Seperti fans yang masih terpecah, seperti itu situasi sekarang. Apakah Leicester kini telah kembali? Persisnya, apakah pemecatan Ranieri tepat adanya? Apakah kemenangan tersebut membenarkan ada yang tidak beres dengan pria tua dari Italia itu?
Beragam analisis hingga menjurus konspirasi mengemuka mengiringi kepergian Ranieri. Bahwa pelatih itu tidak lagi menjaga stabilitas di ruang ganti. Lebih lagi, ia telah kehilangan kewibawaan dan rasa hormat sehingga pertandingan yang dijalani benar-benar tak mencerminkan semangat dan tekad Ranieri yang menggebu-gebu. Hasil negatif berkepanjangan mencerminkan krisis gairah dan layunya elan vital para pemain. Mereka tak lagi senafas dan sejalan dengan sang pelatih.
Ya, sikap bijak Shakespeare itu penting untuk kembali membangun tim yang kini berada dalam tanggungjawabnya. Tanggung jawab besar, meski untuk sementara, untuk seorang asisten pelatih yang tiba-tiba naik kelas.
Selain itu cukup meneduhkan, dalam rangka menenangkan suasan panas atas pemecatan Ranieri yang dinilai tidak adil itu. Saat Chelsea memecat Jose Mourinho beberapa bulan setelah meraih kesuksesan, publik Stamford Bridge kompak meradang. Beberapa pemain yang diduga sebagai biang kepergian Mou diejek dan dicaci maki fans.
Namun situasi sedikit berbeda di King Power Stadium. Meski ada spanduk yang menuduh pemain mengkhianati sang pahlawan, kebanyakan dari mereka hanya mengucapkan terima kasih atas kebanggaan, mungkin saja sekali seumur hidup yang telah diberikan Ranieri.
Sementara di tingkat pemain, dan ini paling penting, kemenangan itu bukan isyarat bahwa Ranieri penyebab tunggal kelesuan itu. Hasil positif ini adalah juga “campur tangan” Liverpool yang oleh Klopp dinilai buruk di segala sisi dan waktu. Sulit membayangkan bila dalam laga itu Liverpool-lah pemenangnya.Apakah pemecatan Ranieri tetap mendapatkan legitimasinya, seperti yang dipikirkan sang pemilik?
Leicester mungkin telah menemukan jalan pulang. Raut sedih para pendukung Liverpool saat pengumuman lima menit injury time adalah kabar bahagia bagi penggemar tuan rumah. Namun semua itu adalah pengingat bahwa jalan masih panjang sebelum stabilitas tim benar-benar tercapai dengan pelatih definitif yang nanti segera ditunjuk untuk mengarungi sisa musim entah mendekati prestasi musim lalu, atau nasib semusim sebelum itu.
Jangan sampai pragmatisme Vichai, dan sebagaimana bisnis sepak bola masa kini umumnya, semakin terlihat jelas. Dan Ranieri tidak lebih dari korban kekejaman si kulit bundar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H