Setiap orang asyik sendiri. Ada yang sengaja memainkan telepon pintar dengan headsetterpansang di kedua lubang telinga. Yang lain sengaja memalingkan wajah ke luar angkot seperti enggan berpandangan dengan penumpang lainnya. Bila ada yang kebetulan berpandang-pandangan, tidak ada jalinan komunikasi yang terbangun selain melalui tatapan mata. Senyum pun tidak.
Di barisan depan sang sopir sibuk dengan pekerjaannya. Ia terus memacu angkot tua yang sesekali mengeluarkan suara tak sedap. Tawaran, sesekali dibumbui rayuan kepada orang yang kebetulan berdiri di sisi jalan terus saja diberikan, tak peduli tempat duduk telah terisi penuh. Para penumpang pun tidak ada yang protes, begitu juga aku yang sudah tak kuasa menahan kantuk.
Beberapa meter sebelum sampai di tujuan aku memberikan aba-aba kepada sang sopir. Tujuannya agar ia bisa mengurangi laju mobil sehingga bisa berhenti tepat di tempat yang dituju.
Separuh memaksa tubuh bangkit dari kursi aku pun melewati pintu masuk yang memaksaku harus ekstra menunduk. Segera kujangkau saku celana. Aku tahu persis, dan bisa dipastikan tak pernah keliru menaruh dompet di saku belakang. Biasanya saku kanan.
Jangan sampai aku salah menaruh dompet. Begitu pikirku ketika tempat yang kutuju dalam keadaan kempis. Begitu juga kedua saku di bagian depan. Alamak! Segera kubuka saku ransel, mengaduk-aduk isinya. Setiap sudut kujangkau, tetapi hasilnya sama.
Kubayangkan setiap harta berharga di dalamnya. Tidak hanya uang beberapa ratus ribu, lebih dari itu surat-surat dan beberapa kartu penting dengan nilai nominal dan perjuangan yang jauh lebih mahal.
Angkot belum melaju. Sang sopir terlihat bingung dengan tampang dan gerak-gerikku yang kebingungan. Di barisan belakang beberapa penumpang sudah mulai tak sabar. Seorang ibu muda yang berdiri dekat pintu mulai bergumam ketus. Beberapa lainnya seperti tak mau peduli.
“Ambil aja uang ini mas,”suara halus tiba-tiba memecah kebingunganku, sambil mengulur dua lembar uang pecahan Rp 2.000.
Kutatap wajahnya setengah terperanjat dan berbicara terbata, “terima kasih mas.” Uang itu segera kuberikan kepada sang sopir. Angkot pun segera menderu pergi.
Rasa kantuk tak lagi berbekas. Berganti bayang-bayang harta benda yang raib entah kemana. Aku coba memutar ulang rekaman perjalananku. Buntu. Sementara siluet tangan penuh tato dari lelaki dengan banyak anting menjuntai di telinga dan beberapa buah lagi di hidung yang beberapa kali mengulur-ulur kantung lusuhnya di dalam angkot tadi balas menusuk nuraniku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H