Pemanggilan Alfred Riedl, pelatih Austria yang dua kali gagal mempersembahkan Piala AFF, sempat mengundang pro kontra. Meski banyak yang memaklumi kebijakan PSSI, tidak sedikit yang menyambut dengan cibiran karena pria yang kini berusia 67 tahun itu sudah dicap gagal.
Tetapi dengan ketenangannya yang khas, mantan pelatih Laos dan Vietnam itu mulai membangun kembali kekuatan Garuda yang telah terkulai. Meski turnamen ini diperlakukan tak ubahnya ajang uji coba untuk membongkar pasang pemain, kini terlihat potensi Indonesia. Sejumlah pemain muda seperti Hansamu Yama Pranata dan Manahati Lestusen yang menjadi pahlawan Indonesia di semi final muncul ke permukaan sebagai harapan masa depan.
Kepala Hansamu tak lagi berbuah gol. Demikianpun Manahati tak bisa memberikan kado di hari ulang tahun ke-23 pada hari ini. Begitu juga Riedl tak bisa menutup karir kepelatihannya –mungkin terakhir-di Indonesia dengan trofi.
Namun Riedl dan timnya sudah membangkitkan kembali gairah masyarakat Indonesia yang sempat putus asa dan apatis dengan pemerintah dan PSSI. Setahun tanpa kompetisi, dan selama itu yang mengemuka adalah seteru, membuat pencinta sepak bola memalingkan wajah dari stadion-stadion bahkan dari layar televisi.
Sejak Indonesia menembus dan melampaui target lolos fase grup, perlahan-lahan perhatian masyarakat mulai tertuju pada Riedl dan timnya. Semangat itu bahkan meletup-letup ketika Indonesia berhasil menjungkalkan Vietnam dan meruntuhkan nama besar Thailand.
Di mana-mana orang-orang mulai ramai berbicara lagi tentang timnas. Boaz dan teman-teman mulai merebut ruang pemberitaan baik di media konvensional maupun di jagad maya. Wali kota Bandung, yang memang gila bola, bela-belainmewarnai pipinya seturut bendera Indonesia dan mengambil bagian bersama para suporter di Pakansari.
Setelah menonton langsung leg pertama semi final kontra Vietnam di Pakansari, Presiden Joko Widodo semakin ketagihan dan tak bisa berpaling lagi. Saat kunjungan kerja ke Iran, Jokowi masih sempat menengok laptop untuk menyaksikan final pertama via live streaming. Bila tidak ada agenda yang benar-benar mendesak, sepertinya Jokowi berniat untuk terbang ke Bangkok memberikan dukungan langsung. Sebagai gantinya orang nomor satu di negeri ini yang lebih menggemari musik rock itu menjanjikan bonus hingga Rp12 miliar bila mampu membawa pulang trofi ke tanah air.
Saat sentiment SARA semakin menjadi-jadi akhir-akhir ini, skuad “Garuda” menjadi penawar melalui penampilan yang menghibur dan menggetarkan. Hampir semua masyarakat serentak melepas segala kepentingan, dan melupakan berbagai isu dan ancaman primordial dan sektarian yang digerakkan tangan-tangan antikemajemukan. Semua masyarakat satu suara dan satu semangat untuk mendukung timnas Indonesia.
Sejak Gubernur DKI Jakarta (nonaktif) Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok “keseleo lidah” di Kepulauan Seribu tiga bulan silam yang kemudian memantik amarah pemeluk Islam yang merasa dinista, ruang hidup bernegara dan bermasyarakat pun mulai panas. Begitu juga dengan aksi seorang warga yang diduga tak waras menikam tujuh bocah SD di Sabu Raijua, NTT beberapa waktu lalu, lantas menyusul kejadian serupa tetapi oleh oknum berbeda terhadap delapan warga di Bandung, Jawa Barat, sumbu amarah masyarakat mudah dipantik. Begitu juga laku seorang pegawai Mahkamah Agung yang marah dan mencakar seorang polisi di jalanan di Jakarta Timur, membuat ruang bersama kita mulai disesaki kata-kata kasar.
Dan timnas tidak hanya telah memainkan peran pelipur lara di sepak bola domestik, hasil tersebut sudah lebih dari cukup untuk kembali menyatukan tali silaturahmi, dan ikatan persaudaraan dan persautan yang tengah mengalami masa ujian sulit. Seperti kita berteriak lepas-bebas dan mengepalkan tinju member semangat saat berbicara tentang timnas kali ini, seperti itu pula laku kita terhadap Indonesia Raya. Sebagaimana kerja keras dan kerja bersama Boaz yang Nasrani dan Hansamu Yama yang Muslim dengan melepas ego dan kepentingan dirimisalnya, demikian semestinya sikap kita sebagai bangsa.