Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Indonesia Menanti Lagi Penerus Hariyanto Arbi?

6 Maret 2017   10:46 Diperbarui: 7 Maret 2017   02:00 2209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lee Chong Wei (kanan) dan Lin Dan/allenglandbadminton.com

Tahun ini 23 tahun sudah Indonesia menanti kelahiran Haryanto Arbi di panggung All England. Sepertinya penantian itu masih terus berlanjut tahun ini. All England 2017, 7-12 Maret, masih menjadi panggung para mantan juara, tetapi bukan dari Indonesia.

Berdasarkan peringkat dunia tunggal putra terkini dan jejak rekam dalam beberapa edisi terakhir, tampaknya kejuaraan tertua di dunia ini masih menjadi panggung para pemain senior. Lee Chong Wei dari Malaysia, Lin Dan dan Chen Long dari Tiongkok masih menjadi ancaman serius bagi para pebulutangkis lain.

Betapa tidak, Lee Chong Wei masih berada di puncak rangking dunia, dan lebih dari itu, ia telah mempersiapkan diri secara baik untuk memaksimalkan turnamen tertua ini yang bisa jadi menjadi yang terakhir baginya. Belum lama, pada Januari lalu, Lee sempat mengalami cedera lutut kiri saat berlatih di pemusatan latihan tim nasional Malaysia. Karena cedera itu ia terpaksa absen di Djarum Superliga Badminton yang bisa dijadikan sebagai turnamen pemanasan jelang ke Birmingham, Inggris.

Sang Datuk yang sempat diragukan kondisinya sudah dipastikan tampil di All England yang sudah tiga kali dimenanginya. Lee menjadi salah satu pebulutangkis terkini dengan rekor cukup bagus di pentas akbar itu. Enam kali tampil di final, ia berhasil membawa pulang gelar juara sebanyak tiga kali, masing-masing di tahun 2010, 2011 dan 2014.

Kegagalan di Olimpiade Rio de Janeiro tahun lalu, meski mengantongi medali perak ketiganya, bakal dilampiaskan di turnamen pertama yang diikutinya di tahun ini setelah terakhir tampil di Superseries Finals di Dubai akhir tahun lalu.

Selain Olimpiade, Lee juga memiliki catatan kurang bagus di Kejuaraan Dunia yang mana ia belum pernah sekalipun memenanginya. Bisa jadi prestasi di All England ini akan mempertebal keyakinan untuk berlanjut ke Skotlandia pada Agustus nanti, memburu gelar perdana di pentas Kejuaraan Dunia. Pada Oktober tahun ini Lee akan berusia 35 tahun. Seiring bertambahnya usia arah pendulum karirnya hampir pasti bakal bergerak menjauhinya.

Lebih lama dari Lee, Lin Dan memulai penampilannya di All England setelah kalah dari rival abadinya itu di semi final Olimpiade Rio. Super Dan yang setahun lebih muda dari Lee menjadi salah satu tunggal putra fenomenal dengan enam gelar All England. Pengoleksi dua medali Olimpiade dan lima mahkota Kejuaraan Dunia itu menjadi juara All England pada 2004, 2006, 2007, 2009, 2012 dan 2016.

Lin Dan sangat selektif memilih turnamen tahun ini dan penampilannya di All England sekaligus menepis rumor gantung raket yang sempat berhembus setelah Olimpide Rio. Dengan waktu istirahat cukup lama memungkinkan Lin Dan bisa mendapatkan lebih banyak energi untuk mempertahankan gelar.

Selain kedua pemain gaek itu, nama Chen Long tidak bisa dinafikan begitu saja. Pemain 28 tahun itu adalah juara All England 2013 dan 2015. Tak hanya itu, Chen Long sudah membuktikan kapasitasnya mengatasi persaingan Lin Dan dan Chong Wei seperti terjadi di Olimpiade Rio. Saat itu Chen Long berhasil mengalahkan Chong Wei yang sebelumnya menghempaskan Lin Dan di semi final untuk merebut medali emas.

 Selain Chen Long, pemain senior lainnya seperti Jan O Jorgensen patut diperhitungkan. Pemain paling senior di tim nasional Denmark saat ini menempati unggulan kedua. Dengan status seperti itu maka jalan untuk mengulangi pencapaian terbaik lolos ke final dua tahun lalu cukup terbuka lebar.

Final ideal

Pertemuan Lin Dan dan Chong Wei tentu menjadi salah satu pertarungan klasik yang layak dinanti. Ibarat Barcelona versus Real Madrid di La Liga begitu juga rivalitas keduanya yang ditunggu-tunggu. Meski begitu tingkat persaingan di antara mereka sama sekali tak menguburkan tali persahabatan di antara keduanya-plus rekan seangkatan seperti Peter Gade dan Taufik Hidayat, yang selalu hangat seusai laga atau di luar arena, tidak seperti Barcelona dan Real Madrid dengan tembok gengsi yangbegitu tinggi dan kokoh memisahkan keduanya mulai dari dalam hingga menjangkau para pendukungnya.

Lin Dan dan Chong Wei telah mengoleksi sembilan gelar namun keduanya sudah lama tidak bertemu di All England sejak partai final 2012 saat Chong Wei menarik diri. Dari total 36 kali pertemuan di aneka turnamen bergengsi, keduanya hanya bertemu tiga kali di All England.

Dengan jarak peringkat antara keduanya yang kini terpaut lima strip maka sudah pasti sulit mengharapkan pertemuan keduanya di laga pamungkas. Bila langkah keduanya tak dijegal maka pertemuan keduanya bisa lebih dini dari yang diharapkan.

Lin Dan kini berada di rangking enam dunia akan mengawali kiprahnya menghadapi pemain muda Malaysia Zulfadli Zulkiffli. Sementara Chong Wei yang tersisih di babak pertama tahun lalu akan menghadapi pemenang dari babak kualifikasi di laga pertama.

Besar kemungkinan Super Dan akan menghadapi pemain China unggulan tujuh Tian Houwei di perempat final dan pemain nomor empat duna dari Korea Selatan, Son Wan-ho sebagai lawan potensial di semi final.

Meski tak ada final klasik kali ini, kita masih bisa mengharapkan final ideal lainnya. Peluang terulangnya final Olimpiade Rio terbuka. Lee bisa membalas dendamnya pada Chen Long bila saja keduanya terus melaju hingga puncak.

Lee Chong Wei (kanan) dan Lin Dan/allenglandbadminton.com
Lee Chong Wei (kanan) dan Lin Dan/allenglandbadminton.com
Menanti lagi

All England kali ini tidak hanya menjadi panggung pertemuan dan pertarungan para mantan juara. Keberadaan para pemain muda patut diperhitungkan. Semangat dan tingkat kebugaran yang lebih membuat para pemain muda itu siap bersaing dengan para pemain senior. Belum lagi beberapa pemain muda menempati daftar unggulan sebagai cerminan potensi dan keandalan mereka.

Selain Son Wan Ho, Viktor Axelsen adalah salah satu yang pantas disebut. Pemain 23 tahun ini kian teruji dan makin matang dari waktu ke waktu. Di dua edisi terakhir ia mampu melangkah hingga babak delapan besar.

Pengalaman dan jam terbang yang semakin bertambah tentu menambah kematangannya untuk penampilan kali ini. Viktor sudah menunjukkan diri sebagai pemain masa depan Denmark paling menjanjikan sekaligus ancaman bagi para pemain senior di All England kali ini.

Pemain yang dijagokan di tempat ketiga ini adalah peraih medali perunggu Olimpiade Rio usai menghempaskan Lin Dan. Di tingkat Eropa ia adalah penguasa. Juara Eropa ini pun menjadi aktor penting di balik trofi Piala Thomas pertama yang menghiasi lemari gelar negaranya.

Bagaimana peluang para pemain tunggal Indonesia? Mundurnya Jonatan Christie membuat kekuatan Indonesia di nomor ini berkurang. Kondisi kesehatan Jojo yang tidak prima, terserang flu dan asma, memupuskan harapannya tampil lagi setelah di edisi sebelumnya hanya mampu bertahan hingga babak pertama.

Jojo sejatinya akan menantang Axelsen di laga pertama. Absennya Jojo membuat barisan pemain muda Indonesia menyisahkan Ihsan Maulana Mustofa dan Anthony Sinisuka Ginting. Tahun lalu keduanya gagal melangkah ke babak utama setelah tersisih di fase kualifikasi. Saat itu Anthony dihentikan Sameer Verma dari India dan Ihsan dipecundangi Jojo.

Kali ini langkah keduanya kembali bermula di babak kualifikasi. Ihsan akan menantang Kenta Nishimoto dari Jepang, sementara Anthony berjumpa Sourabh Verma dari India. Anthony dan Verma belum pernah bertemu namun pemain asal India itu tetap patut diwaspadai.

Sementara Ihsan pernah sekali bertemu Nishimoto di Taiwan Open 2014. Kala itu Ihsan menang dua game langsung 21-19 dan 21-11. Namun pemaian 22 tahun itu semakin matang seperti ditunjukkan di kejuaraan beregu campuran, Asia Mixed Team Championships di Vietnam beberapa waktu lalu. Kenta tampil sebagai pahlawan Jepang untuk membawa pulang trofi kejuaraan yang baru pertama kali digelar itu.

Ihsan Maulana Mustofa salah satu pemain muda harapan Indonesia di All England 2017/juara.net
Ihsan Maulana Mustofa salah satu pemain muda harapan Indonesia di All England 2017/juara.net
Bila memenangi pertarungan ini Ihsan dan Anthony akan saling sikut di partai final kualifikasi untuk memperebutkan satu tiket babak utama. Pemain Taiwan berperingkat sembilan dunia Chou Tien Chen sudah menanti di babak utama.

Seperti para pemain muda itu, langkah dua pemain senior Tommy Sugiarto dan Sony Dwi Kuncoro juga tidak mudah. Meski langsung tampil di babak utama, lawan keduanya di partai pertama tidak bisa dipandang sebelah mata.

Tommy akan menghadapi Tian Houwei dari China. Tommy yang kini berada di rangking 16 dunia sudah empat kali bertemu pemain 25 tahun itu. Mengulangi catatan negatif di pertemuan pertama, dalam dua pertemuan terakhir Tommy kalah dua game langsung. Pada pertemuan terakhir dua tahun lalu di Denmark Open, Tommy menyerah 21-14 dan 21-14 dari pemain yang kini berperingkat tujuh dunia itu.

Sony pun harus bekerja keras di laga pertama. Pemain kelahiran Surabaya 32 tahun lalu itu akan menjajal kekuatan Son Wan-ho. Keduanya sudah tiga kali bertemu dengan catatan kemenangan terbanyak di pihak Sony. Satu dari dua kemenangan diraih Sony di Singapura Open tahun lalu. Saat itu Sony menumbangkan pemain 28 tahun itu di laga pamungkas, 16-21 21-13 14-21, setelah di babak sebelumnya mengalahkan Lin Dan.

Kemenangan tersebut menjadi titik balik kembalinya Sony. Meski tak muda lagi semangatnya untuk kembali ke jalur persaingan pebulutangkis dunia masih menyala. Termasuk mengulangi pencapaiannya di All England dengan prestasi terbaik tiga kali mencapai babak perempat final di tahun 2004, 2007, dan 2008.

Dari peta kekuatan yang ada, sulit memang mengharapkan gelar dari nomor ini. Indonesia masih harus menanti penerus Haryanto Arbi yang merebut gelar juara pada 1993 dan 1994. Arbi adalah juara terakhir dari Indonesia, setelah  Ardy Wiranata (1991), Liem Swie King (1978, 1979 dan 1981), Rudy Hartono (1968-1974, 1976), dan jauh sebelum itu Tan Joe Hok (1959).

Mengutip Ketua Bidang Pembinaan dan Prestasi PP PBSI, Susy Susanti, bersikap realistis adalah pilihan terbaik. Target perempat final bisa saja terlalu berlebihan, meski tidak salahnya mengharapkan hasil terbaik. Seperti  dikatakan peraih medali emas Olimpiade Barcelona 1992 kepada Kompas,2 Maret 2017, hal.28, “Setidaknya, mereka bisa tampil lebih bagus dibanding tahun lalu.”

Selamat berjuang!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun