"Selama Jakarta tidak memiliki sistem transportasi massal berbasis rel yang layak, kita akan selalu macet."Â
(Basuki Tjahaja Purnama)
Pernyataan mantan gubernur DKI Jakarta yang biasa disapa Ahok di atas setidaknya menggambarkan dua hal. Pertama, kemacetan di ibu kota sudah menjadi lumrah. Santapan yang dikonsumsi warga yang beraktivitas di Jakarta saban hari. Hal biasa mendapatkan jalanan di Jakarta, apalagi pada jam-jam sibuk, dijejali kendaraan baik roda dua maupun roda empat. Kedua, tidak ada solusi terbaik untuk mengurai kemacetan selain memiliki sistem transportasi massal berbasis rel yang layak.
Pernyataan Ahok itu menanggapi hasil survey produsen pelumas asal Inggris, Castrol yang menempatkan Jakarta sebagai kota dengan lalu lintas terburuk di dunia. Seperti dilansir dari Thejakartapost.com, Jakarta berada di urutan teratas, disusul Instanbul (Turki) dan Mexico City (Meksiko) di urutan kedua dan ketiga dari total 78 kota dan wilayah di seluruh dunia, termasuk Asia, Australia, Eropa, Amerika Utara dan Amerika Selatan. India dan Vietnam, entah mengapa, tidak masuk dalam hitungan.
Castrol menempatkan Jakarta pada urutan teratas berdasarkan Stop-Start Index yang dihitung berdasarkan data yang dibagikan secara anonim oleh jutaan pengguna perangkat navigasi TomTom di seluruh dunia untuk mengukur rerata pemberhentian dan perjalanan per kilometer. Selanjutnya angka tersebut dikalikan dengan jarak tempuh rata-rata per tahun. Jakarta menempati posisi teratas dengan jumlah pemberhentian dan perjalanan (stop-start) tertinggi rata-rata 33.240 per sopir per tahun. Sementara Istanbul berada pada angka 32.520 dan Mexico City 30.840 per tahun.
Mengacu pada pengalaman sehari-hari hasil tersebut tentu tak mengejutkan. Pergerakan lalu lintas bak siput mudah ditemukan di mana-mana. Di satu pihak, pertumbuhan kendaraan pribadi di Jakarta tak pernah mengenal kata akhir. Sayang pertambahan jumlah kendaraan tidak dibarengi pertambahan ruas jalan.
Data Polda Metro Jaya mengkonfirmasi hal ini. Tahun 2014 ada sekitar 17,5 juta kendaraan bermotor yang melintas ruas-ruas jalan di ibu kota. Jumlah tersebut membengkak dari 16 juta di tahun sebelumnya. Sementara rasio jalan di Jakarta hanya meningkat 0,01 persen setiap tahun.
Di pihak lain, perilaku berkendara semakin memperparah keadaan. Angkutan umum sesuka hati melajukan dan memberhentikan kendaraan. Tak peduli situasi yang sedang tak karuan, minibus atau mikrolet tanpa beban berhenti di tengah jalan untuk mengangkut atau menurunkan penumpang. Belum lagi pengguna kendaraan lainnya yang berperilaku sesuka hati.
Alhasil melintas di jalanan ibu kota seperti melakoni "via dolorosa", melewati jalan panjang penuh penderitaan. Tidak ada pilihan lain bagi warga yang hendak beraktivitas selain mengakrabi situasi tersebut.
Bergerak dari Jakarta Utara misalnya, untuk menjangkau wilayah di Jakarta Selatan, dibutuhkan waktu lebih dari satu jam dengan menggunakan sepeda motor. Durasi waktu akan bertambah panjang bila menggunakan kendaraan roda empat. Seseorang dari Duren Sawit di Jakarta Timur bila ingin menjangkau perkantoran di bilangan Sudirman, Jakarta Selatan niscaya menghabiskan waktu lebih dari dua jam. Â Tak peduli menggunakan kendaraan pribadi atau kendaraan umum situasi yang dihadapi di Jalanan tak jauh berbeda.
Mengapa "ride-sharing"?
Pernyataan Ahok di awal adalah salah satu solusi yang masih menjadi harapan. Transportasi massal berbasis rel masih menjadi cita-cita. Penggenapannya masih menunggu waktu yang tidak singkat. Pembangunan moda transportasi massal berbasis rel yang sedang berjalan setidaknya membutuhkan waktu beberapa tahun untuk dinikmati warga ibu kota. Itu pun belum menjamin akan menyelesaikan persoalan kemacetan secara paripurna.
Apakah warga akan serentak bergerak menggunakan moda transportasi umum? Apakah pada waktu bersamaan pertumbuhan kendaraan pribadi akan bergerak ke titik nol? Berapa lama harus menanti jalanan ibu kota kembali sepi seperti saat Lebaran?
It's better to light a candle than curse the darkness. Lebih baik menyalakan sebatang lilin daripadamengutuk kegelapan. Kebijaksanaan ini menginspirasi untuk mendapatkan solusi di tengah keruwetan lalulintas ibu kota. Sambil menanti cita-cita Ahok dan warga ibu kota tergenapi kita membutuhkan jalan keluar untuk sedikit mengurai keruwetan sini-kini.
"Ride-sharing" alias "nebeng" bisa menjadi pilihan. "Nebeng" dengan teman sekantor, tetangga atau kenalan yang searah akan membuat waktu menjadi lebih efisien, hemat bahan bakar, dan mengurangi kesulitan mencari lahan parkir. Â Namun patut diakui tidak mudah untuk mengelola dan mengendalikan konsep seperti itu tanpa bantuan teknologi. Adalah menambah beban dan pekerjaan bila setiap hari harus menghubungi dan mencari tahu siapa teman, kolega atau tetangga yang bisa dimintakan tumpangan, bukan?
Prinsip dasar itu kemudian dikembangkan startup seperti Uber. Konsep "ride-sharing" yang mulai muncul dan berkembang pesat sejak 2015 seperti berkah bagi warga ibu kota dan kota-kota besar lainnya untuk mendapatkan akses transportasi yang mudah.
Dilengkapi teknologi "real time", "ride-sharing" entah menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan empat langsung mendapatkan tempat tersendiri. Berangkat dari keberhasilan bisnis serupa di sejumlah negara, kehadiran konsep tersebut di tanah air sedikit banyak mempermudah aktivitas masyarakat.
Kehadiran startup seperti Uber yang mengembangkan konsep tersebut lantas menggoda pengguna kendaraan pribadi untuk meninggalkan tunggangannya di rumah. Berbagi kendaraan untuk mengurangi keruwetan di jalanan ibu kota di satu sisi, serta mendapatkan layanan yang terjangkau di sisi lain.
Tentu tidak ada orang yang tidak  ingin duduk manis tanpa harus mengalami kelelahan menyetir dalam waktu lama. Alih-alih berkendara selama berjam-jam menembus kemacetan yang kian menjadi-jadi orang akan lebih memilih menggunakan layanan Uber untuk membawanya ke tempat tujuan.
Selain itu tidak sukar mendapatkan pengendara dan memilih kendaraan yang diinginkan karena teknologi yang tersedia memungkinkan pengguna untuk memilih yang terbaik baginya. Dengan teknologi "real time" lebih mudah bagi pengguna untuk menghitung perjalanan dan memantau perjalanan melalui perangkat Global Positioning System (GPS).
Di samping itu tak kalah penting "ride-sharing" sedikit banyak membantu untuk menghubungkan pengguna dengan pusat layanan transportasi umum. Dari dan ke halte terdekat bisa dijangkau dengan transportasi tersebut.
UberPool
Ketika membuka aplikasi Uber akan ditemukan tiga layanan yang bisa dipilih yakni uberMotor, uberX dan uberBlack. Menariknya uerX memberikan dua pilihan yakni uberX dan uberPool. UberPool adalah pengejawantahan layanan "ride-sharing" dalam arti sesungguhnya.
Di satu sisi akan mengurangi jumlah mobil karena sejumlah pengguna yang searah cukup menggunakan mobil yang sama. Sebagai contoh bila satu grup terdiri dari dua orang maka bila ada dua grup pesanan maka ada empat orang yang bisa diangkut dengan satu mobil. Melalui uberPool lebih banyak orang yang diangkut dengan jumlah mobil yang lebih sedikit.
Di sisi lain biaya perjalanan menjadi lebih terjangkau. Harga yang ditentukan sejak awal tidak akan mengalami perubahan, entah ada atau tidak ada yang "nebeng" selama perjalanan. Bila menggunakan pilihan yang lain ada kemungkinan harga membengkak apalagi bila menghadapi kemacetan.
Tidak sampai di situ. Memilih uberPool membuat pengguna lebih disiplin, terutama dalam hal waktu. Mengingat ada penumpang lain yang menunggu maka waktu tunggu di titik penjemputan tidak akan berlama-lama.
Tidak sukar mencoba dan memilih UberPool. Setelah memilih uberX akan muncul pilihan uberPool. Selanjutnya memilih lokasi penjemputan dan tujuan untuk mendapatkan informasi harga. Lantas pilih metode pembayaran dan melakukan pemanggilan. Dalam perjalanan ada kemungkinan dipasangkan dengan pengguna lain yang melakukan perjalanan dengan rute searah. Bisa juga penumpang lain sudah berada bersama sejak awal perjalanan.
Memang penjemputan pengguna lain membuat waktu perjalanan bertambah. Namun tidak perlu risau karena hampir dipastikan penumpang lain berada dalam jalur yang sama. Justru kehadiran penumpang lain itu membuat biaya perjalanan lebih hemat. Duduk tenang dan menikmati perjalanan, entah berhasil terpasangkan atau tidak dengan pengguna lain, dipastikan akan tiba di tempat tujuan dan membayar lebih hemat.
Meski demikian "ride-sharing" masih perlu dikelola secara sinergis dengan moda transportasi lainnya. Tidak mudah memang mengintegrasikan segala moda transportasi menjadi satu kesatuan. Gesekan yang terjadi dengan pengelola moda transportasi yang kerap terdengar adalah satu contoh.
Uber, pemerintah dan pengelola moda transportasi lainnya perlu duduk bersama untuk membangun satu ekosistem transportasi yang tidak hanya memberikan andil untuk mengurai kemacetan, tetapi juga menghadirkan layanan yang nyaman, aman, terjangkau, dan jauh dari kisruh.
"Ride-sharing" adalah bagian dari solusi untuk warga ibu kota dan kota-kota besar lainnya. Tinggal saja bagaimana konsep baik itu dikelola secara baik pula. Jangan sampai warga Jakarta yang telah lelah dengan kemacetan semakin disiksa dengan pengelolaan transportasi yang amburadul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H