Saat AS Monako dan Manchester City berhadap-hadapan untuk kedua kalinya di babak 16 besar Liga Champions, Kamis (16/3) dini hari lalu, entah mengapa saya lebih menjagokan City. Tak heran saat mendapatkan hasil bahwa City menyerah 1-3 di Prancis, saya jelas kecewa. Hasil tersebut diakumulasi dengan kemenangan 5-3 di pertemuan pertama di Etihad Stadium tidak cukul meloloskan Manchester Biru ke perempat final.
Kedua tim sama-sama menggelontorkan enam gol ke gawang lawan, tetapi City kalah dalam produktivitas gol tandang. Monako berhasil mencetak tiga gol di kandang The Citizen, sementara City hanya mampu mencuri satu gol saat balik mengunjungi Monako.
Meski kecewa, walau sejatinya saya bukanlah pendukung setia City namun hanya terbawa rasa solidaritas dengan sepak bola Inggris yang mana di sana tim pujaannku berada, saya pun bisa menerima hasil tersebut dengan alasan lebih rasional. Monako bermain lebih baik, dengan keseimbangan antarlini yang terjaga. Sementara City terlampau percaya diri bermain menyerang karena sepertinya telah diindoktrinasi oleh gaya bermain dan nama besar sang manajer, Pep Guardiola, yang jelas-jelas mengangkangi kerapuhan di lini belakang.
Kebesaran Guardiola sebagai pelatih sukses dalam sejarah Barcelona tidak serta merta membuatnya dengan mudah menorehkan sejarah yang sama di klub berbeda dengan serba perbedaan fundamental baik pada tataran klub maupun kultur sepak bola. Barcelona dibangun dengan mata rantai regenerasi yang apik, hal mana dengan sengaja diabaikan City yang mengejar prestasi dengan royal berbelanja pemain yang sudah jadi.
Melihat Barcelona bermain dengan determinasi tinggi dan satu dua sentuhan cepat alias “tiki taka” bisa dipahami bila merujuk pada gaya bermain tim yang seperti terwariskan turun temurun dan terpelihara dalam kompetisi reguler. Hal ini berbeda dengan sepak Inggris yang telah lama berpatok pada kick and rush.Meski banyak pelatih asing datang dan pergi, berhak menerapkan gaya berbeda disesuaikan dengan kebutuhan sini kini, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari “bawaan” masa lalu yang sengaja atau tidak terus hidup sebagai kultur sepak bola setempat.
Tidak ada gunanya berpanjang-panjang dengan City karena toh yang menatap babak selanjutnya adalah klub dari negara berdaulat yang luasnya tidak lebih besar dari Jakarta Selatan itu. Dari negara kecil, tetapi telah mengakar dalam sejak berdiri pada 1924, skuad yang kini diasuh Leonardo Jardim pun menjadi penyelamat sepak bola Prancis setelah Paris Saint-Germain (PSG), sang raksasa itu, harus menerima kenyataan pahit, ditelikung secara dramatis oleh Barcelona.
Lebih dari itu, dan ini yang membuat kemenangannya lebih berterima oleh akal sehat saya, Monako menuai hasil positif tidak melalui proses instan, tidak oleh investasi sesaat. Tengok saja tiga pencetak gol Monako ke gawang si tua dari Argentina, Wilfredo Caballero. Kylian Mbappe Lottin, Fabinho dan Tiemoue Bakayoko. Yang tertua dari ketiganya adalah Fabinho, tetapi usianya baru 23 tahun, setahun lebih tua dari Bakayoko. Sementara usia Lottin bila tidak lebih setahun maka akan genap separuh usia Caballero.
Nama-nama pemain muda itu mungkin tidak banyak yang tahu selain mereka yang benar-benar memperhatikan sepak bola Prancis. Berbeda dengan City yang dihuni oleh pemain kelas satu seperti Sergio Aguero, David Silva atau Kevin De Bruyne. Nilai seluruh pemain City mencapai 525 juta euro atau setara Rp 7,5 triliun. Sedangkan keseluruhan pemain Monako hanya sepertiga dari itu.
Namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa para pemain muda Monako akan menjadi rebutan di masa datang. Klub-klub besar tentu sudah mulai memberi perhatian kepada talenta-talenta muda Monako. Dan nasib mereka tidak akan beranjak jauh dari yang telah dialami oleh Anthony Martial dua tahun lalu.
Bukan soal nilai dan prospek itu yang lebih relevan saat ini. Proses bagaimana Monako membangun timnya menjadi catatan penting. Proses yang terlambat disadari tetapi kesabaran itu yang membawa berkat saat ini. Monako pernah mengambil jalan pintas seperti City atau tetangganya PSG pada 2013 silam. Dana sekitar 165 juta euro atau Rp 2,3 triliun dihabiskan untuk membeli tiga pemain bintang sekaligus: Joao Moutinho, James Rodriguez dan Radamel Falcao. Hasilnya? Coba cek di wikipedia adakah nama Monako di daftar juara Ligue 1 saat itu?
Perubahan paradigma dari jalan pintas menuju proses berjenjang pun ditempuh. Sang pemilik, Dmitry Ryboloviev, berani menunda keinginan untuk segera berprestasi seperti sesama miliarder Rusia yang saat ini memiliki Chelsea, dengan memberi perhatian penting pada pembinaan usia muda. Mengejar prestasi dan prestise di atas bangunan klub yang rapuh dan sesewaktu rubuh diterpa gelombang kepergian para pemain diganti dengan menginvestasikan banyak uang untuk membangun fondasi akademi klub untuk mencetak pemain muda.
“Les Monegasques”, julukan Monako pun menjadi lebih dari sebuah klub yang sudah jadi. Memberi tempat dan perhatian lebih kepada pembinaan usia muda sebagai pemasok pemain ke tim utama kelak, sekaligus menjadi ladang investasi untuk mendapatkan uang. Apa yang sedang ditempuh Monako dengan mengoptimalkan akademi klub akan mendatangkan manfaat ganda. Menyokong rantai regenerasi, sekaligus “mesin uang” melalui pemain muda yang siap dijual. Martial, dan kini generasi Bakayoko dan Fabinho, selanjutnya Lottin sudah, sedang dan akan membuktikan itu.
Monako tak ubahnya kaca pengilon, tempat Indonesia berkaca diri. Saat ini Luis Milla Aspas sedang dalam proses untuk menerjemahkan dengan caranya sendiri membangun tim muda bernama tim nasional Indonesia U-22.
Belum lama pelatih asal Spanyol itu bertugas. Bersama Bima Sakti sebagai asisten, dibantu Miguel Gandia sebagai pelatih fisik dan Eduardo Perez yang menjadi pelatih kiper, mereka sedang membangun tim muda Indonesia. Setelah melewati sebulan seleksi, sudah ditemukan 26 pemain yang akan digembleng lebih lanjut melalui serangkaian uji coba dan pemusatan latihan.
Tujuan yang hendak dicapai adalah merebut medali emas SEA Games Kuala Lumpur 2017 dan tim yang sama akan membela Indonesia di Asian Games setahun kemudian di Jakarta dan Palembang. Dari daftar nama terpilih dan proses yang telah dan akan ditempuh Milla tentu sedikit berlebihan dengan target tinggi yang dipatok tahun ini.
Milla sadar bahwa tidak mudah menjadi yang terbaik di antara tim-tim muda di kawasan Asia Tenggara yang notabene lebih dulu melewati proses penggemblengan. Namun dari bakat dan talenta yang ada, dengan beberapa dari antaranya pernah menjadi juara Piala AFF U-19 seperti Evan Dimas, Hansamu Yama Pranata, Putu Gede, Paulo Oktavianus Sitanggang, dan Muhammad Hargianto, bisa saja target tersebut bisa tercapa. Tetapi proses ke sana butuh kerja keras lebih baik pada tingkat pemain maupun staf pelatih.
Milla tentu sedang memikirkan cara terbaik tepat untuk mengaplikasikan rencana besarnya untuk tim nasional Indonesia setelah mendapatkan kenyataan bahwa Indonesia bukan Spanyol yang pernah dibawanya menjadi juara Piala Eropa U-21 tahun 2011.
Tidak mudah membuat duplikasi La Furia Roja berseragam Merah Putih dengan gaya penguasaan bola dan membangun tim dari belakang atau “built up play”melalui aliran bola-bola pendek dengan memanfaatan sisi lebar lapangan. Meski secara potensi gaya “tiki taka” ala Spanyol memungkinkan diterjemahkan Evan Dimas dan kolega tetapi untuk mencapai taraf yang diharapkan butuh waktu tidak sedikit.
Dalam sejumlah kesempatan latihan terutama saat seleksi, Milla benar-benar mengedepankan soal ujian kepada para pemain tentang operan pendek dan cepat. Hal itu menunjukkan harapan sekaligus arah permainan yang akan diperagakan anak asuh Milla. Sudah pasti gaya bermain yang sudah mengalir dalam darahnya akan diterapkan pada para pemain Indonesia.
Pola 4-3-3 atau variasinya, 4-1-2-3 mengemuka sebagai pola kesukaan Milla yang akan diterjemahkan dalam permainan tim muda Indonesia. Selain sudah mulai diperagakan saat latihan, hal itu diperkuat oleh kenyataan hanya memiliki dua striker tengahyakni Ahmad Nur Hardianto (Persela Lamongan) dan Dendy Sulistuawan (Bhayangkara FC). Hal ini menunjukkan bahwa Milla akan mengoptimalkan penyerang sayap, baik di kiri maupun di kanan, persis seperti pola 4-3-3 kesukaannya.
Pembuktian terhadap hal itu akan terlihat, Selasa (21/3) besok di Stadion Pakansari, Cibinong, Bogor saat uji coba internasional pertama skuat muda bentukan Milla menghadapi tim muda Myanmar. Tim “Malaikat Putih” julukan Myanmar, dan tetangga Vietnam adalah dua negara di Asia Tenggara yang juga menerapkan pola permainan cepat dengan operan-operan pendek.
Indonesia sudah mengalami bagaimana gaya bermain cepat Myanmar itu membuahkan hasil saat kedua tim bertemu di SEA Games Singapura 2015. Saat itu timnas Indonesia U-22 yang diasuh Aji Santoso kalah 2-4 di penyisihan grup, meski akhirnya mampu lolos hingga ke semi final.
Pertarungan antara dua tim muda ini akan mengukur sejauh mana internalisasi gaya bermain ala Milla diterjemahkan oleh para pemain muda Indonesia. Selain melihat hasil gemblengan Milla selama beberapa pekan terakhir, juga menjadi tontonan menarik saat dua tim berusaha menunjukkan siapa yang lebih mampu menuai hasil baik dari gaya bermain cepat dengan operan-operan pendek. Apakah tiki taka Milla lebih berjalan baik atau kepakan cepat rombongan “Malaikat Putih” yang lebih dulu mengambil start untuk meninggalkan lawan dalam keterpurukan? Kita lihat saja nanti.
Apapun hasilnya yang pasti prinsip menghargai proses yang sedang dijalani Milla patut didukung. Seperti Monako membangun sebuah tim butuh kesabaran dan ketekunan. Hasil tidak akan mengingkari proses bila kita benar-benar bertekun dan sedikit mengubur ego untuk segera berprestasi.
Ah, sungguh tak sabar menanti hasil kerja sementara Milla dan koleganya.....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H