"Pakaian dalam pun nekat beli bekas lantas dicuci beberapa kali. Intinya buatan luar negeri." (Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian)
Filsuf Jerman, Karl Marx pernah melontarkan kritik terhadap gaya hidup masyarakat modern. Ia menilai masyarakat mudah terjebak dalam apa yang disebut kebutuhan palsu. Ini adalah jenis kebutuhan yang hanya mendewaka kesenangan semata. Pengaruh iklan membuat preferensi kebutuhan bergeser: apa yang sesungguhnya kurang atau tidak kita butuhkan akhirnya dirasakan sebagai suatu kebutuhan.
Kritik Marx tampaknya masih, malah semakin aktual dewasa ini. Kita lebih suka makan atau mengkonsumsi produk luar negeri karena merasa nilai prestisenya lebih tinggi. Kita merasa harus menikmati sesuatu yang dari luar karena melihat orang-orang zaman sekarang beramai-ramai ke sana.
Orang berbondong-bondong ke pusat perbelanjaan untuk berburu produk keluaran terbaru dengan label ternama, atau mengalokasikan waktu khusus untuk mengejar barang-barang bermerek hingga ke luar negeri, tidak hanya karena ia membutuhkan sesuatu tetapi hanya demi belanja itu sendiri. Seseorang berniat berbelanja tidak sekadar membeli sesuatu yang penting tetapi terkadang hanya untuk memenuhi satu kebutuhan. Shopping.
Berbelanja tentu hak setiap orang. Masing-masing orang punya alasan dan pertimbangan tersendiri. Tentu dengan konsekuensi tertentu terkait waktu hingga biaya. Namun ada pertanyaan yang mengemuka. Mengapa harus produk luar negeri? Apakah produk dalam negeri kalah kelas dan tidak bergengsi?
Seperti disinggung sebelumnya orang menggemari produk luar negeri bisa jadi karena gengsi. Orang merasa lebih afdol bila memiliki barang-barang yang diproduksi di luar negeri apalagi merek-merek terkenal yang hanya bisa dijangkau kalangan terbatas.
Soal gengsi bisa jadi sangat subjektif. Alasan lain yang sedikit rasional antara lain. Pertama,produk dalam negeri berkualitas rendah. Dibanding produk luar negeri, produk dalam negeri berkualitas rendah apalagi dipatok dengan harga relatif tinggi. Orang kemudian memilih produk luar negeri yang lebih berkualitas meski harus merogoh kocek lebih dalam.
Di samping itu, produk dalam negeri berkualitas tinggi malah dilempar ke pasar luar negeri. Sementara di dalam negeri berseliweran produk nomor dua dengan kualitas serupa.
Kedua,kurangnya inovasi. Produk luar negeri biasanya selalu bergerak cepat dalam hal inovasi. Hal ini bisa dilihat dari mudahnya produk-produk lokal meniru sesuatu yang datang dari luar. Tidak hanya terkait substansi tetapi juga kemasan. Produk luar negeri selalu hadir dengan kemasan yang menarik dan menggoda sehingga mudah menarik perhatian.
Ketiga,layanan purnajual. Apakah Anda pernah mengalami kesulitan untuk menghubungi "customer care" atau "customer service" produk dalam negeri? Jangankan itu, tidak sedikit pelanggan atau konsumen lokal yang tidak mendapatkan layanan purna jual produk lokal.
Mendunia
Beberapa anggapan di atas ternyata tidak sepenuhnya benar. Hal ini mengemuka saat acara nangkring Kompasiana bersama Kementerian Perindustrian, Minggu 17 Desember 2017. Acara yang mengambil tempat di salah satu kafe di bilangan Jakarta Selatan mengangkat tema "Budayakan Cinta Produk Dalam Negeri, Berdayakan Pelaku Industri Dalam Negeri."
Hadir saat itu Haris Munandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Perindustrian; Akhyari Hananto, Founder & Editor in Chief Good News From Indonesia serta Iwet Ramadhan selaku Founder TIK by Iwet Ramadhan, Jakarta Creative Hub.
Menurut Haris, sebetulnya produk-produk Indonesia telah mendunia. Tidak ada yang menyadari bahwa banyak merek terkenal sebenarnya produksi atau diproduksi di Indonesia. Pertama,makanan. Salah satu produk yang telah dikenal luas di mancanegara adalah mie. Di Afrika mie bahkan menjadi salah satu makanan favorit. Produk dari Mayora ini pun telah mendapat tempat utama di pasar Hong Kong.
Selain mie, kopi Indonesia pun telah dikenal luas di dunia internasional. Akhyari Hananto memberi contoh, kopi Indonesia telah menjadi bagian dari kuliner Lembaga Antariksa Amerika Serikat (NASA).
Bagi para penyuka coklat, Siver Queen menjadi salah satu pilihan. Salah satu merek coklat terkenal ini tidak hanya dikenal luas di tanah air tetapu juga telah mendunia.
Akhyari Hananto menambahkan produk dari perusahaan farmasi Kalbe juga telah dikenal luas. Salah satu obat yang juga menjadi pilihan masyarakat internasional adalah Procold FLU.
Ketiga,tekstil, kulit dan alas kaki. Haris melanjutkan saat ini sebanyak 30 persen brand-brand dunia diproduksi di Indonesia.
Keempat,produk aneka seperti wig alis, bulu mata, mainan. Barbie diproduksi di Jawa Barat. Sementara itu salah satu permainan yang tengah digemari, Hot Wheels bahkan diproduksi sebanyak 54 juta unit per tahun.
Kelima,produk elektronik dan telematika. Beberapa produk ternama seperti Polytron dan gadget mulai dikenal luas. Bahkan Indonesia mampu memproduksi 54 juta unit gadget per tahun.
Keenam,di samping barang-barang di atas beberapa produk lain yang kadang disangka berasal dari luar negeri. Polygon, salah satu merek speda yang diproduksi di Sidoarjo dan telah dikenal luas. Selain itu GTRadial, salah satu merek ban, Essenza (produk outdoor), Magna Radio buatan Temanggung yang sangat digemari masyarakat Jepang dan Amerika Serikat, juga merek-merek seperti JCO dan LEA.
Tren menggunakan produk dalam negeri telah lama merasuk bangsa-bangsa di dunia. Amerika Serikat di antaranya pada masa kepemimpinan Barack Obama hingga Donald Trump getol mengkampanyekan penggunaan hasil karya bangsa sendiri. Selain itu India dan Korea Selatan.
"Di Korea lebih konservatif. Bila lihat temannya merokok yang diproduksi di luar negeri, mereka akan marah," Haris Munandar memberi contoh.
Gerakan seperti itu akhirnya membuat produk setempat berkembang pesat. Jepang telah memproduksi kendaraan sejak bertahun-tahun lalu. Awalnya produk mereka tidak terlalu berkualitas. Karena kecintaan masyarakat terhadap produk setempat memacu industri otomotif berkembang pesat.
Saat ini Jepang dikenal sebagai salah satu produsen otomotif kawakan dunia yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Begitu juga China. Bukan rahasia lagi saat ini Negeri Tirai Bambu telah menjadi pabriknya dunia.
Selain meningkatkan daya saing produk dalam negeri masih banyak dampak penting lainnya. Pertama, memperbesar penyerapan tenaga kerja. Menurut Haris industri menjadi salah satu sektor yang menyerap tenaga kerja terbesar. Data menunjukkan 16,57 juta orang dari total 187 juta angkatan kerja bergerak di sektor industri. Dengan membeli produk dalam negeri maka tingkat permintaan akan semakin tinggi. Dengan demikian semakin besar menyerap tenaga kerja.
Kedua,menyelamatkan kita dari krisi ekonomi global. Saat ini ada 4,59 juta Industri Kecil dan Menengah (IKM) di Indonesia. Sebanyak 10,23 juta orang bergerak di dalamnya. Dengan memberdayakan IKM maka bisa menampak terpaan krisis ekonomi global. Semakin sedikit orang yang menganggur dan kehilangan pekerjaan.
Justru berkembangnya IKM membuat banyak lapangan kerja terbuka. Banyak pekerjaan baru yang terbuka.
Begitu juga material mentah tidak ke mana-mana. Indonesia tidak lagi mengekspor barang mentah untuk kemudian mengimpor barang jadi. Tetapi barang mentah itu diproduksi di Indonesia hingga menjadi barang jadi.
Keempat,meningkatkan kualitas produk. Semakin banyak dibeli dan dipakai dengan sendirinya kualitas akan ditingkatkan. Penelitian dan pengembangan akan berkembang. Sinergi antara industri dan pendidikan akan terjalin. "Bagaimana pun industri yang tinggi dibutuhkan kualitas pendidikan yang tinggi," tegas Akhyari Hananto.
Kelima,mengikis dampak mekanisasi. Saat ini perlahan-lahan robot telah menggeser tenaga manusia. Perlu meningkatkan lapangan pekerjaan untuk menghindari dampak negatif mekanisasi.
Malah perkembangan dunia komunikasi dan digital membuka peluang besar bagi industri dalam negeri. Perkembangan e-commerce di Indonesia begitu pesat. Menurut Harianto perkembangan e-commerce di Indonesia berkembang 27 kali lipat di Asia Tenggara, jauh melebihi negara-negara lain yang hanya sebesar 11 kali. Kenyataan ini menjadi tantangan sekaligus peluang. Beberapa e-commerce Indonesia seperti Gojek, Traveloka, Tokopedia telah dikenal luas dengan pendapatan wah.
Kenyataan di atas menunjukkan bahwa sebenarnya produk-produk Indonesia tidak kalah bersaing dengan produk-produk mancanegara. Selain itu dampak positif mencintai produk dalam negeri begitu luas. Pertanyaan penting sebagaimana dilontarkan Iwet Ramadhan, mengapa kecintaan produk dalam negeri masih lemah?
Pertanyaan ini bisa dijawab dengan berbagai upaya untuk menanamkan kecintaan terhadap produk dalam negeri. Pertama,meningkatkan kolaborasi antara berbagai pihak. Iwet Ramadhan telah mengalami jatuh bangun dalam membangun usaha seperti batik tulis dan berbagai karya kreatif. Namun usahanya kurang mendapat respon positif lantaran harga jual yang tinggi.
Di sisi lain berbagai ide-ide kreatif dan karya-karya kreatif terus bermunculan. Karena itu dibutuhkan sokongan dari berbagai pihak di antaranya pemerintah untuk memberikan modal juga membuka jalan untuk mempromosikan dan memasarkannya.
"Yang perlu didorong ke depan yakni memanfaatkan tempat-tempat tertentu seperti bandara untuk memperkenalkan dan memasyarkan prduk dalam negeri," ungkap Haris.
Kedua,pemberitaan positif. Perlu memperbanyak informasi positif terkait produk-produk dalam negeri. Selama ini menurut pengamatan Akhyari Hananto media-media di Indonesia terlalu banyak dijejali informasi-informasi negatif. Saatnya memasifkan pemberitaan positif terkait produk-produk Indonesia.
Ketiga,mengubah mindset. Saatnya untuk mengubah pandangan keliru tentang produk-produk dalam negeri. Bahwa produk Indonesia kurang berkualitas dan mendapatkan merek-merek terkenal dengan bertandang ke gerai-gerai terkenal di luar negeri. Justru dengan menggunakan produk dalam negeri menunjukkan besarnya kecintaan terhadap negeri.
Keempat,berkaitan dengan poin ketiga, mengubah pandangan keliru tersebut dengan sendirinya akan membuat ekonomi dalam negeri semakin berkembang. Menurut prediksi, tahun 2030 nanti Indonesia akan menjadi satu dari lima negara sentra ekonomi dunia di samping China, Amerika Serikat, India, dan Jepang.
Tidak hanya itu, kata Haris Munandar, "Cintailah produk Indonesia dengan memilikinya."
Saatnya beralih dari produk mancanegara. Waktunya keluar dari kungkungan kebutuhan palsu yang mendewakan gengsi untuk menggunakan hasil karya anak bangsa. Toh produk Indonesia tak lagi kalah bersaing di pasar global. Hanya perlu mengubah mindset dan memperdalam rasa cinta terhadap hasil karya sendiri. Lebih baik menggunakan produk dalam negeri ketimbang demi gengsi nekat membeli produk bekas, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H