Bulu tangkis menjadi semakin populer. Kenyataan ini mengemuka seiring meningkatnya animo pebulutangkis di panggung internasional. Indonesia, China, Malaysia, Denmark, Korea Selatan dan Jepang bukan lagi penguasa sepenuhnya di jagad bulu tangkis dunia.
Negara-negara yang sebelumnya tidak diperhitungkan, bahkan tidak diperkirakan, kini turut meramaikan, hingga mampu bersaing dengan negara-negara dengan tradisi bulu tangkis yang kuat. Sebut saja Spanyol, Rusia, Bulgaria, dan masih banyak lagi. Negara-negara tersebut sudah mengutus para pemainnya ke gelanggang internasional.
Spanyol memiliki Carolina Marin, pebulutangkis jelita yang pernah berada di puncak rangking dunia. Vladimir Ivanov/Ivan Sozonov membuat dunia memalingkan perhatian ke Rusia setelah menjuarai All England 2016. Tidak ada yang terlalu memedulikan Taiwan, bekas jajahan Inggris itu, dalam urusan bulu tangkis sebelum Tai Tzu Ying merangsek hingga ke puncak rangking dunia saat ini.
Bila kita memperhatikan daftar pemain di kejuaraan level menengah ke bawah maka berderet nama-nama baru dari banyak negara, bahkan beberapa dari antaranya bisa disebut “antah berantah” dalam kamus bulu tangkis dunia. Dunia lebih mengenal Israel sebagai “bangsa pilihan” sebagaimana termaktub dalam Kitab Suci yang sedikit banyak menyata dalam keunggulan teknologi dan niaga, tetapi tidak untuk olahraga tepok bulu. Kini kita mendapatkan kenyataan bahwa bulu tangkis semakin mendunia, meski pada titik tertentu meninggalkan rasa cemas pada Indonesia yang harus bekerja ekstra keras untuk bisa berjaya seperti dulu kala.
Seakan menangkup gelombang perubahan tersebut, Badminton World Federation (BWF) pun mengambil kebijakan baru dengan mengubah struktur penyelenggaraan turnamen internasional periode 2018-2021. Keputusan itu diumumkan setelah pertemuan bersama Council Member, Minggu (19/3) di Hilton Garden, Kuala Lumpur, Malaysia.
Selama ini kita mengenal jenjang turnamen mulai dari Olimpiade dan Kejuaraan Dunia sebagai yang tertinggi hingga kelas International Challenge. Kini federasi bulu tangkis dunia itu menambah satu lagi level turnamen yang menduduki kelas dua setelah Olimpiade, Kejuaraan Dunia dan Super Series Finals. Seiring bertambahnya level turnamen ini maka terjadi pula perubahan di level-level di bawahnya.
Setelah kelas Olimpiade, Kejuaraan Dunia dan Super Series Finals, ada pula turnamen level dua yang hanya diisi oleh tiga negara. Selama ini kita mengenal level tersebut sebagai level super series premier. Namun kini entah apa namanya, level dua itu hanya diisi oleh tiga negara yang dianggap pantas karena sejarah, kesuksesan dan sponsor besar.
Malaysia dan Denmark , dua dari lima negara yang selama ini menjadi tuan rumah kejuaraan super series premier bersama Indonesia, China dan Inggris (All England), harus rela berada di level tiga bersama China, Jepang dan Prancis.
Sementara Indonesia, Inggris dan China dianggap lebih pantas menyelenggarakan tuarnamen level dua dengan salah satu persyaratan utama yakni prize money minimal 1 juta USD.
Menurut keterangan Bambang Roedyanto, Kasubid Hubungan Internasional PP PBSI kepada badmintonindonesia.org, keterpilihan Indonesia didasarkan pada kesuksesan penyelenggaraan Indonesia Open beberapa tahun belakangan. Tak dipungkiri ajang yang disponsori oleh BCA itu menjadi salah satu yang terbaik baik dari segi hadiah, pelayanan dan akomodasi, hingga kemasan yang berhasil memadukan unsur olahraga dan hiburan. Tak pelak turnamen tersebut pun menjadi barometer bagi negara-negara lain.
Lebih lanjut Bambang mengatakan,“Kita dinilai kreatif dalam mengemas BCA Indonesia Open, hospitality-nya juga bagus, antusiasme penontonnya luar biasa. Ditambah lagi pertimbangan ada renovasi Istora, semakin menambah nilai kejuaraan ini untuk kedepannya. Rencananya total hadiah kejuaraan senilai 1,25 juta Dollar AS..