Tak ada sekat usia, kelas sosial, etnis, bahkan situasi dan waktu. Mulai dari kantor hingga kamar pribadi, baik di tempat pesta maupun saat tidur malam, jeans selalu berterima. Ia bisa berkarib dengan jenis busana lainnya. Dipadu dengan pakaian apa saja pun bisa.
Meski segala perbedaan telah melebur, tetap satu yang tersisa: harga. Ini yang membedakan jeans-ku dan jeans-mu, jeans kita dan jeans mereka, jeans ini dan jeans itu.
Pada titik ini saya terbayang saat pertama kali mengenakan celana jeans. Walau keberadaannya ratusan tahun, dan berpuluh-puluh tahun sebelum saya lahir, jeans baru menyentuh kulitku saat duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Saya memang dari keluarga sederhana, namun untuk mendapatkan jeans saat itu bukan perkara mampu atau tidak. Daerah kami masih terlalu jauh dari pusat pertumbuhan ekonomi. Orang yang mempunyai banyak uang belum tentu bisa mendapatkannya.
Alhasil dengan sepotong celana itu saya merasa menjadi orang paling modis meski potongan tubuhku jauh dari ideal. Sepotong celana itu pun kujaga sepenuh hati. Perlakuan kepadanya jauh berbeda dari celana-celana lainnya. Mencucinya pun setengah terpaksa. Baru kemudian setelah cukup familiar dengan jeans baru tahu mana jeans yang asli dan mana yang palsu sehingga bisa lebih awas menggunakannya.
Saat ini jeans sudah ditemukan di mana-mana. Tidak ada ruang sosial dan ekonomi yang steril dari jeans. Saya jadi berpikir mengapa sejarah jeans bisa begitu panjang, bahkan nyaris abadi?
Saya coba mencerna sejumlah potongan peristiwa bagaimana jeans bisa mendunia. Ada saat ketika film koboi begitu populer menyihir dunia tidak hanya dengan keterampilan berkuda, tetapi juga busana yang dikenakan: topi lebar, baju lengan panjang, dan tentu saja celana jeans ketat.
Kemunculan James Dean pada tahun 1955 melalui film “Rebel Without a Cause” membuat banyak orang tergila-gilatidak hanya pada tampang dan kepribadiannya yang “cool” tetapi jeans yang dikenakan. Periode itu jeans menjadi “must have item”. Tidak hanya di kalangan anak-anak muda tetapi juga para serdadu Amerika ketika sedang tidak bertugas di palagan Perang Dunia II.
Tetapi apa arti tahun 1970-an itu bagi Indonesia? Meski lambat, akhirnya nyaris tak ada ruang yang tak tersentuh atau menyentuh jeans saat ini. Sampai-sampai tak lagi peduli bagaimana sebaiknya memperlakukan jeans secara semestinya. Anjuran Corey Warren bahwa jeans tidak dianjurkan untuk terlalu sering dicuci nyaris tak berbekas.
Akhirnya sampai pada sejumlah pertanyaan. Apakah jeans tidak punya korelasi dengan globalisasi dan kapitalisme? Apakah dunia kita terlalu besar untuk dijangkau dengan serba kebaruan dan kita bukan bagian dari pasar yang telah terkooptasi oleh selera masa, dan kadang menjebak kita dengan kebutuhan palsu? Tentu, tidak.
Meski kita membenci kapitalisme, apalagi dibumbui hegemoni Barat yang dipertentangkan dengan Timur yang terbelakang, pada titik tertetu kita perlu menerimanya secara positif. Tidak hanya sebagai berkah seperti jeans yang meruntuhkan setiap sekat perbedaan. Juga sebagai sesuatu yang penting, misalnya minus monopoli (mustahil tentunya), agar seperti demokrasi: publik diperhitungkan.
Dalam situasi ini setiap orang adalah pasar yang penting. Bila demikian orang-orang seperti Jokowi pun terus tertantang agar bisa terus “menjual” agar “laku” tidak hanya melalui busana tetapi juga kebijakan dan kebijaksanaan. Dan kita tidak hanya sekadar membeo karena terpukau pada penampilan, sama seperti mengenakan jeans tidak hanya ikut arus dan mengekor yang lain, tetapi karena benar-benar butuh. Penting. Pantas. Bukankah begitu?