Mohon tunggu...
charles dm
charles dm Mohon Tunggu... Freelancer - charlesemanueldm@gmail.com

Verba volant, scripta manent!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

(LOMBAPK) Siti dan Pastor di Flores

24 Januari 2017   14:25 Diperbarui: 24 Januari 2017   17:33 1130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Imam baru bersama grup kasidah/facebook GeorgeSogeSoo

Coba perhatikan foto di atas. Seorang ibu berhijab didampingi seorang pria lebih muda berkacamata tengah menumpangkan tangan ke kepala seorang pria yang tengah berlutut. Sayang gambar pria yang sedang berlutut itu terbatas. Tak ada keterangan lebih lanjut ihwal lelaki dengan atasan putih dan apa maksud penumpangan tangan itu.

Desripsi singkat ini tidak hendak mengantar kita untuk berimajinasi dan mereka-reka. Bukan pula stimulus untuk mendatangkan rupa-rupa rekayasa, apalagi sampai pada cap bohong atau hoax. Saya kenal dan pernah hidup bersama dengan pemuda yang membelakangi kamera itu.

Itu gambaran kecil peristiwa religius di Seminari Tinggi St Paulus Ledalero, Maumere, Flores, NTT pada Sabtu, 10 Oktober 2015 silam. Ibu berhijab itu bernama Siti Asiyah. Kehadirannya di kapela (tempat ibadat agama Katolik) di salah satu panti pembinaan calon imam atau pastor terkemuka di Nusa Bunga-julukan Flores-pagi itu langsung mendapat sorotan. Apalagi ia berada dalam arak-arakan sebelas pemuda yang disusul puluhan pastor melewati bagian tengah kapela hingga depan altar (tempat pastor memimpin ekaristi) lantas berbelok menuju tempat duduk di barisan depan.

Siti bersama pria berkaca mata itu menemani putranya Robertus Belarminus Asiyanto SVD, satu dari 11 pemuda, menerima urapan suci menjadi pastor. Upacara tahbisan imam, begitu istilah dalam gereja Katolik.

Siti mengikuti secara hikmat seluruh rangkaian upacara yang memakan waktu beberapa jam. Meski tidak turut serta secara aktif, pada bagian tertentu peran serta dan keterlibatannya dibutuhkan. Momen itu terjadi saat penumpangan tangan dari kedua orang tua atau wali, sebagai tanda doa restu keluarga merelakan putra mengabdikan diri untuk gereja Katolik. Siti dan pria berkacamata yang adalah ayah angkat Yanto-begitu ia disapa-dengan penuh penghayatan menumpahkan segenap doa dan harapan terbaik bagi sang putra.

Momen tersebut biasanya mengharukan. Syukur dan kerelaan melebur jadi satu. Menjadi imam adalah cita-cita luhur yang dirindukan setiap pemuda dan diimpikan keluarga-keluarga Katolik di Flores. Proses panjang bertahan-tahap harus dilalui sejak seminari menengah hingga seminari tinggi. Dibutuhkan waktu belasan tahun untuk menyelesaikan seluruh tahapan hingga dikukuhkan menjadi pastor. Tak heran petuah biblis, “banyak dipanggil tetapi sedikit yang dipilih” benar-benar terbukti. Dari sekian banyak calon, hanya beberapa yang sanggup melewati tahapan demi tahapan itu hingga garis akhir.

Tak pelak upacara tahbisan memiliki makna tersendiri di kalangan umat Katolik. Momen tersebut dirayakan dengan tingkat apresiasi yang tinggi. Mendatangkan suka cita tak terkira bagi masyarakat setempat, terutama keluarga.

Selain syukur dan bahagia, rasa haru juga meletup sebagai tanda keikhlasan untuk melepaskan ikatan-ikatan tertentu. Setelah menjadi pastor, mereka akan berserah diri sepenuhnya pada konggregasi, ordo, serikat atau diosesan tertentu. Tentu saja siap menghayati panggilan hidup selibater atau tidak kawin, apalagi menikah dan berkeluarga, yang mulai dihayati sejak menjatuhkan pilihan pada jalan tersebut. Tarekat atau konggregasi yang membawahi Yanto misalnya memiliki tiga kaul yakni kemurnian (selibat), kemiskinan dan ketaatan. Selain tidak kawin dan patuh pada pimpinan dan tarekat, setiap anggota pun harus rela menjauhkan diri dari segala kemewahan hidup. Harta dan keterikatan pada barang-barang duniawi sungguh-sungguh dibatasi. Tidak ada dalam konstitusi serikat arahan untuk menikmati gaya hidup mewah.

Sesuai pertimbangan dan keputusan pimpinan, para imam itu akan ditempatkan di tempat tertentu untuk menjalankan tugas pastoral. Tak jarang tempat perutusan itu bisa berada di luar pulau, propinsi, negara bahkan benua. Di sini orang tua dan keluarga harus belajar ikhlas, mengakrabi jarak dan waktu yang akan memisahkan mereka. Keluarga tetap penting, tetapi bukan lagi yang terutama. Bisa dibayangkan bagaimana situasi batin orang tua bila harus melepaskan putra mereka untuk tugas dan panggilan yang berat itu. 

Di situ air mata orang tua yang tumpah saat upacara tahbisan menemukan sebabnya. Ada pula orang tua yang tersedu-sedu karena nasa, harapan dan cita-cita mereka tidak bisa dipenuhi sang putra yang kini telah mengambil jalan pilihan sendiri. Apalagi bila itu putra tunggal atau anak semata wayang yang diharapkan melanjutkan keturunan. 

Selama perayaan berlangsung tak terlihat rasa sesal dan kecewa di wajah Siti. Justru seusai perayaan panjang itu, Siti tak henti-hentinya mengumbar senyum. Gambaran jelas ia tengah memeluk kebahagiaan. Tak ada sungut dan gerutu sang putra kini resmi menjadi pastor Katolik, berbeda jalur keyakinan dengannya sebagai seorang muslimah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun