Yang patut dicatat bank syariah dalam menjalankan kegiatannya tidak terbatas pada kaum muslim semata, tetapi juga terbuka untuk non-Muslim. Siapa saja bisa menabung, meminta pembiayaan, dan/atau menggunakan jasa bank syariah, sebagaimana pada bank-bank konvensional umumnya.
Sungguh ironis bila anggapan sesat ini masih dipelihara. Di satu pihak saat ini bank-bank syariah tumbuh pesat di seantero dunia, tidak hanya di negara Islam atau mayoritas Islam seperti Singapura, Inggris hingga Amerika Serikat. Bahkan beberapa negara sekuler itu berniat menjadi pusat keuangan syariah di dunia. Di sisi lain, di negara-negara mayoritas muslim seerti Malaysia misalnya, nasabah non muslim berkembang pesat (mencapai 15 persen).
Fakta lain bisa dilihat pada kepemilikan bank-bank syariah. Tidak semata-mata dimiliki oleh masyarakat Muslim Indonesia dan sejumlah investor Muslim dari mancanegara, juga sahamnya dimiliki pula oleh pemerintah, swasta, dan pemerintah asing dengan beragam latar belakang religius.
Memanfaatkan peluang
Fakta tak terbantahkan sebagai negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam belum sepenuhnya menjadi peluang untuk mengembangkan perbankan syariah. Dari data yang dipaparkan Aprilia Ratna, dibanding negara-negara lain, perkembangan industri keuangan syariah di Indonesia masih tertinggal. Dalam “top 10 Largest Islamic Finance Economies 2016”, Indonesia menempati peringkat ke-9, atau satu tingkat di atas Bangladesh.
Dengan total aset 53,9 miliar dollar (setara kepunyaan Turki), perolehan Indonesia lebih kecil dari Bahrain (posisi 7), Qatar (posisi 6) dan Kuwait (posisi 5). Bila dibandingkan dengan dua teratas, maka total aset Indonesia delapan kali lipat lebih sedikit. Malaysia yang berada di urutan tertas memiliki total aset 415,4 miliar dollar, disusul Saudi Arabia (413,0), Iran (345,5) dan Uni Emirat Arab (161,4).
Hal ini jelas menjadi tantangan tersendiri bagi pebankan syariah di Indonesia. Sejauh ini ada sejumlah sebab yang mengemuka, antara lain keterbatasan modal, produk yang tidak variatif dan pelayanan yang belum sesuai harapan, kurangnya koordinasi antara pemerintah dan otoritas pengembangan perbankan syariah, keterbatasan Sumber Daya Manusia dan teknologi, hingga pemahaman dan kesadaran masyarakat yang masih rendah.
Sejumlah tantangan tersebut dengan sendirinya menjadi kebalikan dari solusi yang patut diambil. Hal-hal terkait regulasi dan koordinasi manajerial sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah dan bagian pengembangan perbankan syariah. Begitu juga kualitas layanan, keragaman produk, dan berbagai sumber daya yang bisa diupayakan setelah permodalan mencukupi.
Sementara itu poin penting lain yang patut digarisbawahi adalah terkait literasi keuangan. Patut diakui soal ini masih menjadi pekerjaan rumah yang belum terselesaikan. Dari hasil survey yang diselenggarakan oleh Otoritas Jasa Keuangan tahun 2013, tingkat pemahaman dan kesadaran masyarakat Indonesia tentang perbankan masih belum memuaskan (22 persen).
Karena itu perlu dicari strategi yang pas untuk meningkatkan literasi keuangan, sambil meningkatkan positioningperbankan syariah di Indonesia. Dengan market shareyang belum menggembirakan terbukti bahwa pendekatan demografis (85 persen penduduk muslim) tidak bisa dijadikan sebagai senjata utama. Tidak otomatis penduduk muslim akan bergabung dengan bank syariah. Karena itu diperlukan strategi komunikasi yang berbeda.
Sejauh ini sudah digalakan kampanye Aku Cinta Keuangan Syariah (ACKS) dengan menonjolkan kesamaan bank syariah dengan bank konvensional (sama bagusnya, sama modernya, sama lengkapnya). Namun usaha tidak berhenti di situ.