Selama dua tahun ia bertugas di Flores. Berada di Nusa Tenggara Timur hingga 1947 hingga dua tahun dipenjara sekutu di Sumba dan Timor. Sato kemudian melisankan kenangan itu kepada P Mark Tennien dan Maryknoll. Cerita itu kemudian dibukukan oleh Farrar, Strauss dan Cudahy pada 1957 di New York. Buku itu lalu dialihbahasakan oleh Thom Wignyanta, dan hingga cetak kedua pada 2005 tetap mempertahankan judul yang sama. I Remember Flores.
Ia lebih menitikberatkan pada kisah humanisme. Menempatkan Flores tidak semata-mata dan terutama sebagai koloni, tetapi sebagai medan belajar dengan geografi, topografi dan antropoligi baru yang berbeda. Sesuatu yang tak terbayangkan sebelumnya. Sesuatu yang akhirnya mengubahnya pada aspek paling dalam (baca:iman) dan kemudian membuatnya tidak bisa tidak mengingat Flores.
Salah satu ungkapan Sato di halaman 223 demikian. "...Rakyat Flores telah mengajarkan saya bahwa biarpun bom-bom dapat menghancurkan semua gereja, ada satu yang tetap hidup, yaitu iman umat. Di Flores, saya dekat api, bara iman yang ikut serta membakar jiwaku. Semua usahaku untuk memadamkannya sia-sia."
Dengan cara pandang yang sama, saya pun melihat Jepang hari ini. Jepang yang membuat bangga Asia dan memantik rindu kembali ke kampung semakin menjadi-jadi. Ah, I Remember Flores.
Oh ya, pastikan jangan nonton bola tanpa Kacang Garuda!