Setelah wasit meniup peluit panjang beberapa pemain Argentina langsung melempar diri ke rumput Estadio Hernando Siles, La Paz. Mereka kecewa, tentu saja. Kepada Messi? Entahlah.
Posisi La Albiceleste yang berada sementara di peringkat lima dengan 22 poin bisa saja berubah. Peluang naik terbuka karena hanya berjarak satu poin dari Chile di peringkat empat dan Uruguay di tempat ketiga dengan poin yang sama. Begitu juga mengakuisisi posisi Kolombia yang hanya unggul dua poin. Brasil yang sudah pasti lolos susah dikejar dengan keunggulan 11 poin.
Seperti jarak tipis dengan rival di atasnya begitu juga para pesaing di belakang Argentina. Tim putih dan biru langit itu hanya berselisih dua poin dari Ekuador dan empat poin lebih banyak dari Peru dan Paraguai.
Empat laga tersisa adalah saat-saat paling menegangkan bagi rakyat Argentina yang haus gelar bergengsi. Apalagi bagi Messi yang seakan terkutut berseragam tim nasional, situasi yang berbanding terbalik di Catalonia.
Messi yang dibaptis sebagai titisan Diego Maradona, sang pemilik “gol tangan Tuhan” itu hanya akan duduk manis sambil menanti rekan-rekannya beradu dengan Uruguay, Venezuela, dan Peru. Seandainya hasil minor diperoleh di tiga laga itu, maka kembalinya Messi pada 10 Oktober nanti di laga pamungkas kontra Ekuador tidak lagi berarti.
Apakah laga-laga itu bakal menggariskan sejarah kebangkitan Argentina tanpa Messi atau Argentina entah bersama atau tanpa Messi telah digariskan riwayatnya dengan tinta hitam? Ah, seandainya pria 29 tahun itu mampu menjaga sikap dan tutur katanya mungkin tulisan saya tidak seharu biru ini. Mestinya tutur kata wajib dijaga bila tidak ingin jatuh dalam sesal dan petaka.
Sebelum memulai arak-arakan di jalan penderitaan bersama Argentina ada baiknya kita berterima kasih pada Messi karena telah mengingatkan kita: mulutmu harimaumu!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H