Itulah cara Monako menjaga eksistensi. La Turbie dan kejelian mencari bakat muda memungkinkan Monako juga memanen kejayaan dari klub bernama asli Association Sportive de Monaco Football Club. Tidak hanya turisme yang membuat negara mungil ini diperhitungkan.
Apa yang dilakukan Monako tentu menjadi sebentuk keganjilan di hadapan kultur sepak bola yang mendewakan uang sebagai cara instan untuk meraih prestasi dan reputasi. Dalam diam, AS Monako terus menjaga tradisi, tidak seperti klub-klub yang berlabel top tetapi tidak mempunyai akar yang kuat.
Begitu juga Monako terlihat seperti anomali pada wajah negara-negara besar di dunia yang memiliki penduduk berlipat-lipat banyaknya tetapi tidak memiliki kebanggaan dari sebuah klub sepak bola. Indonesia misalnya, negeri dengan penduduk mencapai 250 juta orang, tetapi hanya bisa membanggakan sejarah masa lalu dan bertahan dengan merawat sejarah beberapa klub legendaris yang masih bertahan hingga kini.
Punya banyak penduduk tentu menjadi berkah, tetapi tidak mudah membangun koalisi bila masing-masing terpisah oleh laut dan darat selama beratus kilometer. Situasi yang persis dialami Indonesia ini butuh kerja ekstra untuk memanen prestasi.
Namun cara yang telah ditunjukan AS Monako bisa ditiru. Memperkut basis di tingkat lokal, memaksimalkan setiap klub dan akademi lokal adalah salah satu cara yang paling mungkin. Bila tidak terlalu peduli dengan kerja dari tingkat terbawah dan memulai secara “bottom-up” maka sulit mengharapkan datangnya prestasi. Monako sudah memberi bukti, tidak ada prestasi yang datang dari atas, apalagi secara tiba-tiba jatuh dari langit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H