Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Maukah Kau Jadi "Ibu"? (Tentang Tangsel di Selembar Batik)

9 April 2017   20:08 Diperbarui: 10 April 2017   06:00 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kepala Dinas Koperasi dan UKM Kota Tangsel, Firdaus (bersafari) bersama Ibu Nelty, Ketua Ketapels dan beberapa kompasianer. Gambar: Dzulfikar Alala

Samsudin yang mengaku mahir dalam pewarnaan terlihat cekatan mengarahkan peserta saat memberi warna pada motif yang dibuat. Malam atau lilin hanya berfungsi sebagai penutup bagian kain agar tidak terwarnai dalam pencelupan. Warna putih akan muncul dari goresan malam itu.

Setelah kain-kain tadi diberi warna selanjutnya dicelup untuk mendapatkan warna tertentu. Pada bagian ini, menurut Bu Nelty dan diamini oleh Samsudin, diperlukan keterampilan untuk mencampur pewarna. Ketepatan warna, yang berasal dari pewarna sintetis dengan bahan kimia, yang dihasilkan dipengaruhi oleh kejelian dalam pengukuran. Sepertinya pengalamanlah yang berbicara paling keras dalam situasi seperti ini.

Terlepas dari proses teknisitu, Bu Nelty mengaku bahwa membatik tidak sekadar memproduksi kain dengan motif tertentu. “Dalam membatik terutama pewarnaan tidak banyak omong. Motorik bergerak dan imajinasi juga jalan,”ungkapnya.

Selain dibentuk dari kesabaran dan ketelitian, motif yang dihasilkan adalah ekpresi jiwa sang pembatik. “Tidak sembaran buat batik. Harus ada pola kalau tidak nanti seperti Jaka Sembung.Motif itu harus geometris dan simetris,”tandasnya disambut derai tawa peserta seperti sedang membayang motif kreasi sendiri.

Ketua Ketapels, Pak Rifki bersama putrinya memamerkan hasil membatik. Tentu setelah melewati beberapa proses mulai dari penggambaran motif hingga pewarnaan/ Foto: Dzulfikar Alala
Ketua Ketapels, Pak Rifki bersama putrinya memamerkan hasil membatik. Tentu setelah melewati beberapa proses mulai dari penggambaran motif hingga pewarnaan/ Foto: Dzulfikar Alala
Danamon bisa

Ibu Nelty mulai menekuni profesi membatik sejak 2004. Mulanya secara tidak langsung saat mencarikan souvenir bagi sang suami yang bekerja di perusahaan asing. “Saat itu saya beli banyak dan bertanya mengapa tidak membuat sendiri saja. Batik adalah warisan bangsa mengapa tidak lakukan sesuatu,”akunya.

Pertanyaan itu kemudian diwujudkan dalam hari-hari perjuangannya. Secara mandiri ia mengembangkan usahanya hingga mampu merambah pasar luar negeri. Saat pertama kali mengikuti pameran di Tokyo, Jepang, Ibu Nelty terpaksa meminjam dari bank sebesar Rp100 juta. Ternyata berbuah hasil luar biasa.

Sudah tujuh kali Nelty menyambangi Negeri Matahari Terbit. Selain itu sembilan kali ke China, juga pernah ke Canberra dan Melbourne di Australia dan Bremen, Jerman.  “Batik tangsel ada di Bremen, Tangsel menjadi pioner di sana,”ungkapnya disambut tepukan tangan peserta.

Meski sudah melanglang buana hingga ke mancanegara Bu Nelty tetap mengalami tantangan. Salah satunya adalah membanjirnya produk batik dari luar negeri dengan harga yang murah. Seperti disentil Rushan Novaly tentang menjamurnya batik impor dari China di salah satu pasar di Jakarta, Nelty tak bisa menampiknya. Meski begitu ia menegaskan bahwa produk-produk tersebut bukan batik dalam arti sesungguhnya.

“Itu tekstil motif batik,”tegasnya.

Situasi ini mendatangkan konsekuensi terkait permintaan pasar terhadap batik etnik Tangsel. Nelty mengeluhkan modal yang diperlukan untuk memproduksi batik dengan kualitas terjamin tetapi harga lebih rendah.

“Butuh modal usaha secara khusus untuk produksi membeli kain yang harganya terus naik. Setidaknya kami harus punya modal tiga kali lipat yakni untuk produksi, uang tagihan dan gaji karyawan. Harga bahan terus naik tetapi pembeli pengen murah,”urainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun