Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

AS Monako, Luis Milla dan Timnas U-22

20 Maret 2017   16:09 Diperbarui: 21 Maret 2017   02:00 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kylian Mbappe Lottin usai menjebol gawang Manchester City/Mirror.co.uk

Saat AS Monako dan Manchester City berhadap-hadapan untuk kedua kalinya di babak 16 besar Liga Champions, Kamis (16/3) dini hari lalu, entah mengapa saya lebih menjagokan City. Tak heran saat mendapatkan hasil bahwa City menyerah 1-3 di Prancis, saya jelas kecewa. Hasil tersebut diakumulasi dengan kemenangan 5-3 di pertemuan pertama di Etihad Stadium tidak cukul meloloskan Manchester Biru ke perempat final.

Kedua tim sama-sama menggelontorkan enam gol ke gawang lawan, tetapi City kalah dalam produktivitas gol tandang. Monako berhasil mencetak tiga gol di kandang The Citizen, sementara City hanya mampu mencuri satu gol saat balik mengunjungi Monako. 

Meski kecewa, walau sejatinya saya bukanlah pendukung setia City namun hanya terbawa rasa solidaritas dengan sepak bola Inggris yang mana di sana tim pujaannku berada, saya pun bisa menerima hasil tersebut dengan alasan lebih rasional. Monako bermain lebih baik, dengan keseimbangan antarlini yang terjaga. Sementara City terlampau percaya diri bermain menyerang karena sepertinya telah diindoktrinasi oleh gaya bermain dan nama besar sang manajer, Pep Guardiola, yang jelas-jelas mengangkangi kerapuhan di lini belakang.

Kebesaran Guardiola sebagai pelatih sukses dalam sejarah Barcelona tidak serta merta membuatnya dengan mudah menorehkan sejarah yang sama di klub berbeda dengan serba perbedaan fundamental baik pada tataran klub maupun kultur sepak bola. Barcelona dibangun dengan mata rantai regenerasi yang apik, hal mana dengan sengaja diabaikan City yang mengejar prestasi dengan royal berbelanja pemain yang sudah jadi.

Melihat Barcelona bermain dengan determinasi tinggi dan satu dua sentuhan cepat alias “tiki taka” bisa dipahami bila merujuk pada gaya bermain tim yang seperti terwariskan turun temurun dan terpelihara dalam kompetisi reguler. Hal ini berbeda dengan sepak Inggris yang telah lama berpatok pada kick and rush.Meski banyak pelatih asing datang dan pergi, berhak menerapkan gaya berbeda disesuaikan dengan kebutuhan sini kini, tetap saja tidak bisa melepaskan diri dari “bawaan” masa lalu yang sengaja atau tidak terus hidup sebagai kultur sepak bola setempat.

Tidak ada gunanya berpanjang-panjang dengan City karena toh yang menatap babak selanjutnya adalah klub dari negara berdaulat yang luasnya tidak lebih besar dari Jakarta Selatan itu. Dari negara kecil, tetapi telah mengakar dalam sejak berdiri pada 1924, skuad yang kini diasuh Leonardo Jardim pun menjadi penyelamat sepak bola Prancis setelah Paris Saint-Germain (PSG), sang raksasa itu, harus menerima kenyataan pahit, ditelikung secara dramatis oleh Barcelona.

Lebih dari itu, dan ini yang membuat kemenangannya lebih berterima oleh akal sehat saya, Monako menuai hasil positif tidak melalui proses instan, tidak oleh investasi sesaat. Tengok  saja tiga pencetak gol Monako ke gawang si tua dari Argentina, Wilfredo Caballero. Kylian Mbappe Lottin, Fabinho dan Tiemoue Bakayoko. Yang tertua dari ketiganya adalah Fabinho, tetapi usianya baru 23 tahun, setahun lebih tua dari Bakayoko. Sementara usia Lottin bila tidak lebih setahun maka akan genap separuh usia Caballero.

Nama-nama pemain muda itu mungkin tidak banyak yang tahu selain mereka yang benar-benar memperhatikan sepak bola Prancis. Berbeda dengan City yang dihuni oleh pemain kelas satu seperti Sergio Aguero, David Silva atau Kevin De Bruyne. Nilai seluruh pemain City mencapai 525 juta euro atau setara Rp 7,5 triliun. Sedangkan keseluruhan pemain Monako hanya sepertiga dari itu.

Namun tidak ada yang bisa menjamin bahwa para pemain muda Monako akan menjadi rebutan di masa datang. Klub-klub besar tentu sudah mulai memberi perhatian kepada talenta-talenta muda Monako. Dan nasib mereka tidak akan beranjak jauh dari yang telah dialami oleh Anthony Martial dua tahun lalu.

Bukan soal nilai dan prospek itu yang lebih relevan saat ini. Proses bagaimana Monako membangun timnya menjadi catatan penting. Proses yang terlambat disadari tetapi kesabaran itu yang membawa berkat saat ini. Monako pernah mengambil jalan pintas seperti City atau tetangganya PSG pada 2013 silam. Dana sekitar 165 juta euro atau Rp 2,3 triliun dihabiskan untuk membeli tiga pemain bintang sekaligus: Joao Moutinho, James Rodriguez dan Radamel Falcao. Hasilnya? Coba cek di wikipedia adakah nama Monako di daftar juara Ligue 1 saat itu?

Perubahan paradigma dari jalan pintas menuju proses berjenjang pun ditempuh. Sang pemilik, Dmitry Ryboloviev, berani menunda keinginan untuk segera berprestasi seperti sesama miliarder Rusia yang saat ini memiliki Chelsea, dengan memberi perhatian penting pada pembinaan usia muda. Mengejar prestasi dan prestise di atas bangunan klub yang rapuh dan sesewaktu rubuh diterpa gelombang kepergian para pemain diganti dengan menginvestasikan banyak uang untuk membangun fondasi akademi klub untuk mencetak pemain muda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun