Sejak mulut bisa mengunyah makanan hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) tidak pernah terbersit pertanyaan tentang apa yang dimakan. Setiap makanan yang disajikan dengan sendirinya langsung dinikmati tanpa banyak bertanya. Bila ada pertanyaan paling-paling lebih sebagai keluhan karena porsi yang tersedia belum cukup mengenyangkan perut.Tidak lebih dari itu.
Ibu adalah juru masa terbaik. Ia tahu apa yang diinginkan setiap anggota keluarga. Hampir tidak perah terdengar keluhan atau protes tentang rasa setiap makanan. Setiap hari, selama bertahun-tahun itu, rasa masakan ibu selalu nomor satu, meski menu yang tersedia jauh dari kata istimewa. Kosa kata istimewa itu pun baru muncul kemudian setelah globalisasi datang menghempas dengan berbagai tawaran yang membuat pilihan menjadi terbagi-bagi dan standar nilai pun terbentuk berundak-undak. Meski digempur dari mana-mana, globalisasi itu tetap tidak mampu menghancurkan kenangan dan rasa rindu pada masakan ibu.
Baru setelah duduk di SMA perlahan-lahan pertanyaan kritis tentang makanan mulai muncul. Salah satu yang membuat kepalaku cukup berpikir keras ketika mendapatkan di buku pelajaran kimia tentang “Chinese Restaurant Syndrome” atau “Sindrom Restoran China.”
Di buku pelajaran tersebut disebutkan bahwa sindrom ini muncul karena mengkonsumsi monosodium glutamat atau yang dikenal sebagai MSG (ada yang menyebutnya micin atau vetsin) yang ada dalam makanan China. Rasa sakit kepala, mual hingga mati rasa aneh adalah ciri khas penderita “Sindrom Restoran China.”
Bayangan bumbu masakan ibu langsung berkelebat hebat. Perlahan-lahan menjalari seisi lemari dapur tempat ibu biasa menaruh aneka bumbu masak. Saya coba mengkonfirmasi bumbu-bumbu yang memiliki kandungan MSG sesuai daftar dalam buku pelajaran itu. Sampailah saya pada kemasan plastik dengan gambar mangkok merah. Seingat saya si mangkok merah ini tak pernah alpa dari daftar bumbu masakan ibu. Ia adalah bumbu dasar yang selalu dipakai selain garam dan cabai.
Pada tubuh mangkok merah itu tertera tulisan unik “Ajinomoto” (ditulis Aji-No-Moto). Ya, sesuai daftar dari buku pelajaran itu “Ajinomoto” berlogo mangkuk merah itu menjadi salah bumbu yang mengandung MSG. Rasa was-was mulai muncul, takut jangan sampai terdampak “Sindrom Restoran China.” Saat pulang ke rumah saya sempat mengingatkan pada ibu agar hati-hati menggunakan Si Mangkok Merah itu. Hingga kini rasa takut, yang mungkin saja bagi sebagian orang sudah mengeras menjadi stigma sebagai “the silent killer”, pada si mangkok merah dan setiap penyedap rasa masih bercokol.
“Sindrom Restoran China” mulai muncul ke permukaan dan menjadi bahan pembicaraan medis yang luas sejak 1968, setelah Dr Ho Man Kwok menulis surat kepada New England Journal of Medicine. Seperti ditulis bbc.com, Dr Ho mengemukakan pandangannya tentang kemungkinan penyebab sindrom yang ia alami setiap kali ia makan di restoran China di Amerika Serikat.
Ia menggambarkan perasaan mati rasa di belakang lehernya yang kemudian menjalar ke lengan dan punggung. Pada saat bersamaan muncul rasa lemah dan detak jantung berdebar kencang. Saat itu Kwok berspekulasi bahwa penyebabnya adalah kecap. Dugaan ini langsung terbantahkan setelah ia mencoba masakan dengan campuran kecap di rumah. Ia pernah pula menduga bahwa penyebab itu datang dari anggur yang dicampur dalam masakan China.
Baru beberapa lama kemudian muncul dugaan kuat bahwa apa yang dialami Kwok itu bersumber dari monosodium glutamat yang digunakan sebagai bumbu umum di restoran China. Secepat kilat informasi ini tersebar luas, memantik aneka penelitian ilmiah dan tidak sedikit langsung mendatangkan reaksi penolakan terhadap masakan berkandung MSG.
Langah ilmiah diambil sejumlah ilmuwan. Penelitian pun dilakukan dengan melibatkan hewan dan manusia. Peneliti dari Washington University Dr John W. Olney menemukan bahwa menyuntikan dosis besar MSG ke bawah kulit tikus yang baru lahir akan menyebabkan terbentuknya bercak jaringan mati di otak. Ketika tikus-tikus itu tumbuh dewasa perkembangan mereka terhambat, terjadi obesitas, dan dalam beberapa kasus, steril.