Kedua,dampak pertambangan bagi kesejahteraan rakyat sangat minim. Meski bermanfaat dalam sekala kecil dan jangka pendek, manfaat jangka panjang sama sekali tidak terasa. Kontribusi pertambangan bagi Pendapatan Asli Daerah (PAD) bisa menjadi salah satu indikator. Walhi NTT menunjukkan bahwa kontribusi sektor pertambangan bagi PAD NTT hanya 0,012 persen. Hal ini berbanding terbalik dengan sektor unggulan lainnya seperti pertanian dan peternakan yang menyumbang nyaris separuh terhadap PAD.
Ketiga,dampak terhadap tenaga kerja dan pelaku pertambangan yang sangat memprihatinkan. Selain rakyat di sekitar lokasi pertbambangan yang terdampak penyakit mematikan, keselamatan dan kesehatan para pekerja kerap terabaikan. Selain itu soal pengupahan dan masih banyak lagi.
Masih banyak alasan penolakan lainnya yang bisa diutarakan. Setidaknya dari beberapa argumentasi kontra tersebut terbersit persoalan mendasar selain terkait dampak ekologis, sosial dan budaya yang luar biasa, juga proses perizinan, hingga tahap eksplorasi dan eksploitasi yang tidak transparan dan kolaboratif.
Berdasarkan hasil investigasi Commision of Justice, Peace and Integrity of Creation (JPIC) OFM Indonesia dan SVD Ende beberapa tahun lalu ditemukan banyak kebohongan yang dilakukan oleh investor. Hal ini tak lepas dari “perselingkuhan” pengusaha dan penguasa atau kalangan birokrasi. Rakyat sebagai pemilik tanah (ulayat) tidak dilibatkan sebagai gantinya tanda tangan persetujuan direkayasa
Dari sejumlah alasan di atas muncul pertanyaan apakah pertambangan di NTT seburuk itu rupanya baik bentuk maupun hasilnya? Jawaban tegas dan pasti belum bisa ditarik. Di satu sisi aneka mineral tersebut sangat potensial dan sayang bila tidak dimanfaatkan. Namun pemanfaatan yang salah arah dan sasaran membuat rakyat NTT terlanjut apatis dan antipati terhadap setiap wacana dan rencana pertambangan.
Bila mau jujur NTT sangat kaya barang tambang mulai dari golongan A (yang sangat strategis) seperti gas alam (seperti di Ulumbu, Manggarai dan Mataloko, Kabupaten Ngada), golongan B (besi, mangan, tembaga, emas, belerang; maupun golongan C (seperti aspes, pasir, batu kapur, granit dan masih banyak lagi).
Energi Baru dan Terbarukan (EBT) yang terabaikan
“Dosa” masa lalu itulah yang berusaha diberangus saat ini. Namun nasib pertambangan yang salah urus itu tak jauh berbeda dengan sektor potensial lainnya seperti pertanian, perkebunan, pariwisata dan sebagainya. Buktinya meskipun sektor-sektor lain tersebut memberikan kontribusi lebih besar, atau terbesar, kesejahteraan rakyat NTT tetap masih jauh dari harapan. Selain derajat kemakmuran yang rendah, pembangunan juga melambat, roda perekonomian nyaris berjalan di tempat. Belum lagi indeks korupsi yang tinggi, semakin menggenapi nasib miris NTT.
Setali tiga uang, potensi besar lainnya yang belum dibidik secara baik adalah sumber energi baru dan terbarukan (EBT). Angin, air laut, air terjun,sumber matahari yang melimpah masih belum dioptimalkan. Energi matahari di Pulau Sumba dan Pulau Timor misalnya sangat baik karena memiliki intensitas cahaya yang tinggi. Demikianpun potensi air di Wilayah Sumba Barat Daya sangat menjanjikan untuk pembangkit listrik tenaga mikro hidro (PLTMH).
Sejauh ini di NTT sudah ada sejumlah PLTMH dengan memanfaatkan air terjun dan saluran irigasi namun belum dikembangkan secara optimal. Air Terjun Oehalak dan Ds. Oelbubuk di Kabupaten Tmor Tengah Selatan TTS; Air Terjun Kawangwae dan Ds. Kelaisi Timur di Kabupaten Alor; Air Terjun Detubela dan Ds. Detubela di Kabupaten Ende; Saluran Irigasi Za’a dan Ds. Were II di Kabupaten Ngada; Air Terjun Laiputi dan Ds. Praingkareha di Kab.Sumba Timur serta Saluran Irigasi Mamba dan Ds. Wangkar Weli, di Kabupaten Manggarai menyimpan potensi listrik yang besar.
Begitu juga dengan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi yang telah dimulai sejak beberapa tahun lalu dan sudah mulai beroperasi seperti di Mataloko dan Ulumbu, namun belum digarap maksimal.