Padahal, seperti disebut sebelumnya, mereka itu masih muda dan jalan mereka masih panjang, sangat panjang malah. Sukses sesungguhnya adalah saat mereka telah menjadi matang dan mapan. Perayaan kemenangan yang terlalu berlebihan akhirnya menjebak kita sendiri. Terlalu terbawa kemenangan sampai-sampai melalaikan target lainnya yang lebih tinggi.
Setelah menjadi juara Piala AFF U-19 2013, 12 bulan kemudian Evan Dimas dan kolega harus menghadapi Piala AFC U-19. Kemenangan heroik di Piala AFF membuncahkan optimisme bahwa para pemain muda Indonesia bisa mengatasi tantangan di level lebih tinggi. Indonesia memang mampu melewati hadangan di babak kualifikasi. Laos digasak tanpa ampun empat gol tanpa balas di Gelora Bung Karno, Jakarta. Begitu juga tim kuat Korea Selatan tak berkutik di tempat yang sama beberapa waktu kemudian. Indonesia pun berangkat ke Myanmar untuk mengikuti putaran final dengan modal sembilan gol. Fantastis!
Ujian itu akhirnya datang. Indonesia tergabung di grup B yang dihuni tiga tim kuat: Uzbekistan, Uni Emirat Arab dan Australia. Laga pertama kontra Uzbekistan terjadi pada 19 Oktober 2014. Pertandingan berlangsung sore hari di Yangoon. Praktis tidak ada perbedaan waktu signifikan dengan tiga zona waktu di Indonesia sehingga cukup ideal bagi penonton di tanah air.
Oh ya sehari sebelumnya film fiksi tentang kejayaan tim ini dirilis. Euforia pun semakin meluap-luap. Tetapi apa yang terjadi di Myanmar kemudian? Alih-alih lolos ke Piala Dunia U-20, tim Indonesia tak bisa berbuat banyak di fase grup. Tiga negara itu ternyata masih terlalu kuat bagi Indonesia. Nama besar Indonesia ternyata masih sebatas Asia Tenggara, dan kejayaan itu hanya bisa ditegakkan di Sidoarjo, Jawa Timur, tanah air sendiri.
Cerita tentang timnas U-19 itu perlahan-lahan menjadi kisah masa lalu. Hilang perlahan seiring nasib sejumlah pemainnya yang tak tentu keberadaannya. Kini kita hanya bisa melihat jejak kecilnya dalam diri sejumlah pemain yang masih bertahan, plus Indra Sjafri yang kembali mengemban tugas yang sama, untuk kembali membentuk tim muda impian.
Seperti Milla dan timnas U-22, begitu juga Indra Sjafri dan timnas U-19 yang akan dibentuk nanti. Antara dua jenjang ini terhubung seutas benang harapan yang sama. Harapan itu tidak lepas dari “kekeliruan” masa silam sebagaimana disinggung di bagian sebelumnya.
Satu lagi yang patut dicatat sehingga perlu dipertimbangkan masak-masak bila ingin mengulanginya lagi. Sebelum terbang ke Myanmar untuk mengikuti putaran final Piala AFC U-19, tim muda Indonesia yang sedang dimabuk kemenangan itu melakukan sesuatu yang tidak biasa. Mereka melakukan anjangsana ke sejumlah pelosok negeri dengan jadwal pertandingan yang padat. Bahkan tak kalah padat dari jadwal tour sebuah band legendaris yang telah lama dinanti kehadirannya.
Tidak masalah dengan uji coba demi uji coba. Tetapi ke mana mereka pergi, dengan tim apa mereka bertanding, dan seperti apa jadwal pertandingan itu jadi soal. Melakukan perjalanan dari ujung ke ujung menggunakan berbagai moda transportasi yang tidak sedikit menghabiskan waktu berjam-jam. Mulai dari Jawa Tengah, berlanjut ke Jawa Timur, selanjutnya seminggu di Kalimantan Timur, lantas terbang ke Timur Tengah.
Kemudian perjalanan dilanjutkan lagi ke Sumatera untuk melakoni lima pertandingan dalam tiga pekan, lantas kembali ke Jawa untuk dua pertandingan. Setelah libur dua minggu, tour berlanjut lagi. Tak tanggung-tanggung langsung terbang ke timur Nusantara, Pulau Ternate, sebelum ke Spanyol untuk turnamen L’Alcudia International Football Tournament menghadapi Mauritania, Argentina, dan tim muda Barcelona.
Pengalaman dan tentu saja rasa lelah datang bersama. Tetapi kita tidak bisa berbuat banyak mendapatkan kenyataan bahwa para pemain hanya punya waktu istirahat sedikit sebelum melakoni pertandingan sesungguhnya. Tak heran hasilnya demikian.
Mengapa kita tidak bisa lebih selektif memilih laga uji coba? Mengapa harus membuang waktu menghadapi tim-tim lokal yang tidak mempunyai nilai lebih? Mengapa tidak terus berorientasi global, menatap pertandingan dengan tim-tim yang lebih kuat ketimbang harus kembali ke belakang dan turun ke pertandingan-pertandingan remeh temeh? Semua pertanyaan itu berakhir dengan hasil yang tidak sesuai dengan harapan dan meninggalkan segala euforia, puja-puji, dan kultus bak selebriti sebagai masa lalu.