All England betapapun setara dengan empat turnamenl super series premier lainnya yakni Indonesia Open, Denmark Open dan China Open, tetap memiliki daya tarik lebih. Keberadannya sebagai turnamen bulu tangkis tertua di dunia mendatangkan prestise tersendiri bagi setiap pebulutangkis. Melampaui ganjaran 11 ribu poin bagi sang juara dan kucuran total hadiah 600.000 USD.
Tahun ini Indonesia membawa pulang satu gelar juara,seperti tahun lalu. Bedanya di edisi ke-107 ini giliran ganda putra yang naik ke podium tertinggi melalui pasangan Kevin Sanjaya Sukamuljo/Marcus Fernaldi Gideon. Kemenangan pasangan yang akan ke peringkat satu dunia itu mengulangi pencapaian Hendra Setiawan/Mohammad Ahsan pada 2014, atau 11 tahun setelah Sigit Budiarto/Candra Wijaya.
Sementara itu ganda campuran gagal mempertahankan gelar. Praveen Jordan/Debby Susanto tak bisa mengulangi prestasi tahun lalu. Pasangan berperingkat 6 dunia tersisih di babak pertama, dijegal pasangan Jepang, Yuta Watanabe/Arisa Higashino.
Senior Praveen/Debby, Tontowi Ahmad/Liliyana Natsir justru tampil lebih baik meski keduanya baru berpasangan lagi setelah “bercerai” sejak awal tahun. Kondisi fisik yang tak prima menuntut istirahat lebih. Kesempatan itu dipakai untuk mencari calon pasangan pengganti Liliyana Natsir di masa mendatang. Usia Butet, sapaan Liliyana yang tak muda lagi dan sedang dibayang-bayangi hasrat pensiun, menuntut PBSI dan tim pelatih ganda campuran untuk segera mencari calon pendamping Owi atau Tontowi.
Owi/Butet tampil baik dengan tingkat persiapan yang minim. Menurut pelatih kepala ganda campuran utama, Richard Mainaky, bila persiapan kedua anak asuhnya lebih baik maka bukan mustahil bisa juara. Owi/Butet sudah tiga kali juara All England, tahun ini langkah mereka terhenti di delapan besar. Keduanya dijegal pasangan senior tuan rumah, Chis Adcock/Gabrielle Adcock.
“Memang persiapan Tontowi/Liliyana belum seratus persen. Karena Tontowi baru pulih dari gejala pra tifus dan Liliyana baru pulih dari cedera lututnya. Kalau saya lihat semalam, permainan Tontowi/Liliyana kalau persiapannya ditambah seminggu lagi, mereka bisa juara,” beber Richard usai pertandingan kontra pasangan suami istri Inggris itu kepada badmintonindonesia.org.
Dari sepak terjang Owi/Butet tergambar jelas pentingnya persiapan. Hasil akhir tidak akan menghianati proses.Pelatih bertangan dingin ini melanjutkan, “Seharusnya seperti itu, persiapan bagus, maka hasilnya pun akan bagus. Seperti saat Olimpiade, dua bulan penuh mereka fokus.”
Meski persiapan cukup, hal penting yang tak bisa diabaikan adalah praktik di lapangan. Tidak bisa tidak apa yang telah dipersiapkan maksimal diterjemahkan saat pertandingan. Mengeksekusi praktik latihan. Itulah saat untuk menguji sejauh mana keberhasilan proses latihan.
Praveen/Debby bermain kurang maksimal meski persiapan mereka lebih dari cukup. Praveen misalnya kerap melakukan kesalahan sendiri. Boleh dibilang ayunan langkah pertama kedua pasangan tidak padu dan meyakinkan. Keduanya malah langsung bermain antiklimaks, berbanding terbalik dengan performa tahun lalu.
“Sebenarnya saya taruh harapan pada Jordan/Debby, karena mereka dari segi persiapan lebih maksimal. Dari laporan yang saya dapat dari Vita (Marissa) yang mendampingi, penampilan Jordan/Debby kurang maksimal. Jordan telat startnya, sehingga banyak melakukan pukulan-pukulan error,” kata Richard.
Lantas bagaimana pasangan lainnya?Tiga pasangan lainnya juga bernasib seperti Praveen/Debby. Mereka adalah Hafiz Faisal/Shela Devi Aulia, Alfian Eko Prasetya/Annisa Saufika dan Ronald Alexander/Melati Daeva Oktavianti.
Hafiz/Shela keok dari pasangan China, Zhang Nan/Li Yinhui dua game langsung 21-16 dan 21-13. Begitu juga pasangan China lainnya, unggulan lima, Lu Kai/Huang Yaqiong “membunuh” harapan Alfian/Anisa, 21-921-17. Sementara Ronald/Melati sama sekali tak berkutik di hadapan pasangan senior Denmark sekaligus finalis tahun lalu, Joachim Fischer Nielsen/Christinna Pedersen.
Joachim/Christina yang menang mudah, 21-14 dan 21-15, kemudian hanya menjadi perempatfinalis, kalah dari Lu/Huang yang akhirnya menjadi juara.
Bagi Richard, meski Hafiz/Shela terhenti di langkah pertama, performa keduanya membaik. Begitu juga Alfian/Anissa yang seharusnya bisa berbuat banyak bila salah satu dari antara keduanya tidak bermasalah dengan otot perut.
Hanya penampilan Ronald/Melati yang jauh dari harapan. Richard pantas kecewa dan merasa tak puas. Dibanding dua pasangan lainnya peringkat Ronald/Melati lebih baik. Semestinya keduanya bisa bermain lebih baik. Saat ini mereka berada di peringkat 17, berada empat strip di atas Alfin/Anisa, dan delapan tangga lebih tinggi dari Hafiz/Shela.
Tentu hasil ini memberi cukup gambaran bagaimana tingkat persaingan ganda campuran Indonesia di kancah bulu tangkis dunia. Kehadiran semua pemain terbaik dari berbagai negara di ajang tersebut menjadi parameter untuk melihat kekuatan para pemain Indonesia sekaligus memproyeksikan peta kekuatan. Dari sana lahir penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembinaan para pemain di pelatnas.
Kita tentu berharap di turnamen lainnya Praveen/Debby bisa segera “move on”, begitu juga Ronald/Melati. Sementara Hafiz/Shela dan Alfin/Anisa terus meningkatkan kekompakan dan mengasah bobot pukulan.
China masih menjadi lawan terberat para pemain Indonesia, di samping Denmark, Korea Selatan dan Malaysia yang mulai unjuk gigi. Negara yang disebutkan terakhir itu memiliki Peng Soon Chan/Liu Ying Goh dan Kian Meng Tan/Pei Jing Lai yang kini berada di sembilan besar dunia. Peng/Liu bahkan nyaris mencetak sejarah di All England andai saja mampu memenangkan pertarungan sengit tiga game berdurasi 1 jam dan 26 menit menghadapi Lu/Huang di final. Selain itu Negeri Jiran juga memiliki Chen Peng Soon/Goh Liu Ying yang menjadi finalis Olimpiade Rio 2016 setelah kalah dalam perebutan medali emas menghadapi Owi/Butet.
China mulai menguasai nomor tersebut sejak Zhang Jun/Gao Ling menjadi juara pada 2006. Hingga tahun 2017, total China sudah merebut tujuh gelar dan empat kesempatan lainnya menjadi milik Indonesia.
Bila merunut lebih ke belakang, boleh dikata pencapaian Indonesia dalam satu dekade terakhir lebih baik dibanding sebelumnya. Sebelum Owi/Butet mencetak “hattrick” pada 2012-2014 plus satu gelar dari Praveen/Debby, Indonesia hanya mendapat satu gelar sejak 1979.
Pasangan Christian Hadinata/ Imelda Wiguna adalah pasangan ganda campuran pertama yang berjaya di All England. Gelar perdana pada 1979 itu hampir berulang dua tahun kemudian secara beruntun. Namun keduanya kandas di tangan Mike Tregett/Nora Perry, pasangan asal Inggris yang dikalahkan di final tahun 1979.
Baru 16 tahun kemudian Indonesia bisa mengirim wakil ke final. Pasangan Trikus Heryanto dan Minarti Timur mencapai partai puncak tahun 1997. Namun gagal dalam perebutan gelar dengan Liu Yong dan Ge Fei asal China.
Situasi serupa berulang lagi pada 2008 dan dua tahun kemudian melalui Nova Widianto dan Liliyana Natsir. Sayang pasangan China masih terlalu tangguh. Pada 2008 keduanya kalah dari Zheng Bo dan Gao Ling, serta Zhan Nan dan Zhao Yunlei dua tahun kemudian. Baru di tahun 2012, saat Liliyana berpasangan dengan Owi, kedigdayaan China bisa dihancurkan, meski sebenarnya keduanya bisa mencetak sejarah sebagai pasangan pertama yang meraih empat gelar secara beruntun bila saja tidak dijegal Zhang/Zhao di tahun keempat.
Setelah masa keemasan Zhang/Zhao berakhir yang ditandai dengan pensiunnya Zhao, kini peta persaingan ganda campuran dunia mulai terbuka. China dan Indonesia tidak sendirian lagi. Negara-negara yang disebutkan sebelumnya memiliki peluang yang sama. Belum ada pasangan yang benar-benar konsisten seperti Zhang/Zhao menunjukkan bahwa peta persaingan mencair. Setiap negara punya kans yang sama untuk bersaing di jajaran elit. Pada titik ini, tantangan para pemain Indonesia menjadi semakin besar. Suara genderang perang perebutan kekuasaan sedang bertalu-talu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H