Keyakinan Yihan mencuat dari kemampuan para penerusnya yang terlihat dari prestasi yang telah ditorehkan. Menurut wanita berparas cantik ini, para juniornya itu memiliki berkemampuan lebih baik dibanding generasinya di usia seperti mereka.
Wanita yang konon pernah merasakan sengatan nyamuk Jakarta itu meminta dunia bersabar untuk melihat para pemain itu mengambil tempat yang pernah ditinggalkan generasinya. “Beri mereka waktu dan merekaakan segera berada di antara para pemain terbaik dunia.”
Saat asyik mengurai perjuangan bulu tangkis China kembali ke panggung dunia mencuat pertanyaan, bagaimana bulu tangkis Indonesia? Bukankah sekarang saat yang tepat untuk berpacu merebut podium kejayaan?
Saat kesempatan itu datang, persoalan sesungguhnya justru mengisi ruang harapan tersebut. Perbedaan antara kita dan mereka jelas menyata. Saat China kehilangan pemain karena cedera atau pensiun, mereka hanya membutuhkan sedikit waktu untuk kembali berjaya. Bagi China kehilangan gelar atau rangking dunia hanya persoalan waktu yang akan segera diatasi oleh pemain lainnya.
Sampai di sini konklusi cukup jelas: regenerasi bulu tangkis China berjalan baik. Rantai prestasi tetap bisa terjaga meski kadang sedikit renggang karena kemampuan mereka menjaga pasokan pemain yang mengisi setiap titik usia atau jenjang.
Tunggal putri Indonesia persis bertolak belakang dengan China. Setelah Bellaetrix Manuputty harus naik meja operasi yang membuatnya kemudian memilih gantung raket, lantas disusul Linda Wenifanetri yang tiba-tiba mengambil keputusan pensiun setelah hasil buruk di Olimpiade Rio, seketika tercipta jurang antargenerasi yang lebar di sektor tunggal putri. Bella dan Linda meninggalkan para pemain muda yang belum disiapkan secara baik, untuk mengatakan dipaksakan mengambil tempat dan peran para pemain senior.
Saat ini para pemain seperti Fitriani Fitriani, Hanna Ramadini, Dinar Dyah Ayustine dan Gregoria Mariska harus melewati gemblengan tanpa para senior yang bisa dijadikan tempat belajar dan sandaran berbagi. Mereka ibaratnya buah yang dipaksa agar lekas matang. Sulit membayangkan besarnya tekanan dan beban yang harus mereka pikul di usia seperti itu. Meski prestasi tidak mengenal usia tetapi konteks bulu tangkis Indonesia tidak bisa tidak menempatkan mereka dalam situasi sulit, sama sulitnya seperti menyambung kembali rantai regenerasi yang sedang terputus. Kini mereka sedang mengejar ketertinggalan dari negara-negara lain dari luar lingkaran 27 besar dunia.
Meski semangat regenerasi digaungkan lekat-lekat terhadap sektor putri yang mandek prestasi selama bertahun-tahun lamanya tetap saja tidak gampang mewujudkannya, jika tidak ingin dikatakan tidak disiapkan secara baik. Putusnya rantai regenerasi yang dialami saat ini membawa kita pada kenangan beberapa tahun lalu saat Mia Audina mengambil keputusan mengikuti suaminya ke Belanda. Kita sepertinya alpa atau terlalu berat belajar dari sejarah masa lalu, juga contoh baik dari negara-negara tetangga.
Tidak adil memang menyodorkan masalah ini secara utuh ke laci persoalan PBSI karena bisa jadi bulu tangkis Indonesia memang sedang kekurangan bibit pemain wanita. Dalam setiap kesempatan audisi prosentase atlet wanita selalu kalah jauh dari atlet pria. Entah mengapa bulu tangkis tak lagi menarik bagi para remaja putri atau orang tua padahal saat ini jaminan hidup-yang kerap dikeluhkan sebelumnya-sudah lebih menjanjikan dengan sistem sponsor dan apresiasi yang jauh lebih baik.
Namun menyebut minimnya bibit sebagai satu-satunya alasan, apalagi sebagai sebab utama, terlalu simpilstis atau menyederhanakan persoalan. Malah mengantar kita pada ironi bahwa dari rahim sebuah bangsa besar yang dihidupkan oleh darah dan sejarah bulu tangkis sulit sekali melahirkan bibit-bibit pebulutangkis. Padahal anak-anak yang sudah dilahirkan dengan mayoritas berusia muda dari total sekitar 240-an juta jiwa itu lebih dari cukup untuk mendapatkan para pemain potensial.