Satu hal yang turut membuat sepak bola Indonesia menarik dan bersejarah, selain tingginya animo penonton, adalah fanatisme pendukung. Fanatisme ini bisa diartikan sebagai loyalitas atau kesetiaan, yang terkadang total dan tak bisa diganggu-gugat, sampai-sampai bisa mengikis akal sehat. Tentu sulit memahami ada orang yang rela melakukan apapun demi klub kesayangan. Apa saja dikorbankan, bahkan sampai nyawa sekalipun.
Beberapa klub menyandang nama besar tidak hanya karena prestasi, juga keberadaan penggemar fanatik. Persija Jakarta tidak hanya dikenal karena menjadi satu-satunya klub ibu kota yang masih eksis hingga kini, juga kisah Jakmania atau The Jakmania yang selalu setia di pinggir lapangan. Begitu juga Pesib Bandung dengan Bobotoh-nya, Arema dengan Aremania, dan Persipura dengan Persipura Mania.
Tidak hanya klub yang saat ini masih eksis bersama ribuan fans di panggung utama sepak bola nasional, klub-klub yang pernah jaya pada masa tertentu pun masih memiliki basis penggemar. Berdiri pada 1915 dengan namaMakassar Voetbal Bond (MVB),PSM Makassar pernah-sedikitnya-lima kali juara perserikatan dan pernah menjadi “The Dream Team” dengan deretan pemain nasional seperti Hendro Kartiko, Aji Santoso, Bima Sakti, Miro Baldo Bento hingga Kurniawan Dwi Julianto.
Kesetiaan warga Sulawesi Selatan tetap tak tergoyahkan bersama pasang surut tim yang berjuluk Juku Eja atau Ikan Merahini. PSM masih tetap bertahan bersama penggemarnya layaknya sekawanan “Ayam Jantan dari Timur” yang pernah mencatatkan diri sebagai perempatfinalis Piala Winners Asia (1997/1998) dan Liga Champions AFC (2000/2001).
Tidak hanya yang kaya prestasi, klub biasa pun memiliki kelompok penggemar tersendiri, yang terkadang kebesaran pendukung itu turut membesarkan klub tersebut. Menyebut nama PSS Sleman tak terpisahkan dari Brigata Curva Sud (BCS), barisan pendukung setia bersama klub yang berbasis di Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta itu. Saat “Super Elang Jawa”, julukan tim tersebut, bertanding maka ribuan Brigata Curva Sud sudah pasti mendukung.
Kesetiaan tingkat tinggi para suporter membuat pertanyaan tentang alasan dan dasar kesetiaan itu menjadi tidak bermakna. Kesetiaan itu seakan terwariskan, tetap melekat meski hanya pada sepotong nama klub yang tetap bertahan melintas zaman seperti Persebaya Surabaya.
Kesetiaan suporter itu pula yang membuat klub yang berdiri pada 18 Juni 1927 ini berani bangkit lagi setelah terbelit persoalan pelik yang membuatnya absen selama enam tahun terakhir. Penguasa kompetisi perserikatan ini sedang menyusun kembali kekuatan bersama Bonek, pendukung setianya.
Klub yang berdiri dengan nama Soerabhaiasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) ini sedang bersiap untuk kembali ke panggung nasional, meski harus dimulai dari kasta kedua, Liga 2. Seakan tak mau ambil pusing dengan status itu, di bawah sokongan Jawa Pos Grup, tim berjuluk “Bajul Ijo” itu kembali menatap masa depan.
Bonek dengan kesetiaan yang tak terperi ikut membantu, tidak hanya dengan ikhtiar semangat dari luar lapangan, tetapi juga ikut aktif dari dalam. Bersama rencana masa depan manajemen, Bonek pun siap mentransformasi diri dari sekadar “bondo (modal) nekat” menjadi “bondo nekat kreatif.” (Kompas,17 Februari 2017, hal.30).
Apapun taglineatau nama yang akan dipilih, predikat tersebut membungkus semangat pembaharuan. Identitas bonek sudah pasti tetap terjaga, karena bagaimana pun itu mewakili jiwa dan semangat yang telah mendarah-daging. Perubahan yang sedang disambut terkait kreativitas dan sportivitas dalam mendukung tim kesayangan, setelah menghabiskan banyak energi turut berjuang agar Persebaya kembali berdiri..
Menyiapkan yel-yel, aksi di tribun, dan cinderamata yang mewakili klub, sedang diperlombakan. Hal ini bertujuan untuk memacu kreativitas para pendukung. Tidak hanya itu, stimulus dalam bentuk kompetisi juga menyasar bisnis skala mikro yang disebut Bonekpreneur.