Coba perhatikan foto di atas. Seorang ibu berhijab didampingi seorang pria lebih muda berkacamata tengah menumpangkan tangan ke kepala seorang pria yang tengah berlutut. Sayang gambar pria yang sedang berlutut itu terbatas. Tak ada keterangan lebih lanjut ihwal lelaki dengan atasan putih dan apa maksud penumpangan tangan itu.
Desripsi singkat ini tidak hendak mengantar kita untuk berimajinasi dan mereka-reka. Bukan pula stimulus untuk mendatangkan rupa-rupa rekayasa, apalagi sampai pada cap bohong atau hoax. Saya kenal dan pernah hidup bersama dengan pemuda yang membelakangi kamera itu.
Itu gambaran kecil peristiwa religius di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero, Maumere, Flores, NTT pada Sabtu, 10 Oktober 2015 silam. Ibu berhijab itu bernama Siti Asiyah. Kehadirannya di kapela (tempat ibadat agama Katolik) di salah satu panti pembinaan calon imam atau pastor terkemuka di Nusa Bunga-julukan Flores-pagi itu langsung mendapat sorotan. Apalagi ia berada dalam arak-arakan sebelas pemuda yang disusul puluhan pastor melewati bagian tengah kapela hingga depan altar (tempat pastor memimpin ekaristi) lantas berbelok menuju tempat duduk di barisan depan.
Siti bersama pria berkaca mata itu menemani putranya Robertus Belarminus Asiyanto SVD, satu dari 11 pemuda, menerima urapan suci menjadi pastor. Upacara tahbisan imam, begitu istilah dalam gereja Katolik.
Siti mengikuti secara hikmat seluruh rangkaian upacara yang memakan waktu beberapa jam. Meski tidak turut serta secara aktif, pada bagian tertentu peran serta dan keterlibatannya dibutuhkan. Momen itu terjadi saat penumpangan tangan dari kedua orang tua atau wali, sebagai tanda doa restu keluarga merelakan putra mengabdikan diri untuk gereja Katolik. Siti dan pria berkacamata yang adalah ayah angkat Yanto-begitu ia disapa-dengan penuh penghayatan menumpahkan segenap doa dan harapan terbaik bagi sang putra.
Momen tersebut biasanya mengharukan. Syukur dan kerelaan melebur jadi satu. Menjadi imam adalah cita-cita luhur yang dirindukan setiap pemuda dan diimpikan keluarga-keluarga Katolik di Flores. Proses panjang bertahan-tahap harus dilalui sejak seminari menengah hingga seminari tinggi. Dibutuhkan waktu belasan tahun untuk menyelesaikan seluruh tahapan hingga dikukuhkan menjadi pastor. Tak heran petuah biblis, “banyak dipanggil tetapi sedikit yang dipilih” benar-benar terbukti. Dari sekian banyak calon, hanya beberapa yang sanggup melewati tahapan demi tahapan itu hingga garis akhir.
Tak pelak upacara tahbisan memiliki makna tersendiri di kalangan umat Katolik. Momen tersebut dirayakan dengan tingkat apresiasi yang tinggi. Mendatangkan suka cita tak terkira bagi masyarakat setempat, terutama keluarga.
Selain syukur dan bahagia, rasa haru juga meletup sebagai tanda keikhlasan untuk melepaskan ikatan-ikatan tertentu. Setelah menjadi pastor, mereka akan berserah diri sepenuhnya pada konggregasi, ordo, serikat atau diosesan tertentu. Tentu saja siap menghayati panggilan hidup selibater atau tidak kawin, apalagi menikah dan berkeluarga, yang mulai dihayati sejak menjatuhkan pilihan pada jalan tersebut. Tarekat atau konggregasi yang membawahi Yanto misalnya memiliki tiga kaul yakni kemurnian (selibat), kemiskinan dan ketaatan. Selain tidak kawin dan patuh pada pimpinan dan tarekat, setiap anggota pun harus rela menjauhkan diri dari segala kemewahan hidup. Harta dan keterikatan pada barang-barang duniawi sungguh-sungguh dibatasi. Tidak ada dalam konstitusi serikat arahan untuk menikmati gaya hidup mewah.
Sesuai pertimbangan dan keputusan pimpinan, para imam itu akan ditempatkan di tempat tertentu untuk menjalankan tugas pastoral. Tak jarang tempat perutusan itu bisa berada di luar pulau, propinsi, negara bahkan benua. Di sini orang tua dan keluarga harus belajar ikhlas, mengakrabi jarak dan waktu yang akan memisahkan mereka. Keluarga tetap penting, tetapi bukan lagi yang terutama. Bisa dibayangkan bagaimana situasi batin orang tua bila harus melepaskan putra mereka untuk tugas dan panggilan yang berat itu.
Di situ air mata orang tua yang tumpah saat upacara tahbisan menemukan sebabnya. Ada pula orang tua yang tersedu-sedu karena nasa, harapan dan cita-cita mereka tidak bisa dipenuhi sang putra yang kini telah mengambil jalan pilihan sendiri. Apalagi bila itu putra tunggal atau anak semata wayang yang diharapkan melanjutkan keturunan.
Selama perayaan berlangsung tak terlihat rasa sesal dan kecewa di wajah Siti. Justru seusai perayaan panjang itu, Siti tak henti-hentinya mengumbar senyum. Gambaran jelas ia tengah memeluk kebahagiaan. Tak ada sungut dan gerutu sang putra kini resmi menjadi pastor Katolik, berbeda jalur keyakinan dengannya sebagai seorang muslimah.
Di keluarga inti, Yanto “minoritas.” Saudarai-saudarinya mengikuti keyakinan sang ibu, seperti halnya kakak sulung serta Aryanti, bungsu yang turut serta di acara tahbisan hari itu.
Siti dan Yanto adalah gambaran kecil keberagaman hidup umat di Flores khususnya. Selain keragaman kultural, perbedaan keyakinan sudah biasa. Sudah dipandang sebagai sesuatu yang terberi, tidak untuk dipertanyakan, apalagi dipersoalkan lagi.
Bukan baru hari in Flores merayakan keberagaman multidimensional itu. Di Flores, salah satu noktah di gugus kepulauan Nusa Tenggara Timur yang berbentuk ular-karena itu disebut juga Nusa Nipa atau Pulau Ular, dengan delapan kabupaten mulai dari Flores Timur di ujung timur hingga paliang barat di Manggarai Barat sudah “berwarna” sejak abad ke-15 saat Syahbudin bin Salman Al Faris alias Sultan Menanga datang menyebarkan Islam di Pulau Solor, Flores Timur. Selanjutnya Islam mulai merambah ke Ende, di bagian tengah pulau, hingga kini tersebar di seluruh Flores.
Semua hidup berdamping-dampingan. Interaksi sosial selalu berlangsung dalam semangat saling menghargai. Apa yang oleh Paus Fransiskus disebut sebagai pengalaman pertemuan antarbudaya (culture of encounter) benar-benar dihayati dengan disposisi dan sikap siap mendengarkan dan memahami pihak lain.
Sikap seperti itulah yang membuat Siti Asiyah dan kelurga muslim tidak bersoal jawab dengan sang putra yang memilih jadi pastor. Dukungan penuh Siti dan keluarga dalam kadar berbeda seperti dukungan segenap warga Flores khususnya dan NTT umumnya kepada Azizah, penyanyi remaja beragama Islam asal Maumere yang mencuri perhatian pada konteks dangdut di salah stasiun tv swasta nasional.
Demikian pula dalam arti luas membuat Flores hampir tidak pernah disebut karena gesekan antaragama atau aliran kepercayaan, sama seperti keragaman kultural primordial yang paling asali yang terus dihargai hingga kini. Bisa jadi pengalaman asali itu membuat kehadiran agama-agama tidak dipandang sebagai soal beberapa waktu lalu.
Jumat, 20 Januari 2017 lalu Flores kembali bersuka cita. Sebanyak 11 imam baru ditahbiskan di Paroki St.Martinus Nangaroro, Kabupaten Nagekeo. Seperti biasa masyarakat dari ragam latar belakang berbeda melebur jadi satu.
Masing-masing orang datang dan mengambil bagian sesuai porsinya. Seorang ibu berpakaian tradisional setempat berpadu hijab dengan warna senada menyambut hangat para calon imam dan mengalungkan selendang kepada mereka satu per satu.
Jangan kita pura-pura lupa mirip lupa pakai celana ala Prof Peb misalnya, apalagi sampai lupa diri dengan kodrat itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H