Di sini kerja keras laki-laki ditutut karena pekerjaan untuk membongkar kemapanan dan cara pandang keliru yang telah tertanam dalam diri. Laki-laki yang menjadi pangkal persoalan harus menjadi bagian dari penyelesaian terhadap persoalan itu.
Ketiga,selain melalui praktik hidup sehari-hari, terus mengkampanyekan gerakan kesetaraan gender menjadi penting. Mengkampanyekan ide, gagasan, bahkan meluangkan waktu hingga donasi untuk membantu gerakan-gerakan yang memperjuangkan nasib perempuan dan masa depan laki-laki harus digalakkan dan didukung.
Patut diingan keterlibatan kita dalam aksi seperti itu tidak hendak menceburkan kita pada praktik aktivisme tetapi kita bisa mengambil bagian dengan cara kita masing-masing. Dengan tanpa menjadi aktivis kita bisa berbuat sesuatu untuk membentuk tatanan hidup yang adil.
Pada titik ini Ladisiana bisa ambil bagian. Sebagaimana media berperan besar dalam pelanggengan dikotimi itu, dengan wadah strategis yang telah tersedia, Kompasiana bisa dimanfaatan sebagai ruang kampanye, tempat bertukar ide dan gagasan tandingan hingga mengambil langkah nyata melalui aksi-aksi kreatif konstruktif seperti yang dilakukan komunitas-komunitas lain di Kompasiana.
Bila ada KPK (Kompasianer Penggila Kuliner) yang rutin “menggerebek” sentra-sentra kuliner, mengapa Ladisiana tidak turut serta “menggerebek” institusi-institusi pendidikan dan pusat-pusat pengambil kebijakan untuk mengadvokasi feminisme. Bila ada KOMiK (Kompasianers Only Movie enthus(i)ast Klub) yang rajin berburu film-film terbaru, mengapa tidak mengajak mereka untuk turut serta berburu film-film yang membangun kesetaraan.
Bila ada Koteka (Komunitas Traveler Kompasiana) yang merayakan petualangan sebagai kegembiraan utama, mengapa Ladiesiana tidak bisa berpetualang menambah ilmu dan laku yang telah lama dihidupi dan diperjuangkan komunitas-komunitas penggiat kesetaraan. Mulailah dari komunitas kecil, lantas merangkul Kompasianer lebih luas dan lebih banyak.
Gagasan ini bisa saja terlalu ideal, bahkan garing.Bisa saja dianggap mirip laku sisifus yang tak berujung hasil karena terbelenggu pada anggapan bahwa realitas itu sulit berubah, bahkan dianggap statis, dan tetap. Tetapi tidak berbuat apa-apa sama saja melanggengkan praktik yang ada karena perjuangan kita demi kepentingan bersama. Dan saya kira Ladiesiana ada dan mengada tidak hanya untuk memaknai Hari Perempuan Internasional saban 8 Maret, dan terlecut oleh protes besar Women's March beberapa waktu sebelumnya, misalnya, tetapi lebih dari itu: berbuat sesutu lebih tekun dan berkesinambungan. Ibarat menghancurkan sebongkah batu keras dengan tetes-tetes kecil air secara terus-menerus.
Mari berjuang bersama Ladiesiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H