"Bila harga beras di pasar meningkat, Bulog yang disebut. Begitu juga bila stok beras dan penyerapan gabah di masyarakat sedikit, Bulog lagi yang disebut." Demikian celoteh Tri Wahyudi Saleh, Direktur Komersial Perum Bulog dalam acara KITANgopiWriting antara Kompasiana dan BULOG di salah satu kafe di bilangan Jakarta Selatan, Kamis (03/05/2018) lalu.
Di hadapan sekitar 25 Kompasianer, pria kelahiran Jakarta, 29 September 50 tahun silam, membeberkan lika-liku berikut kesalahpahaman yang kerap dialamatkan kepada lembaga pangan yang dibentuk pada 10 Mei 1967 itu.
Seperti selentingan di awal tulisan di atas, publik kerap mengidentikkan Bulog dengan beras. Tentu tidak ada yang salah dengan itu. Mengingat sejak awal pendiriannya, tugas pokok Bulog adalah mengurus tata niaga beras.
Dalam perjalanan waktu ruang lingkup Bulog sempat diperluas tidak hanya mengurus beras semata, tetapi juga gula, gandum, terigu, kedelai, pakan dan bahan pangan lainnya. Kemudian berdasarkan Keppres No 19 tahun 1998, ruang lingkup komoditas yang ditangani Bulog kembali dipersempit hanya untuk menangani komoditas beras.
Sejak tahun 2000, pemerintah mulai mendorong Bulog menjadi sebuah badan usaha. Selain menjalankan tugas tradisionalnya, Bulog pun melebarkan sayapnya ke bidang jasa logistik. Puncaknya terjadi pada 2003 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah No.7 tahun 2003 yang mengubah status Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum). Kini lini usaha Bulog mencakup banyak hal. Tidak hanya mengurus beras, tetapi juga menyambangi usaha logistik, hingga penginapan.
"Bila Anda ke Surabaya, berdekatan dengan Bandar Udara Juanda, ada hotel Bulog," Tri Wahyudi memberi contoh salah satu lini usaha Bulog di bidang perhotelan.
Rumah Pangan Kita
Beralihnya status Bulog menjadi Perusahaan Umum dengan sendirinya memangkas campur tangan pemerintah. Menurut Tri Wahyudi demi menunjang kelangsungan hidup, dengan minimnya bantuan dari pemerintah, Bulog pun harus berkreasi dan berinovasi.
Di satu sisi, Bulog tetap menjalankan tugas pokoknya untuk melakukan pengkajian dan penyusunan kebijakan nasional di bidang manajemen logistik, pengadaan, pengelolaan persediaan, dan distribusi beras, serta pengendalian harga beras.
Di sisi lain, Bulog pun berbisnis untuk mendapatkan keuntungan demi kelangsungan hidup. Saat ini nasib sekitar 4.300 orang karyawan tidak lagi berada di tangan pemerintah pusat tetapi Bulog sendiri.
Untuk itu Bulog terus berinovasi dari waktu ke waktu. Salah satu terobosan yang dilakukan adalah membangun Rumah Pangan Kita (RPK). Secara singkat RPK merupakan outlet penjualan pangan pokok milik masyarakat yang dibina oleh Perum Bulog.
RPK dibentuk dengan tujuan untuk stabilisasi harga pangan dan membuka akses pangan pokok kepada masyarakat. Di lain pihak, kehadiran RPK menstimulus semangat kewirausahaan atau entrepreneurship masyarakat.
Bila usaha kecil ini semakin berkembang maka pada gilirannya akan memberikan andil pada pertumbuhan ekonomi masyarakat. Masyarakat yang bekerja sama dengan Bulog akan mendapat penghasilan tambahan.
Nah, Bulog membuka kesempatan kepada semua masyarakat untuk bisa ambil bagian dalam program ini baik secara individu, maupun berupa koperasi atau organisasi masyarakat atau perusahaan. Setiap masyarakat yang bekerjasama membangun outlet RPK disebut sebagai Sahabat RPK. Lantas apa saja manfaat menjadi Sahabat RPK?
Seperti dijelaskan Febby Novita, salah satu kepala divisi yang berada di bawah komando Direktorat Komersial Perum Bulog, menjadi Sahabat RPK sangat mudah. Tidak dibutuhkan modal besar untuk memulai.
Untuk individu atau rumah tangga hanya dibutuhkan ruang cukup sebagai outlet dan mengeluarkan investasi awal sebesar Rp5.000.000,00 sebagai pembelian pertama. Dari modal awal tersebut dengan asumsi penjualan Rp10.760.000 dengan dua kali "turnover" maka peluang penghasilan yang diperoleh adalah sebesar Rp660.000. Bila usaha ini berjalan lancar maka dalam tempo delapan bulan modal awal sudah terlunasi.
Begitu juga bagi koperasi atau ormas atau perusahaan. Dengan mengeluarkan dana sebesar Rp10.000.000 sebagai modal awal, dengan asumsi penjualan per bulan Rp21.520.000 dengan dua kali "turnover" maka laba yang bakal diperoleh sebesar Rp1.360.000. Dalam waktu tujuh bulan sudah bisa balik modal.
Sementara itu untuk kategori perusahaan, selain syarat-syarat di atas dibutuhkan pula fotocopy Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
Tidak sampai di situ, setiap sahabat RPK tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk promosi. Bulog akan melengkapi setiap RPK dengan spanduk, banner, dan kartu nama Sahabat RPK.
Di samping itu, setiap Sahabat RPK bisa melakukan konsultasi terkait pengembangan bisnis. Tidak dipungut biaya tambahan seperti "royalty fee" atau dianggap sebagai "franchise" berbayar untuk setiap aktivitas yang dilakukan.
Bulog akan menggratiskan biaya pengiriman untuk setiap pemesanan pertama dan "repeated" order dalam jumlah tertentu. Pengirimannya terbuka ke seluruh wilayah Indonesia untuk setiap produk dengan kualitas terbaik.
Seorang peserta melontarkan pertanyaan yang cukup menggelitik, "Apakah program ini hanya bersifat sementara?" Demikian bunyi pertanyaannya.
Tri Wahyudi menjawab tegas bahwa RPK merupakan jaringan distribusi utama Perum Bulog masa depan. Peluang dan potensi berkembang cukup tinggi mengingat RPK diberi hak memasarkan produk Operasi Pasar, melayani voucher pangan sehingga sangat potensial untuk menjadi usaha yang terus berkembang. Selain itu, potensi pendapatan bagi setiap Sabahat RPK pun meningkat.
Setiap RPK menjual komoditi dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) yang telah ditetapkan. Setiap transaksi dilakukan secara tunai dan menginput seluruh transaksi ke dalam aplikasi RPK. Dengan berpatok pada HET apakah Sahabat RPK masih bisa mendapat untung? Tentu saja. Dengan harga yang mampu bersaing di pasaran dan kualitas produk yang baik akan menjadi daya tarik tersendiri.
Tri Wahyudi memberi contoh. "Beras Kita" seharga Rp12.800 per kilogram, "Minyak Kita" kemasan 1 liter dengan HET Rp 12.800, dan gula pasir "Manis Kita" kemasan 1 kg dengan HET Rp12.500 mendapat sambutan positif dari masyarakat.
Apa yang dikatakan Tri Wahyudi di atas benar adanya. Hari itu para peserta mendapat buah tangan berupa produk-produk terbaik dari Bulog. Sesampai di rumah beberapa dari antaranya langsung digunakan. Rasa penasaran mengemuka. Apakah benar produk-produk itu benar-benar berkualitas? "Beras Kita" memiliki bulir-bulir yang bersih dan setelah ditanak menghasilkan rasa nasi yang nikmat. Sementara itu "Minyak Kita" tak cepat berganti warna setelah dipakai selama dua kali.
Akhirnya, dengan modal ringan, produk berkualitas, tak perlu lahan khusus dan menggaransi omzet jutaan rupiah, apakah Anda tak mau menjemput peluang emas dari Perum Bulog ini? Ayo daftarkan diri Anda menjadi Sahabat RPK.
Untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut bisa mengunjungi www.bulog.co.id atau melalui lini sosial media di Rumah Pangan Kita (facebook), @rumahpangankita (twitter) dan @rpk_bulog (Instagram).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H