinya sudah menjadi bahan pertimbangan sang pelatih.
Sikap itulah yang kemudian memperjelas datangnya malapetaka. Musibah setelah 393 hari tak pernah kalah, meski isyarat akan hal ini cukup jelas terbaca. Ketika mereka merasa mapan semestinya pada saat itu mereka menjadi lebih waspada. Apa yang tidak pernah mereka alami harus menjadi alarm untuk berjaga-jaga.
Selama di Rusia, Brasil hampir tidak pernah mengalami tantangan berarti. Nama-nama besar dan popularitas mereka hampir menutupi pekerjaan rumah yang sebenarnya diperlihatkan Jesus hari ini. Justru ketika mereka lengah, petaka itu datang yang mencapai puncak ketika gerak cepat Romelu Lukaku dituntaskan sepakan terarah De Bruyne yang merontokkan gawang Alisson Becker.
Ketika petaka itu terjadi Brasil pun terjaga. Sayang kesadaran itu terlambat. Belgia bukan Kosta Rika! Dominasi tidak selalu identik dengan kemenangan.
Kemenangan ini membuat harapan pada Belgia semakin kuat. Generasi emas Belgia yang berpeluang mencapai klimaks. Mereka akan menghadapi Prancis yang beberapa jam sebelumnya memulangkan satu dari dua wakil Amerika Latih yang tersisa, Uruguay.
Pertandingan semi final ini sedikit banyak akan mempertontonkan pertunjukkan serupa hari ini. Kedua tim sama-sama memiliki sederet pemain bintang. Keduanya pun sudah sama-sama melewati sejumlah ujian. Keduanya sama-sama menyandang status unggulan.
Bila demikian apa yang bakal menjadi pembeda pertandingan nanti? Selain mental, juga kejelian dan kecerdasan taktikal. Dari segi mental, para pemain Belgia sedikit lebih teruji, seperti usia rata-rata pemain mereka. Namun semangat yang menyatu dengan jiwa muda Prancis bisa menjadi api.
Martinez dan para pemain Belgia harus belajar dari pertandingan hari ini. Belajar dari kepongahan Tite dan kealpaan para pemain Brasil. Belajar untuk tidak tinggal tetap dalam kemapanan!
Akhirnya, setelah kepulangan Uruguay, tidak ada lagi wakil Amerika Selatan di semi final kali ini. Sama seperti edisi 1934, 1966, 1982 dan 2006. Namun para semifinalis tidak akan tampil begitu saja karena merasa mereka adalah Eropa. Ini Piala Dunia, bukan Piala Eropa!!! Oh ya, pastikan selalu, jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda!!!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI