Dari segi pengalaman, jumlah jam terbang putra dari Icuk Sugiarto, mantan pemain nasional itu, jelas lebih memadai. Ia bahkan pernah memperkuat Indonesia sejumlah edisi Piala Thomas, bahkan pernah menjadi tunggal pertama di edisi 2014.
Namun begitu, seiring berjalannya waktu, prestasi pemain kelahiran Jakarta, 31 Mei 1988 itu semakin tak menentu. Meski masih aktif bermain, performa Tommy kerap naik turun. Namun nasib serupa tak berbeda jauh dengan para pemain muda yang kini menjadi andalan. Sebut saja Ihsan Maulana dan Firman Abdul Kholik. Secara peringkat Tommy bahkan lebih baik dari kedua pemain itu. Tommy berada di peringkat ke-30, sementara Ihsan melorot ke peringkat 48 dan Firman di urutan 86.
Di sini letak dilema pelatih dan pengurus PBSI. Di satu sisi performa Tommy belum cukup meyakinkan dalam beberapa tur terakhir, namun ia memiliki mental dan pengalaman yang bisa dijadikan andalan. Di laih pihak, PBSI tidak mau berjudi dengan memanggil pemain non pelatnas, yang perkembangannya mulai menjauh dari radar perhatian dan pengawasan.
Hal yang paling mungkin dijadikan alasan masuknya Firman ketimbang Tommy adalah peran pentingnya di Kejuaraan Asia Beregu Putra atau Badminton Asia Team Championships 2018. Pemain berusia 20 tahun ini menjadi pahlawan kemenangan Indonesia atas Korea Selatan di babak semi final. Tampil sebagai tunggal ketiga di partai terakhir, Firman mampu mengejar ketertinggalan dan mampu mengunci kemenangan atas Lee Dong Keun dengan skor 22-20, 11-21, 22-20. Kemenangan Firman itu sekaligus memastikan langkah Indonesia ke partai final dan membuka jalan bagi gelar juara yang dibawa pulang setelah mengalahkan China di partai puncak.
Bisa jadi performa mengejutkan Firman di Alor Setar, Malaysia, Februari lalu itu menjadi nilai tambah sekaligus kartu truf yang bisa dipakai lagi. Ia bisa jadi penyelamat kala strategi yang dirancang meleset. Di Alor Setar, tempat turnamen Kualifikasi Piala Thomas itu digelar, Firman menjadi dewa penolong setelah harapan merebut poin penuh di nomor ganda tak terwujud. Firman yang belum pernah diturunkan sebelumnya, menghadapi pemain yang lebih diunggulkan pula, mampu mengejar ketertinggalan cukup jauh di game penentu, untuk berbalik mengunci pertarungan selama 84 menit itu.
![Firman Abdul Kholik/Kompas.com](https://assets.kompasiana.com/items/album/2018/05/01/firman-abdul-kompas-5ae884cadd0fa82fdc483d62.jpg?t=o&v=555)
Kita tentu tidak berharap demikian. Firman dan para pemain Indonesia bisa menciptakan demitologisasi. Ketimbang mengharapkan datangnya keberuntungan, kenyataan yang patut dicerna adalah performa beberapa pemain Indonesia yang mengkhawatirkan. Kita bisa berharap lebih pada sektor ganda.Â
Kita punya pasangan nomor satu dunia dan pasangan senior yang bisa dibongkar pasang. Di nomor tunggal, kita mengharapkan Ginting dan Jonatan kembali mendapatkan performa terbaik. Namun selain harapan pada konsistensi para pemain, berdasarkan hitung-hitungan, PR besar kita adalah pada tunggal ketiga (MS3). Statistik mencatat, baik Firman maupun Ihsan peringkat dunianya tertinggal dari MS3 tim-tim unggulan.
Indonesia akan mencuri satu tiket perempat final dari Grup B yang diisi Korea Selatan, Kanada dan Thailand. Secara peringkat, MS3 Korea dan Thailand lebih baik dari Indonesia. Tentu kunci kemenangan Indonesia adalah sektor ganda, dan mencuri poin dari MS1 dan 2. Tantangan di fase gugur tentu jauh lebih sulit mengingat para unggulan seperti China, Denmark dan Jepang memiliki kekuatan yang cukup merata di setiap sektor. Apabila harapan itu terganjal hal tak terduga, sepertinya kita masih akan berharap pada keajaiban kedua untuk memulangkan Piala Thomas pada edisi ke-30 ini.
Selamat berjuang!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI