Oliney juga melakukan hal yang sama pada monyet. Ia memberikan MSG secara oral dan hasilnya sama. Namun 19 studi lainnya pada monyet gagal mendapatkan kenyataan yang sama, apalagi hasil yang sama persis.
Penelitian dilakukan juga pada manusia. Dalam salah satu studi, sebanyak 71 orang sehat diobati dengan meningkatkan dosis MSG atau plasebo dalam bentuk kapsil. Peneliti menemukan adanya gejala Sindrom Restoran China yang terjadi kira-kira pada tingkat yang sama, terlepas dari apakah subjek diberi MSG atau plasebo, bahkan setelah para peserta bertukar pada opsi alternatif.
Pada 1995 US Food and Drug Administration (FDA) atau Badan Pengawas Obat dan Makanan AS menugaskan salah satu komisi bernama Federation of American Societies for Experimental Biology untuk mencerna semua bukti dan memutuskan apakah MSG benar-benar berbahaya atau tidak.
Panel yang terdiri dari para ahli mula-mula menolak istilah “Sindrom Restoran China” yang dianggap merendahkan dan tidak mencerminkan sifat dari gejala tersebut. Panel tersebut menganjurkan istilah “MSG Symptom Complex” untuk menggambarkan banyak dan beragam gejala yang terkait dengan konsumsi MSG.
Mereka menyimpulkan ada cukup bukti ilmiah tentang sub kelompok dalam kelompok individu sehat yang memiliki respon buruk terhadap MSG dalam dosis besar, biasanya terpapar dalam waktu satu jam. Tetapi reaksi ini diamati dalam studi di mana mereka diberi tiga gram atau lebih MSG yang dicampur dalam air, tanpa makanan. Tentu skenario ini tidak mungkin terjadi di dunia nyata. Menurut FDA, kebanyakan orang mendapatkan sekitar 0,55 gram MSG per hari yang ditambahkan dalam makanan mereka.
Sebuah studi pada 2000 coba meneliti lebih jauh dengan melibatkan 130 orang yang menyebut diri mereka reaktif terhadap MSG. Pertama-tama orang-orang sehat ini diberi dosis MSG tanpa makanan, atau diberi plasebo. Dalam beberapa uji dengan dosis MSG yang terus meningkat untuk mendapatkan hasil dari 10 gejala yang ada, hanya dua dari 130 orang itu yang menunjukkan reaksi konsisten terhadap MSG. Tetapi ketika diuji lagi dengan MSG dalam makanan, reaksi mereka berbeda yang menunjukkan bahwa validitas sensitivitas terhadap MSG diragukan.
Dr John Olney telah menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk meneliti dan membuktikan kebenaran itu pada hewah percobaannya. Meski kemudian muncul regulasi yang ketat tentang penggunaan MSG, FDA telah mengeluarkan “fatwa” bahwa penggunaan MSG pada makanan adalah GRAS, atau ‘Generally Recognised As Safe’. Umumnya diakui aman. Alias tidak berbahaya.
Keputusan tersebut melengkapi hasil pengujian laboratorium yang dilakukan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dan Lembaga Kesehatan Dunia (WHO). Senada dengan itu pemerintah di Eropa, Afrika, Amerika Utara, Jepang dan negara-negara Asia lainnya pun tidak menaruh MSG dalam daftar hitam.
Begitu pula pemerintah Indonesia. Seperti pernah diutarakan, Husniah Rubiana Thamrin, kepala Kepala BPOM Pusat saat itu, "Micin atau penyedap rasa, atau MSG, aman dikonsumsi masyarakat. Asosiasi pangan dunia juga telah menguji kalau efek negatif yang selama ini digembar-gemborkan ke masyarakat tentang penggunaan micin tidak terbukti." Jadi semua itu mitos.
Orang Amerika dan Eropa rata-rata mengkonsumsi sekitar 11 gram glutamat alami dan 1 gram glutamat dari MSG per hari. Jumlah ini jauh lebih sedikit dari orang Asia yang rata-rata sekitar 3-4 gram per hari.
Bumbu dan bahan makanan orang Asia memang banyak mengandung glutamat yang terkandung dalam bahan makanan seperti kecap ikan atau kecap wijen. Sejak kecil orang Asia sudah akrab dengan bahan-bahan makanan yang mengandung asam glutamat alami.
Dosis MSG yang direkomendasikan oleh FDA adalah sekitar 30 mg per berat badan. Bila berat badan seseorang 50 kg, maka dosis MSG yang direkomendasikan adalah sekitar 1,5 gram/hari.