Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Kecemasan Steven Gerrard pada Essien

15 Maret 2017   17:45 Diperbarui: 16 Maret 2017   16:01 1244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Michael Essien bersama pelatih Persib Bandung, Djajang Nurjaman/Kompas.com

Persaingan semakin sulit setelah uang turut ikut campur. Stevie sadar situasi makin pelik, tidak mudah lagi untuk merengkuh kejayaan karena harus berhadapan dengan orang-orang berduit yang bisa membeli segalanya. Saat Chelsea bertamu ke Anfield pada 3 Mei 2005, tidak lebih dari pertarungan antara Klub Komunitas kontra Klub Biliuner. Stevie dan teman-teman bersama puluhan ribu the Kop di sisi lapangan berperang menghadapi Mourinho dan gengnya.

Gol tunggal Luis Garcia membuat Mourinho berang. Mantan manajer Real Madrid dan FC Porto itu berang dengan proses terjadinya gol dan menganggapnya “gol hantu”, sebutan yang selalu dibawa-bawa hingga satu dekade kemudian. Liverpool lolos ke final Liga Champions. Chelsea yang telah menginvestasikan tak kurang dari 140 juta pound tak mendapat apa-apa. Tetapi bagi Abramovich jumlah tersebut tak ada artinya.

Memang Liverpool bisa berjaya di Eropa saat itu, tetapi situasi sepak bola dalam negeri sudah berubah drastis. Kemenangan atas Chelsea itu hanya tantangan awal dari tantangaan-tantangan lain yang datang bertubi-tubi. Untuk menjadi juara lagi tidak hanya menghadapi Mou dan Abramovich, tetapi juga para pemain berharga mahal, ditambah lagi situasi serupa di pihak para pesaing lainnya.

Situasi sulit itu membuat Stevie setengah tak percaya dengan perubahan yang tengah terjadi. Kemudian membuat dirinya turut menjadi sasaran olok-olokan lawan sebagai orang yang tidak berguna bagi klub. Selama 17 musim bersama Liverpool tak sekalipun angkat trofi Liga Primer Inggris.

Namun Stevie meyakini bahwa perjuangan memang sulit, terutama setelah duit ikut ambil bagian dalam kompetisi. Dalam buku yang sudah dialihbahasakan itu, ia menulis demikian. “Namun, sekarang saya bisa bilang bahwa ada dua alasan mengapa saya tak pernah memenangkan paling tidak satu gelar juara Inggris bersama Liverpool: Roman Abramovich di Chelsea dan Sheikh Mansour di Manchester City.”

Stevie boleh saja berseloroh demikian karena ia tahu betapa berat perjuangan menjadi seorang pemain untuk memenangkan gelar. Ketika uang ambil bagian, apalagi dalam jumlah tak terkira, apa saja bisa terjadi. Kompetisi tidak lagi murni pertarungan antara para pemain yang telah dibina dan membina diri dengan susah payah. Bukan lagi adu strategi antarpelatih dan manajemen untuk mencari bibit-bibit muda potensial, kemudian ditempa dan diuji dalam tanur kompetisi. Tetapi ketika uang lebih berbicara maka proses panjang dan berjenjang itu bisa terpotong, untuk mengatakan membuka lebar-lebar jalan pintas.

Pemain dari luar bisa dengan mudah dibeli. Begitu juga gonta ganti pelatih menjadi sesuatu yang biasa. Kegagalan di satu musim kompetisi tidak lebih dari perjudian untuk kemudian menggelontorkan uang dalam jumlah besar di musim berikutnya. Begitu siklus instan terjadi.

Dalam posisi seperti itu, seperti Stevie dan para pemain lokal lainnya, semakin terancam. Mereka harus berjuang berkali-kali lipat untuk bersaing dengan pemain dari luar. Kompetisi pun tak ubahnya arena perjuadian untuk memutar uang dan mencari untung dari transaksi jual beli pemain jor-joran di setiap jendela transfer.

Klub memang semakin dikenal luas. Nama dan prestisenya semakin melambung. Nilai investasi pun semakin berlipat seiring meningkatnya harga dan nama besar pemain dan pelatih. Pemasukan datang dari sana sini seiring meluasnya pangsa pasar sebagai lahan garapan untuk meraup untung berlipat ganda. Roda industri berputar, bergeliat dan menghasilkan keuntungan berganda.

Tetapi ketika musim pertandingan internasional tiba, semua pemain asing meninggalkan klub-klub mereka untuk membela negara masing-masing. Roda kompetisi terhenti. Kesunyian datang memeluk erat. Pertanyaan berganti, bagaimana nasib tim nasional di laga internasional itu?

Liga Inggris menjadi contoh paling nyata bahwa geliat liga tidak berbanding lurus dengan prestasi tim nasional. Liga Inggris adalah contoh kompetisi yang mengebiri para pemain lokal. Dan contoh paling buruk betapa susahnya membangun tim nasional di tengah gemerlap kompetisi bertabur pemain asing dengan kuasa sepenuhnya di tangan orang-orang berduit dari seberang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun