Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Perceraian Praveen/Debby dan Angga/Ricky, Berkah atau Petaka?

8 Desember 2017   23:22 Diperbarui: 9 Desember 2017   12:13 3692
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berkat atau petaka. Dua kata ini bisa saja berlebihan. Terlalu hiperbolis. Namun dalam konteks ini pemilihan kata tersebut semata-mata untuk menyambut langkah Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) "menceraikan" dua pasangan ganda yakni Praveen Jordan-Debby Susanto serta Angga Pratama-Ricky Karanda Suwardi. 

Pemisahan kedua pasangan itu menjadi pilihan krusial mengacu pada performa mereka, terutama dalam setahun terakhir. Angga dan Ricky sejak berpasangan pada November 2014 hanya mampu mendulang satu gelar yakni Singapore Open 2015. Performa pasangan yang digadang-gadang sebagai penerus kejayaan Mohammad Ahsan dan Hendra Setawan itu justru disalip Marcus Fernaldi Gideon dan Kevin Sanjaya. Saat ini posisi kedua pasangan ganda putra itu terbalik. The Minions, julukan Marcus dan Kevin memuncaki rangking BWF, sementara Angga dan Ricky terus bergerak ke arah sebaliknya.

Situasi serupa terjadi pada Praveen dan Debby. Pasangan ini sempat membanggakan Indonesia saat meraih gelar All England 2016. Ternyata gelar Korea Open 2017 menjadi yang terakhir. Setelah itu, alih-alih menjadi pelapis, apalagi mengambil peran Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir, penampilan pasangan itu justru jauh dari harapan.

Hong Kong Open 2016 menjadi satu-satunya kesempatan yang membuat asa ganda campuran Indonesia membuncah tatkala kedua pasangan itu beradu di partai final. Fajar harapan kembalinya era keemasan ganda campuran Indonesia seperti rentang 2004 hingga 2008 seakan merekah. Saat itu Indonesia memiliki dua pasangan tangguh yang saling mengisi, Nova Widianto/Liliyana Natsir dan Flandy Limpele/Vita Marissa. Ternyata asa tersebut menguap tak lama berselang. Setelah itu performa Praveen/Debby tak menentu. Owi/Butet pun harus memikul tumpuan sendirian.

Pemisahan kedua pasangan ini menjadi langkah positif sekaligus antisipatif demi masa depan sektor ganda putra dan ganda campuran Indonesia. Angga Pratama akan kembali berpasangan dengan Rian Agung Saputro, meski sejatinya performanya bersama Mohammad Ahsan terus menanjak. Ricky Karanda akan beralih ke ganda campuran bertandem dengan Debby Susanto. Sementara Praveen akan berpasangan dengan Melati Daeva Oktavianti.

Reuni Angga dan Rian diharapkan mampu mendongkrak performa mereka. Begitu juga peruntungan di ganda campuran. Lebih dari itu, rotasi di sektor ganda campuran tidak lain untuk mendapatkan pelapis baru Owi/Butet. Butet mulai dirongrong cedera karena usia sehingga tak bisa terus dipaksa dan dijadikan tumpuan.

Dalam hitungan bulan, Asian Games 2018 akan menjelang. Indonesia jelas tidak ingin kehilangan muka di event antarnegara Asia itu bila aral tiba-tiba menerjang Owi dan Butet. Meski sedikit terlambat, rotasi ini menjadi langkah antisipatif, tidak hanya untuk Asian Games semata. Lebih jauh dari itu sebagai bagian dari regenerasi. Seperti cedera, tidak ada yang bisa mengelak bila Debby tiba-tiba memilih mundur, sinyal yang sudah berkedip beberapa kali. Hafiz Faizal dan Gloria Emanuelle Widjaja tumpuan baru yang baru berpasangan sejak Oktober ini jelas tidak bisa mengambil alih bila sejumlah ketakterdugaan itu seketika mengemuka.

Angga Pratama dan Ricky Karanda/Kompas.com
Angga Pratama dan Ricky Karanda/Kompas.com
Bukan hal baru

Bila Angga kembali pada Rian, bagaimana nasib Ahsan? Pertanyaan ini tak sulit dijawab bila kita mengikuti perkembangan Kejuaraan Nasional 2017. Event yang belum lama usai itu telah mempertemukan kembali Ahsan dan Hendra Setiawan. Tak sukar bagi keduanya untuk mendapatkan kembali "chemistry" yang membuat mereka berjaya. Pasangan kawakan ini menjadi juara di ajang itu. Bisa jadi mereka akan terus bersama setidaknya hingga Piala Thomas dan Asian Games tahun depan.

Tak hanya Ahsan dan Hendra, badai reuni juga menerjang bulu tangkis internasional belakangan ini. Lee Yong Dae dan Yoo Yeon Seong asal Korea Selatan bersatu lagi. Malaysia malah mempertemukan kembali beberapa pasangan senior sekaligus. Tandem Hendra Setiawan, Tan Wee Kiong kembali berpasangan dengan Goh V Shem. Selain peraih perak Olimpiade Rio ini, sebelum itu Vivian Kah Mun Hoo/Khe Wei Woon dan Chan Peng Soon/Goh Liu Ying lebih dulu bersatu.

Kembali menandemkan beberapa pasangan sekaligus, apakah Malaysia kehabisan harapan? Proses regenerasi mereka tak berjalan? Entahlah. Yang pasti, Malaysia ingin meraih medali di Asian Games tahun depan. Selain itu reuni dan bongkar pasang pemain bukan sesuatu yang asing di jagad tepok bulu.

China menjadi negara yang paling agresif melakukan bongkar pasang pemain. Angga dan Ricky bila berada di kubu China tentu sudah lama "bercerai." Negeri Tirai Bambu itu cukup sigap dan berani mengambil tindakan bagi pemain dan pasangan dengan grafik penampilan tak meyakinkan.

Saat ini China menghadirkan sejumlah pasangan baru hasil bongkar pasang. Menariknya China berani mengkombinasikan pemain dari generasi berbeda. Di sektor ganda putra, Zhang Nan telah berpasangan dengan Liu Xuanxuan. Kombinasi senior dan junior itu berhasil melangkah hingga perempat final China Super Series Premier 2017 sebelum dihentikan Tang Chun Man/Tse Ying Suet.

Tahun lalu Zhang Nan mampu membawa Li Yunhui ke final ganda campuran China Open sebelum dikandaskan Tontowi Ahmad dan Liliyana Natsir. Tak berapa lama kemudian Zhang Nan membiarkan Li Yunhui berjalan sendiri dengan pasangan muda lainnya, Du Yue yang sempat dipasangkan dengan pemain senior lainnya, Xu Chen.

China Open tahun ini menjadi potret keberhasilan sejumlah negara melakukan bongkar pasang dan keberanian memberikan tempat kepada pemain muda. Baik Zheng Siwei dan Huang Yaqiong maupun Mathias Christiansen dan Christinna Pedersen, juara dan runner-up nomor ganda campuran adalah pasangan baru dari China dan Denmark. Zheng/Huang langsung mengawali kebersamaan dengan sangat baik setelah menjuarai Macau Grand Prix Gold pekan sebelumnya sebelum mengukir sejarah di hadapan publik sendiri.

Zheng Siwei dan Huang Yaqiong juara China Open 2017.Gambar dari bwfworldsuperseries.com
Zheng Siwei dan Huang Yaqiong juara China Open 2017.Gambar dari bwfworldsuperseries.com
Sementara Christiansen/Pedersen adalah pasangan berbeda generasi yang baru saja dibentuk. Ini terobosan Denmark yang cukup ogah melakukan bongkar pasang. Bisa jadi karena para pemain mereka mampu menjaga konsistensi dan awet sebagai pasangan. Di lain pihak menjadi langkah baru guna mengantisipasi terbentuknya jurang antargenerasi seperti yang dialami Indonesia di nomor tunggal putri.

Cristinna yang telah berusia 31 tahun dipercaya menjadi mentor bagi Mathias Christiansen yang baru berusia 23 tahun. Pengalaman Christinna diharapkan bisa mengangkat juniornya lebih cepat. Tanda-tanda positif sudah terlihat. Keduanya memang gagal mencapai klimaks. Tetapi menginjak partai final turnamen bergengsi seperti ini menjadi hasil bagus yang belum tentu bisa diukir negara-negara lain, termasuk Indonesia. Keduanya bahkan menjungkalkan juara bertahan sekaligus harapan semata wayang Indonesia di ganda campuran, Tontowi dan Liliyana di babak perempat final.

Tidak hanya China dan Denmark, Korea Selatan bahkan sudah terbiasa melakukan bongkar pasang. Tahun lalu Lee So Hee dan Chang Ye Na menjuarai China Open mengalahkan wakil tuan rumah Huang Dongping/Li Yinhui. Kali ini Lee So Hee kembali menginjak partai final China Open bersama tandem berbeda yakni Kim Hye Rin.

Pasangan ganda campuran Denmark berbeda delapan tahun, Mathias Christiansen dan Christinna Pedersen. Gambar dari bwfworldsuperseries.com
Pasangan ganda campuran Denmark berbeda delapan tahun, Mathias Christiansen dan Christinna Pedersen. Gambar dari bwfworldsuperseries.com
Lee So Hee yang berparas cantik memiliki smash keras dan cerdas dalam bermain. Pemain berusia 23 tahun ini mampu menginjak final di tiga super series terakhir mulai dari Denmark dan Prancis. Ia menjadi salah satu bibit unggul di nomor ini sekaligus segelintir pemain Korea Selatan yang kini mencuri perhatian dunia. Kemampuan Korea Selatan mencetak pemain tidak secepat China, namun Negeri Ginseng pandai memaksimalkan potensi pemain dengan main rangkap dan bongkar pasang. Pada akhirnya terlihat kekuatan merata di semua lini. Mau dipasangkan dengan siapapun tetap kelihatan setara.

Menanti racikan baru

Setelah menanti akhirnya Indonesia mengambil langkah serupa China dan beberapa negara lainnya. Selain merayakan keberanian ini, kita pun menanti sejauh mana kinerja hasil racikan baru tersebut. Masih ada waktu beberapa pekan sebelum debut pertama mereka di Malaysia Grand Prix Gold pada pertengahan Januari tahun depan.

Sepanjang Januari hingga Februari 2018 menjadi momentum pembuktian kedua pasangan itu, di samping Hafiz dan Gloria. Selain di Malaysia, mereka juga akan diuji di Indonesia dan India Open. Saat itu kita akan melihat apakah "perceraian" Praveen dan Debby serta Angga dan Ricky benar-benar membawa berkah ataukah sebaliknya. Bila bukan membawa pengaruh positf berarti kita masih harus menunda untuk mendapatkan pasangan baru yang lebih pas. Namun setidaknya PBSI telah berani mengambil sikap yang sudah biasa dilakukan China dan Korea Selatan dan ikut dalam pola pembinaan sebagaimana telah dipanen hasilnya oleh para raksasa itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun