Namun hasil baik ini bertolak belakang dengan yang ditorehkan di pentas domestik. Bila musim lalu nama Leicester sudah langsung masuk bursa kandidat juara saat kompetisi baru melewati separuh jalan, hal berbeda terjadi kini. Leicester sedang terseok-seok di papan bawah dengan selisih dua poin di atas zona degradasi.
Skuad Ranieri baru mengemas 12 poin hasil dari 12 pertandingan dengan hanya tiga kemenangan dari antaranya. Menghadapi tim semenjana seperti Hull City, West Bromwich Albion dan Watford, Leicester tak berdaya.
Pertanyaan, apakah ini bagian dari strategi Leicester agar taji ke atas (Eropa) tetap terjaga meski kini benar-benar terlihat ompong ke bawah? Atau lebih karena ketidakmampuan lantaran belum berpengalaman menghadapi dua kompetisi ketat sekaligus?
Bila hasil buruk di pentas domestik adalah strategi bagaimana bisa Jamie Vardy dengan sengaja menumpulkan dirinya sendiri? Tentu saja bukan itu alasannya.
Berbagai pernyataan seusai meraih kemenangan di Liga Champions menyiratkan kesan bahwa Leicester sedang dimabuk euforia pertandingan Eropa, seperti yang keluar dari mulut Mahrez seusai mereka menggasak Brugge.
"Saya memiliki kesempatan untuk memenangkan pertandingan dan kami sangat senang menjadi yang pertama dan terus di Liga Champions karena itu adalah perasaan yang luar biasa.”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H