Pernyataan pria yang kini berusia 64 tahun yang pernah bermain di Indonesia sejak 1994 dan 1996 bersama Pelita Jaya dan Putra Samarinda itu mengacu pada sikap antipati Joel Matip. Bek kelahiran Jerman itu merasa lebih memikirkan Liverpool ketimbang negaranya.
Tanpa Matip dan tanpa para pemain penting lainnya tidak jadi soal bagi Bross. Ternyata Kamerun memiliki soal lebih dari itu. "Ketika saya datang ke Kamerun saya menemukan sekelompok pemain lama dan tidak termotivasi.”
Yang kemudian dilakukannya adalah memanggil beberapa pemain muda, dan menyuntikkan semangat kepada mereka. Bersama para pemain tersebut ia mulai membangun tim. Tidak hanya menyatukan mereka sebagai satu tim, tetapi menjadikan kelompok tersebut layaknya sebuah keluarga. Setiap pemain merasa berarti, tidak hanya yang mendapatkan jam pertandingan termasuk juga yang duduk di bangku cadangan. Seperti dua supersub di atas saat turun dari bangku cadangan mereka siap memberi diri.
“Ini bukan sekelompok pemain sepak bola. Itu sekelompok teman-teman dan itu sebabnya pemain di bangku cadangan terus motivasi mereka ".
Ikatan kekeluargaan yang telah terjalin kemudian bersekutu dengan dukungan masyarakat yang datang mendukung. Di partai final atmosfer stadion juga berwarna dengan kehadiran banyak ekspatriat Kamerun.
Faktor non teknis itu berperan besar saat menghadapi Mesir yang terkenal efektif dan cerdik. Empat kali clean sheet,sekali lebih banyak dari Kamerun, membuat tim ini cukup percaya diri. Kehadiran pemain kawakan El-Hadary memberikan dorongan dari lini belakang.
Namun patut diakui di laga ini penjaga gawang 44 tahun itu harus takluk. Rupanya usia tak bisa ditutupi, dan tak bisa menepikan peran Ahmed Hegazy dan Ali Gabr di barisan pertahanan selama ini.
Di laga itu segala kebesaran Mesir tenggelam dalam kekompakan dan semangat juang Kamerun. Bross telah mengubah singa-singa tua itu menjadi kawanan pemangsa yang garang, membuat pasukan Firaun bertekuk lutut. Kekompakan dan rasa persatuan mengubah segala ragu jadi juara.
Proficiat Kamerun!