Kopa melewatkan beberapa bulan dalam kemurungan. Ia cukup frustrasi tidak mendapatkan kepercayaan. Alih-alih mengarah padanya aliran bola malah lebih banyak bergerak ke sisi kiri, tempat Francisco Gento yang memiliki kecepatan supersonik berada.
Perlahan-lahan Kopa berhasil meyakinkan rekan setim dengan permainannya yang cemerlang. Setelah idolanya Ferenc Puskas kembali mereka berhasil membentuk tim yang solid dengan prestasi demi prestasi yang kemudian diraih.
Tiga pemain ini kemudian melengkapi kemasyuran Madrid sebagai penguasa Eropa pada akhir 1950-an. Bersama mereka menjadi juara Eropa selama tiga musim secara beruntun sejak 1957 hingga 1959.
Tak hanya itu, selama tiga tahun beruntun mereka tak terkalahkan di kandang. Dua gelar La Liga pun direbut pada 1957 dan 1958. Pada tahun tersebut Kopa mencapai puncak kegemilangan dengan menyabet gelar pemain terbaik dunia. Ia adalah pemain Prancis pertama yang meraih Ballon d’Or yang kemudian menurun pada Platini pada awal 1980-an, selanjutnya Jean-Pierre Papin dan Zidane.
Kopa mulai mencuri perhatian pada 1955. Ia menjadi sosok penting di balik kemenangan Prancis 2-1 atas Spanyol dalam laga yang dihelat di Real Chamartin, Santiago Bernabeu saat ini. Aksi heroiknya saat itu menjadi buah bibir. Daily Express pun menjulukinya “Napolen sepak bola” yang mengambil nama pemimpin militer dan politik Prancis, Napoleon Bonaparte. Sebutan tersebut kemudian diadopsi oleh fans Prancis.
Piala Dunia 1958 di Swedia melengkapi masa keemasan Kopa. Di Swedia itu Kopa dan kolega terhenti di semi final setelah kalah 2-5 dari Brasil. Saat itu Brasil diperkuat Pele yang baru berusia 17 tahun.
Prancis sejatinya bisa berbicara lebih jauh, setidaknya tidak dipecundangi Pele dan kawan-kawan sebegitu menyakitkan. Cedera Robert Jonquet yang menjadi andalan di sektor pertahanan meninggalkan celah yang membuat Pele leluasa bergerak dan mencetak hattrick. Meski demikian secara keseluruhan kontribusi Kopa bagi tim Prancis saat itu begitu besar. Ia turut andil bagi 13 gol rekannya di lini depan Just Fontainer yang kemudian menjadi top skor. Hal ini kemudian membuat Kopa ditahbiskan sebagai pemain terbaik turnamen tersebut.
Kecemerlangan karir Kopa berbanding terbalik dengan kisah masa kecil. Ia dilahirkan pada 13 Oktober 1931. Kakek dan neneknya adalah imigran asal Krakow, Polandia yang hijrah ke Jerman, di mana orang tuanya lahir.
Bersama mereka hijrah ke Prancis setelah Perang Dunia I. Prancis kemudian menjadi tanah kelahirannya. Pada usia 14 tahun ia mengikuti keluarganya sebagai pekerja di tambang batubara. Ia kemudian kehilangan dua jarinya yang membuatnya berhenti dari pekerjaan berisiko yang dijalaninya selama tiga tahun.
Saat duduk di bangku sekolah teman-temannya cukup sulit mengeja nama keluarganya. Nama belakangnya pun disingkat Kopa, kependekan dari Kopaszewski.